Senin, 17 November 2014

MENYIKAPI ORANG YANG BERSALAH



BAGAIMANA MENYIKAPI ORANG YANG BERSALAH

Oleh : Azwir B. Chaniago

Rasulullah bersabda : “Kullubni aadam khaththaun, wa khairul khatthainat tawwabun” Setiap anak Adam banyak berbuat salah dan sebaik baik orang yang berbuat salah adalah yang bertaubat. (H.R Imam at Tirmidzi, Ibnu Majah, ad Darimi, dihasankan oleh Syaikh al Albani).

Kesalahan itu bisa terjadi dalam hal aqidah, ibadah, akhlak dan muamalah. Untuk itu maka  setiap muslim haruslah saling mengingatkan dan berusaha meluruskan setiap kesalahan saudaranya. Janganlah dibiarkan saudara kita larut dalam kesalahan. Bantulah dia dengan nasehat yang baik.

Jika kita melihat seseorang  jatuh dari motor, misalnya, maka kita akan segera membantu sesuai dengan keadaannya tanpa diminta. Apalagi jika dia jatuh atau terpeleset dalam suatu urusan aqidah, ibadah, akhlak ataupun muamalah, tentu lebih pantas dan lebih utama untuk kita bantu dengan nasehat.

Tulisan ini tidak hendak membahas bagaimana cara memberi nasehat terhadap saudara kita yang berbuat kesalahan. Tapi yang ingin dibicarakan disini adalah bagaimana sikap seorang muslim jika melihat saudaranya yang melakukan kesalahan atau tergelincir kepada suatu kesalahan. Diantaranya adalah : 

Pertama : Jangan tergesa gesa dalam menyalahkan.
Jika kita melihat ada saudara kita yang melakukan kesalahan dalam syariat ataupun muamalah, maka janganlah tergesa gesa dalam menyalahkan apalagi sampai mencelanya. Pastikan dulu bahwa yang dia lakukan itu betul betul suatu kesalahan yang pantas diingkari dan diberi nasehat untuk perbaikan.

Syaikh Said bin Jubair seorang Tabiin senior, seorang yang berilmu, ahli tafsir, murid Ibnu Abbas,  jika beliau melihat seseorang melakukan suatu ibadah berbeda dengan yang beliau ketahui dan yang beliau amalkan maka beliau tidak langsung menyalahkan. Beliau mengambil sikap baik sangka dulu. Beliau akan berkata dalam dirinya : (1)  Orang ini mungkin belum tahu (2) Orang ini mungkin lupa (3) Orang ini mungkin terpaksa atau (4) Orang ini lebih tahu daripada saya. 

Setelah berfikir yang  demikian positif barulah beliau bertanya kepada orang tersebut kenapa dia melakukan seperti itu. Tidak seperti yang diketahui beliau. Pada hal beliau adalah orang yang sangat berilmu, sangat ‘alim, tapi tidak tergesa gesa dalam  menyalahkan.  Bandingkan dengan sebagian orang orang di zaman sekarang. 
Begitu melihat saudaranya melakukan suatu ibadah yang berbeda dengan yang dipahami dan yang diamalkannya maka langsung disalahkan bahkan sampai ada yang mencela. Padahal ilmunya, jika dibandingkan dengan Said bin Jubair tentu masih sangat jauh.

Ada satu kisah tentang tidak dianjurkannya untuk tergesa gesa dalam menyalahkan seseorang. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Pada suatu kali Umar bin Khaththab berkata : Aku mendengar Hisyam bin Hizam membaca surat al Furqan. Bacaan Hisyam banyak sekali bedanya dengan apa yang aku ketahui. Tidak pernah aku mendengan Rasulullah membaca (surat al Furqan) seperti itu. Lalu aku bertanya kepada Hisyam : Siapa yang mengajarimu membacanya seperti itu. Jawab Hisyam : Yang mengajariku membaca seperti itu adalah Rasulullah. Aku (Umar bin Khatthab) berkata : Engkau berdusta wahai Hisyam. Sesungguhnya Rasulullah telah mengajariku tapi bacaannya tidak seperti yang kamu baca tadi.

Maka aku pergi bersama Hisyam untuk menemui Rasulullah. Setelah menemui Rasulullah aku berkata kepada beliau : Sesungguhnya orang ini telah membaca surat al Furqan dengan bacaan yang engkau belum pernah mengajarkannya kepada kami.
Rasulullah bersabda : Bacalah wahai Hisyam. Maka Hisyam membaca seperti yang telah aku dengar darinya.  Lalu Rasulullah bersabda : Bacaan seperti ini juga benar sebagaimana yang diturunkan. Kemudian Rasulullah bersabda : Bacalah wahai Umar. Maka aku membacanya seperti bacaan yang diajarkan Rasulullah kepadaku.

