Sabtu, 31 Desember 2016

KEKELIRUAN PANDANGAN SYI'AH TERHADAP AS SUNNAH ATAU HADITS NABI



KEKELIRUAN PANDANGAN SYI’AH TERHADAP
AS SUNNAH ATAU HADITS NABI

Oleh : Azwir B. Chaniago

Diantara keyakinan  bathil dari  orang orang  Syi’ah adalah pandangan mereka yang keliru berat terhadap as Sunnah atau Hadits Nabi.   As Sunnah menurut Ahlussunnah adalah segala perkataan, perbuatan dan persetujuan yang disandarkan kepada Rasulullah Salallahu ‘alahi wasallam.

Sementara itu, mereka  Syi’ah mengatakan bahwa mereka  juga berhujjah dengan as Sunnah. Tapi ternyata terminologi mereka terhadap as Sunnah berbeda sangat jauh dengan makna as Sunnah menurut Ahlussunnah. 

Terhadap as Sunnah atau hadits Rasulullah, Syi’ah membatasi riwayat yang melalui ahlilbait saja. Adapun riwayat sahabat yang hidup bersama Rasulullah, bahkan berperang bersama Rasulullah, menyaksikan turunnya al Qur’an mengetahui asbabun nuzulnya dan memberikan tafsirnya, mendapat pujian dari Allah dan Allah ridha kepadanya, tidak dianggap sama sekali.

Ulama Syi’ah Muhammad Husen Alu Kasyif Ghitha’ berkata : Syi’ah tidak menganggap sunnah (hadits) kecuali yang shahih melalui ahlulbait. Adapun yang diriwayatkan semisal oleh Abu Hurairah, Samurah bin Jundub (Abu Dzar, pen.) Amr bin ‘Ash dan semisal mereka, menurut Syi’ah Imamiah kedudukan mereka itu sama dengan nyamuk (Kitab Ashlu Syi’ah wa ushuliha).

Sunnah menurut Syi’ah adalah semua yang berasal dari al ma’sum, berupa ucapan, perbuatan dan persetujuan (Kitab al Ushul amanah). Dan yang dimaksud al mak’sum adalah para imam 12. Bila diucapkan oleh imam mereka meskipun tidak dari Rasulullah dianggap sebagai sunnah bahkan bisa disebut sebagai firman Allah.

Disebutkan dalam al Kaafi bahwa Ja’far ash Shadiq (Imam ke 6 Syi’ah, meninggal tahun 146 H, pen.) berkata : “Telah menceritakan kepadaku, hadits bapakku, hadits bapakku adalah hadits kakekku. Hadits kakekku adalah hadits al Husain. Hadits al Husain adalah adalah hadits al Hasan. Hadits al Hasan adalah hadits Amirul Mukminin (Ali bin Abi Thalib). Hadits Amirul Mukminin adalah hadits Rasulullah dan hadits beliau adalah firman Allah. Dengan demikian berarti kedudukan ucapan dan perbuatan imam yang 12 selevel dengan  Sunnah Rasul  bahkan dianggap selevel dengan Kalamullah. Dalam kitab Syi’ah Syarh Jami’ ‘ala al Kaafi, disebutkan bahwa tidak berselisih antara ucapan mereka, sama halnya dengan firman Allah, tidak ada perselisihan didalamnya.  

Juga dalam Kitab Syi’ah Syarh al Jami’ disebutkan : “Dibolehkan bagi orang yang mendengar sebuah hadits dari Abu Abdillah untuk meriwayatkan hadits atau perkataan tersebut kepada salah satu kakeknya bahkan boleh mengatakan Allah Ta’ala berfirman”. Sungguh disinilah salah satu puncak kelancangan mereka terhadap Allah dan RasulNya.
Landasan keyakinan mereka yang rusak dan  bathil ini adalah : 

Pertama : Mereka beranggapan bahwa ilmu para Imam adalah dari ilham dan wahyu.
Disebutkan dalam al Kaafi bahwa ilmu para Imam disusupkan kehati mereka yang disebut dengan ilham. Cara lain adalah imam mendengar langsung dari al Malik, meskipun mereka tidak melihat yang berkata. Dan juga  Malaikat mendatangi mereka, menginjak permadani mereka dan mereka melihat Malaikat.  (Biharul Anwar)

Kedua : Mereka beranggapan bahwa Imam Syi’ah memiliki ilmu Syari’at tersembunyi.
Masih dalam al Kaafi disebutkan dari Musa bin Ja’far (Imam ke 7), bahwa puncak ilmu kami tiga, yaitu ilmu madhi, ghabir dan hadits. Dijelaskan dalam Kitab Syarh al Kaafi bahwa ilmu madhi adalah setiap yang ditafsirkan dari Nabi. Ghabir adalah ilmu yang ditulis oleh Imam Ali bin Abi Thalib. Ilmu hadits adalah yang didapat (para Imam mereka, pen.)  langsung dari Allah tanpa perantara.

Tentang ilmu hadits yang mereka katakan didapat langsung dari Allah berarti sama dengan wahyu. Sungguh kita tidak tahu dimana mereka akan menyembunyikan kebohongan ini, bahwa Imam mereka mendapat ilmu langsung dari Allah. Kita berlindung kepada Allah  dari perkataan yang lancang  seperti ini.

Nah, kalau  pandangan Syi’ah terhadap  as Sunnah seperti itu dan  telah menyimpang sangat jauh dari ajaran Rasulullah,  maka masih pantaskah   mereka disebut sebagai bagian dari Islam.

Penjelasan tentang pandangan dan penyimpangan Syi’ah terhadap al Qur an dan as Sunnah diambil atau dikutip dari buku buku mereka. Bisa dikatakan penyimpangan pandangan terhadap al Qur an dan as Sunnah adalah keluar dari mulut mereka sendiri. 

Semoga Allah murka atas kebohongan dan kekeliruan pandangan mereka terhadap as Sunnah. (912)




Jumat, 30 Desember 2016

SIAPA YANG PALING UTAMA DIBERI ZAKAT



SIAPA YANG PALING UTAMA DIBERI ZAKAT

Oleh : Azwir B. Chaniago

Berzakat hukumnya wajib bagi   pemilik harta yang lebih. Sangatlah banyak perintah tentang kewajiban berzakat bahkan digandengkan dengan perintah shalat. Diantaranya adalah firman Allah : “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk (kepada Allah)” Q.S al Maidah 55).

Kemudian juga firman Allah : “Wa aqimush shalaata wa aatuz zakaata war ka’u ma-ar raaki’iin”. Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah bersama orang yang rukuk. (Q.S al Baqarah 43) 

Sungguh zakat itu bermanfaat bagi seorang hamba diantaranya untuk membersihkan mereka dan doa Nabi baginya. “Ambillah zakat dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (Q.S at Taubah 103)

Kewajiban zakat itu  datang ketika harta yang dimiliki seseorang  mencapai ukuran atau nishab  dan telah berjalan selama satu tahun sejak harta itu dimiliki. Namun demikian ada pengecualian yaitu zakat pertanian, buah buahan dan rikaz (semacam istilah harta karun yang diambil ketika menemukannya). Tentang hal ini lihatlah kitab fikih zakat.
 Tentang orang orang yang berhak menerima zakat telah dijelaskan  Allah Ta’ala dalam firman-Nya yakni ada delapan golongan : “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk  orang orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.(Q.S at Taubah 60). 

Lalu ada pertanyaan apakah semua yang berhak memperoleh zakat itu  harus diberi zakat karena kata wawu memiliki makna atau konsekwensi menggabungkan yang satu dengan yang lain.
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin memberikan penjelasan bahwa tidak harus semua. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Salallahu ‘alaihi Wasallam  kepada Muadz bin Jabbal ketika beliau mengutusnya untuk berdakwah ke negeri Yaman : “Beritahukanlah kepada mereka bahwasanya Allah telah mewajibkan kepada mereka shadaqah dalam harta harta mereka yang diambil dari orang kaya mereka dan diberikan kepada kaum fakir mereka : (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim). Rasulullah Salallahu ‘alaihi Wasallam tidak menyebutkannya kecuali (kaum fakir). Hal ini menunjukkan bahwa Allah telah menjelaskan dari sisi yang berhak dan bukan yang dimaksud harus memberi kepada semua golongan.  
Akan tetapi jika dikatakan manakah diantara (delapan)  golongan itu yang lebih utama diberi zakat ?. Kami katakan : Sesungguhnya orang yang paling utama diberi zakat adalah yang paling membutuhkan, karena semua golongan itu berhak, maka barangsiapa yang paling butuh maka dialah yang paling utama diberi zakat.
Dan umumnya yang paling membutuhkan adalah adalah kaum fakir dan miskin. Karena itulah Allah Ta’ala memulai ayat dengan menyebut mereka. Allah berfirman : “Innamaa shadaqaatu lil fuqaraa-i wal masaakiin” Sesungguh zakat zakat itu hanyalah untuk orang orang fakir, orang orang miskin ….(Q.S at Taubah 60). Lihat Fatwa Fatwa Penting, Syaikh Utsaimin).
Dan juga termasuk yang  utama adalah  diberikan kepada saudara saudara kita yang  memang fakir atau miskin. Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam (911)

ORANG ZHALIM AKAN BANGKRUT DI AKHIRAT



ORANG  ZHALIM AKAN BANGKRUT DI AKHIRAT

Oleh : Azwir B. Chaniago
Muqaddimah.
Sungguh perbuatan zhalim adalah sesuatu yang sangat tercela di sisi Allah Ta’ala. Oleh karena itu tidaklah Allah Ta’ala  akan membiarkan seorang hamba  melakukan kezhaliman terhadap hamba yang lain. Allah akan mengungkit atau memperhitungkannya. Sebab kezhaliman  berkaitan dengan hak sesama makhluk.

Rasulullah bersabda : Ada tiga catatan dosa di sisi Allah Ta’ala pada hari Kiamat kelak. Catatan dosa yang tidak  diampuni sedikitpun oleh Allah Ta’ala yaitu dosa syirik. Kemudian beliau membaca (firman Allah) : “Innallaha laa yaghfiru an yusyrika bihi” Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik. (Q.S an Nisa’ 48). Catatan dosa yang tidak akan dibiarkan begitu saja oleh Allah yaitu kezhaliman seseorang kepada orang lain. Catatan dosa yang tidak dipedulikan oleh Allah (jika Allah berkehendak maka Dia akan mengampuninya) yaitu kezhaliman seseorang terhadap dirinya sendiri, dosa antara dia dengan Rabb-nya. (H.R Imam Ahmad).

Makna dan contoh bentuk kezhaliman
Menurut para ulama dan pakar bahasa, kezhaliman adalah : Meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Diantaranya contohnya adalah bahwa jika seseorang menjual barang dagangannya dengan mengurangi timbangan dari yang seharusnya maka  dia tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Seharusnya dia menimbang dengan cukup tapi ternyata dikurangi.  Itulah salah satu contoh kezhaliman.

Imam Al Jurjani berkata : Kezhaliman adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Dan dalam istilah syar’i adalah suatu ungkapan yang menunjukkan berpaling dari kebenaran menuju kebatilan atau mengambil  hak milik orang lain dan melampaui batas.
Imam adz Dzahabi menjelaskan tiga contoh kezhaliman yang dilakukan sesama manusia yaitu :
Pertama : Memakan harta dengan cara yang bathil.

Kedua : Menzhalimi manusia dengan cara membunuh, melukai, memukul dan yang lainnya.

Ketiga : Menzhalimi manusia dengan celaan, laknat dan tuduhan dusta.

Larangan keras berbuat zhalim.
Sungguh Allah Ta’ala mengharamkan kezhaliman atas diriNya dan mengharamkan pula kepada manusia. Dari Abu Dzar dari Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau meriwayatkan dari Rabbnya bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman :  “Yaa ‘ibaadii innii haramtu zhulma ala nafsii, wa ja’alatuhu bainahum muharramaa” Wahai sekalian hamba-Ku, Sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman pada diri-Ku dan mengharamkannya pada kalian, maka janganlah kalian saling menzhalimi … (H.R Imam Muslim) 

Allah berfirman : “Walaa tarkanuu ilalladzina zhalamuu fatamassakumun naaru … “ Dan janganlah kamu cenderung kepada orang orang yang zhalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka. (Q.S Hud 113).

Imam al Baghawi menerangkan bahwa : Ayat ini bisa dikatakan sebagai ayat yang paling keras tentang larangan dan ancaman  terhadap perbuatan zhalim.
Rasulullah memberi peringatan yang tegas kepada umatnya agar tidak berlaku zhalim sebab akan memberi mudharat bagi dirinya. Beliau  bersabda : “Ittaquzh zhulma. Fainna zhulma zhulumaatun yaumal qiyaamah….” Takutlah kalian terhadap kezhaliman karena kezhaliman merupakan kegelapan pada hari Kiamat kelak … ( H.R Imam Muslim).

Menjadi orang yang bangkrut di akhirat.
Seseorang yang menzhalimi orang lain di dunia, maka seharusnya dia segera mohon dimaafkan, minta dihalalkan bahkan kalau perlu memberikan ganti rugi berupa harta. Jika tidak dilakukan maka di akhirat nanti, kezhaliman yang  diperbuatnya akan mengurangi pahalanya atau menambah dosanya sebagai  pengganti kezhaliman yang pernah dilakukan di dunia.

Rasulullah bersabda  : “Man kaanat ‘indahu mazhlimatun  li akhiihi falyatahalalhu minhaa, fainnahu laisa tsumma diinaaran walaa dirhamun minqabli aiyu’khadza li akhiihi min hasanaatihi, failam yakun lahuu hasasanatun akhidzun min syaiyiati  akhiihi fatharihat ‘alaihi.” Barang siapa yang memiliki kezhaliman terhadap saudaranya maka hendaklah dia meminta kehalalan (maaf) kepadanya, karena kelak di akhirat tidak ada lagi dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diambil untuk saudaranya (yang dia zhalimi), bila tidak memiliki kebaikan maka keburukan saudaranya (yang dia zhalimi) akan diberikan kepadanya (H.R Imam Bukhari).

Hal ini juga sejalan dengan makna hadits tentang orang yang muflis  yaitu tentang orang yang bangkrut di akhirat kelak. Pada hari akhirat kelak akan ada manusia yang datang dengan membawa   pahala amalnya. Tetapi akhirnya habis karena harus dipindahkan kepada orang orang yang menuntutnya yaitu orang orang yang  pernah dizhaliminya di dunia. Bahkan setelah pahala amalnya habis maka dosa orang yang dizhalimi dipindahkan kepadanya. Na’udzubillahi min dzalik.

Dari Abu Hurairah,  bahwasanya Rasulullah Salallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada para sahabat : "Tahukah kalian, siapakah orang yang bangkut itu?" Para sahabat menjawab : Menurut kami, orang yang bangkut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki uang dan harta kekayaan. Rasulullah  bersabda :
 "Sesungguhnya umatku yang bangkrut adalah orang yang pada hari kiamat datang dengan shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia selalu mencaci-maki, menuduh, dan makan harta orang lain serta membunuh dan menyakiti orang lain. Setelah itu, pahalanya diambil untuk diberikan kepada setiap orang dari mereka hingga pahalanya habis, sementara tuntutan mereka banyak yang belum terpenuhi. Selanjutnya, sebagian dosa dari setiap orang dari mereka diambil untuk dibebankan kepada orang tersebut, hingga akhirnya ia dilemparkan ke neraka." (H.R Imam Muslim)

Jadi Rasulullah Salallahu ‘alaihi Wasallam telah mengingatkan kita bahwa  di akhirat kelak akan ada transfer pahala dan dosa diantara hamba hamba Allah tersebab melakukan ke zhaliman di dunia. Oleh karena itu seorang hamba yang berakal tentulah tidak akan penah mau melakukan kezhaliman terhadap sesama karena terancam menjadi orang yang bangkrut di akhirat.

Semoga Allah Ta’ala menjauhkan kita dari melakukan perbuatan zhalim terhadap sesama. Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (910).

Rabu, 28 Desember 2016

BELAJAR ILMU DAN KEWAJIBAN MENGAMALKANNYA



BELAJAR ILMU DAN KEWAJIBAN MENGAMALKANNYA

Oleh : Azwir B. Chaniago

Ketahuilah bahwa belajar ilmu wajib baik kaum muslimin baik laki laki maupun perempuan. Rasulullah bersabda : “Thalibul ‘ilmi fardhatun ‘ala kulli muslim” Belajar ilmu adalah  wajib bagi setiap muslim. (H.R  Imam Ahmad dan Ibnu Majah)

Sungguh (1) Tidaklah seorang hamba bisa mengingat Allah secara benar kecuali dengan ilmu (2) Tidaklah seorang hamba bisa melakukan ketaatan kepada Allah dengan benar kecuali dengan ilmu. (3) Tidaklah seorang hamba bisa bersyukur atas  nikmat Allah kecuali dengan ilmu (4) Tidaklah seorang hamba bisa bersabar secara benar  terhadap ujian yang diberikan Allah kecuali dengan ilmu.

Orang bijak berkata : Untuk mendapatkan dunia butuh ilmu, untuk mendapatkan akhirat butuh ilmu. Dan untuk mendapatkan keduanya butuh ilmu. Jika butuh ilmu maka harus dicari yaitu dengan cara belajar. Belajar dengan sungguh sungguh. Hanya itulah cara untuk mendapatkan ilmu tidak ada cara lain.

Selanjutnya adalah mengamalkan ilmu yang merupakan kewajiban seorang yang telah mengetahuinya. Ilmu tidak bermanfaat jika tidak diamalkan. Sesungguhnya buah ilmu adalah amal.  Sungguh di akhirat kelak yang akan ditimbang adalah amal bukan ilmu. Dan Allah hanya akan memberikan balasan berdasarkan amal yang dilakukan.

Allah berfirman :  “Innama tujzauna ma kuntum ta’malun.” Sesungguhnya kamu diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S. Ath Thuur 16).

Imam Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat ini bahwa Allah tidak akan pernah menzhalimi seorangpun. Bahkan sebaliknya. Dia senantiasa memberikan balasan kepada setiap orang sesuai dengan amalnya.

Sungguh Allah Ta’ala mencela orang yang mengetahui tapi tidak mengamalkannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Ata’muruunan naasa bil birri wa tansauna anfusakum wa antum tatluunal kitaab, afalaa ta’qiluun”.  Mengapa kamu suruh orang lain (melakukan) kebajikan sedangkan kamu melupakan (kewajiban) dirimu sendiri pada hal kamu membaca Kitab. . Maka tidakkah kamu berfikir.” ? (Q.S. al Baqarah 44).

Dalam kitab Tafsir Karimiir Rahman, Syaikh as  Sa’di antara lain menjelaskan bahwa ayat ini turun, walaupun kepada Bani Israil, namun bersifat umum kepada setiap orang, karena ini adalah firman Allah. Selanjutnya Syaikh berkata : Barangsiapa yang menyuruh orang lain kepada kebaikan lalu dia tidak melakukannya atau melarang  dari kemungkaran namun dia tidak meninggalkannya maka hal itu menunjukkan tidak ada akal padanya. Dan ini suatu kebodohan. Khususnya bila dia telah mengetahui hal itu dan hujjah benar-benar  telah ditegakkan atasnya.

Sufyan ats Tsauri  berkata : Bahwa sungguh ilmu dipelajari untuk (diamalkan) dan   dijadikan sebagai sarana bertakwa kepada Allah.

Oleh karena itu kewajiban seorang hamba adalah belajar ilmu terutama ilmu syar’i dan juga ilmu ilmu lainnya yang bermanfaat bagi kaum muslimin. Kewajiban selanjutnya  adalah mengamalkannya. Itulah yang dimaksud dengan ilmu yang bermanfaat.
Wallahu A’lam. (909).