Rasulullah lalu bersabda : Bacaan seperti ini juga benar seperti yang diturunkan. “Sesungguhnya al Qur an ini diturunkan dengan tujuh bacaan, maka bacalah apa yang mudah darinya.” 

Jadi sangatlah dianjurkan bagi setiap muslim untuk berhati hati dan tidak tergesa gesa menyalahkan saudaranya.

Kedua : Jangan bosan memberi nasehat.
Seseorang yang akan memberi nasehat hendaklah berniat untuk memberi nasehat terus menerus, sabar jangan merasa  bosan. Nasehat satu kali  belum diperhatikan tapi nasehat berikutnya mungkin berkesan dan mendapat perhatian.
Allah berfirman : “Wadz dzakkir fainna dzikraa tanfa’ul mu’miniin”  Dan tetaplah (terus menerus) memberi peringatan, karena peringatan itu bermanfaa bagi orang orang beriman. (Q.S adz Dzariat 55).

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa Usamah bin Zaid berkata : “Rasulullah pernah mengutus kami dalam satu peperangan. Dalam peperangan tersebut aku mendapati seorang musyrik sudah terdesak. Lalu dia mengucapkan Laa ilaha ilallah, tapi aku membunuhnya. Aku kabarkan kejadian  tersebut kepada Nabi dan beliau bersabda : Apakah kamu membunuh jiwa seorang yang telah mengucapkan Laa ilaha ilallah ? Aku berkata : Wahai Rasulullah, dia mengucapkan kalimat tersebut karena takut pedang. 

Rasulullah bersabda : Apakah kamu sudah membelah dadanya hingga kamu tahu bahwa dia mengucapkan kalimat tersebut karena takut pedang. Rasulullah terus menerus mengulangi ucapannya kepadaku hingga aku berangan angan seandainya aku baru masuk Islam ketika itu.” 

Ketiga : Bersikap santun kepada orang yang bersalah.
Apabila ada seseorang yang melakukan kesalahan hendaklah disikapi dengan santun dan tenang. Jangan berlaku kasar kepadanya. Jika kita berlaku kasar kepada orang yang bersalah maka berlaku kasar itupun juga suatu kesalahan yang pantas pula untuk dinasehati. Ini namanya menindihkan kesalahan kepada kesalahan.  
    
Telah datang banyak hadits dan kisah kisah yang menjelaskan bagaimana Rasulullah senantiasa tenang dan berlaku santun terhadap orang yang bersalah.Diriwayatkan bahwa pada suatu kali ada seorang Arab Badui buang air kecil di masjid.  Para sahabat merasa geram melihatnya. Rasulullah bersikap santun dan memberi nasehat kepada orang ini dengan sabda beliau : “Sesungguhnya Masjid adalah tempat beribadah kepada Allah dan bukanlah tempat membuang kotoran. (H.R Imam Muslim).

Keempat : Meluruskan kesalahan dengan dalil.
Meluruskan kesalahan atau memberi nasehat sebisa mungkin dengan dalil. Ini akan memberikan kepuasan kepada yang disalahkan atau yang diberi nasehat. Sungguh hati akan menjadi tenteram jika sesuatu perbuatan atau amal dilandasi dalil yang shahih.

Ada sebuah contoh, misalnya di masjid. Setelah adzan subuh ada seorang jamaah yang tidak melakukan shalat sunat sebelum shalat subuh atau biasa juga disebut dengan shalat sunat Fajr. Kita bisa memberi nasehat dengan berkata : Wahai saudaraku shalat sunatlah dua rakaat sebelum shalat subuh. Nasehat seperti ini sudah baik. Tapi akan lebih baik lagi dengan menyebut dalilnya. Katakan kepadanya : “Wahai saudaraku, shalat sunatlah dua rakaat sebelum shalat subuh. Rasulullah telah bersabda : Rak’atal fajri khairun minad dun-ya wamaa fiih. Dua rakat shalat sunat fajr lebih baik dari pada dunia dan segala isinya.”  
Insya Allah jika diingatkan dengan menyebutkan dalilnya tentu akan lebih berkesan bagi yang menerima nasehat.
 
Kelima : Meluruskan kesalahan dengan metode ta’lif.
Metode ta’lif adalah salah satu cara atau pendekatan terhadap orang yang bersalah. Caranya adalah dengan tetap bermuka manis kepadanya. Tidak serta merta menunjukkan wajah permusuhan. Dianjurkan untuk mengunjunginya, menjawab salamnya dan memberi salam kepadanya. Dan cara cara lain yang menunjukkan simpatik.
Umumnya orang yang didekati dengan metode ta’lif  ini akan lunak hatinya. Jika hatinya lunak maka mudah  untuk menerima kebenaran dan diberi nasehat guna memperbaiki kesalahannya. 
  
Itulah lima sikap yang ada baiknya dipelihara sebelum memberikan nasehat kepada saudara saudara kita yang melakukan kesalahan.

Wallahu a’lam. (131)


    
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar