Selasa, 31 Mei 2016

TAKUT KEPADA HARTA SYUBHAT



TAKUT KEPADA HARTA SYUBHAT APALAGI HARTA HARAM

Oleh : Azwir B. Chaniago

Sebagian manusia dizaman ini dengan enteng tanpa beban berkata : Saat ini kehidupan sulit. Mencari yang haram saja sudah susah apalagi mencari  yang halal. Sungguh ini perkataan orang yang masih ragu terhadap kemurahan dan kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya.

Ketahuilah bahwa seorang hamba yang wara’ sangatlah khawatir bila memperoleh harta  dari yang syubhat apalagi yang jelas keharamannya. Rasulullah bersabda : “Barang siapa yang meninggalkan barang syubhat maka sungguh ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Dan barang siapa yang menjerumuskan (dirinya) kedalam syubhat berarti dia telah terjatuh pada keharaman. Seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah larangan maka hampir hampir ia masuk kedalamnya …. (H.R Imam Bukhari  dan Imam Muslim).

Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad seorang ahli hadits dan pengajar tetap di Masjid Nabawi, berkata : Perkara yang syubhat atau samar adalah tidak termasuk perkara yang jelas kehalalannya dan tidak termasuk pula yang jelas keharamannya. Ini tidak diketahui oleh banyak orang dan hanya diketahui oleh sebagian mereka.

Beliau menambahkan : Perkara yang samar jika dijauhi maka akan mendatangkan (1)  Keselamatan bagi agama seseorang yaitu  hubungan antara dia dengan Allah Ta’ala. (2) Keselamatan bagi kehormatannya yaitu hubungan mereka dengan manusia, sehingga manusia tidak punya jalan untuk menodai kehormatannya.

Jika seseorang menganggap remeh menyentuh perkara syubhat maka hal  itu akan menyeretnya kedalam perkara haram yang nyata. Rasulullah Salallahu ‘alaihi Wasallam telah membuat permisalan tentang hal ini yaitu seperti seorang penggembala yang mengembala disekitar daerah larangan.  
   
Jika dia jauh dari tempat terlarang tersebut niscaya dia akan selamat dari masuknya hewan gembalaannya ke dalam daerah terlarang tersebut. Namun jika dia dekat  niscaya lambat laun gembalaannya akan masuk ke dalamnya tanpa dia sadari. (Syarah Hadits ke 6 Arba’in an Nawawiyah).

Perhatikanlah saudaraku, satu kisah shahih tentang orang orang yang wara’ yaitu  menghindar dari  harta yang samar baginya. 

Dari Abu Hurairah, ia berkata Rasulullah bersabda : “Ada seseorang membeli tanah pekarangan dari seseorang yang lain. Kemudian secara tidak sengaja sang pembeli (tanah) tersebut menemukan sebuah tembikar berisikan emas di dalam tanah yang dibelinya. Sang pembeli tanah itu berkata kepada penjual tanah : Ambillah emasmu ini, karena aku hanya membeli tanah saja darimu dan tidak membeli emas.

Sang penjual tanah itu menjawab : Sesungguhnya saya sudah menjual tanah itu kepadamu beserta isinya (maka emas itu milikmu sebagai pembeli tanah, pen.).

Kemudian keduanya sepakat mengajukan perkaranya kepada seseorang, maka laki laki tersebut akhirnya memberikan keputusan : Apakah kalian berdua memiliki anak ? Maka salah satu dari keduanya menjawab : Aku memiliki seorang anak laki laki. Dan berkata yang lain berkata : Aku memiliki seorang anak wanita. Kemudian laki laki itu mengatakan : Nikahkanlah keduanya dan sedekahkanlah harta itu untuk keduanya. Merekapun melakukannya. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Dalam kisah ini terdapat pelajaran berharga yaitu si pembeli maupun si penjual tanah tersebut sama sama takut untuk mengambil emas dalam tembikar itu dan tidak ingin mendapatkannya karena sama sama memiliki sifat wara’. Keduanya juga sama sama ingin menjauh dari harta yang syubhat.

Lalu bagaimana jika kisah ini terjadi pada zaman kita sekarang. Allahu a’lam tentu jalan ceritanya akan lain. Bukankah manusia zaman sekarang banyak  yang tamak terhadap harta. Tidak begitu peduli dengan halal, syubhat dan haram kecuali orang orang yang telah mendapat petunjuk dari Allah Ta’ala.

Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (686)



DOA NABI PADA DZIKIR PAGI



DOA NABI PADA DZIKIR PAGI

Oleh : Azwir B. Chaniago

Diantara kebiasaan baik dari Rasulullah dan perlu kita ikuti adalah membaca dzikir pagi yang berupa pujian kepada Allah dan juga doa.   Salah satu doa yang biasa dibaca oleh Rasulullah sebagai rangkaian dari dzikir pagi beliau yaitu dzikir setelah shalat shubuh adalah : “Allahhumma inni as’alukailman nafi’an wa rizqan thaiyiban waamalan mutaqabbalan” Yang Allah, aku bermohon kepada Engkau ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik dan amal yang diterima. (H.R Imam Ahmad dan Imam Ibnu Majah, dari Ummu Salamah). 

Urutan doa ini sangatlah indah karena dimulai dengan minta ilmu yang bermanfaat karena tanpa ilmu kita tidak bisa melakukan apapun dengan benar. Kemudian setelah mendapat ilmu yang bermanfaat baru meminta rizki yang baik dan untuk mengetahui dan mendapatkan rizki yang baik yaitu setelah berilmu. Selanjutnya meminta amal yang diterima. Sungguh amal bisa diterima yaitu dengan ilmu dan makan dari rizki yang baik.              
Selain itu, dari hadits yang mulia ini sangatlah banyak kita bisa mengambil pelajaran, diantaranya adalah  :

Pertama : Rasulullah mengajarkan supaya memohon ilmu yang bermanfaat.
Tentang ilmu yang bermanfaat, Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid dalam Kitab Adab dan Manfaat Menuntut Ilmu yang disyarah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin memberikan beberapa indikasi, diantaranya :

(1) Ilmu yang diamalkan. Setelah mempelajari ilmu dan membenarkan yang dipelajari berdasarkan nash yang shahih maka wajiblah mengamalkannya. Jika tidak diamalkan maka bukanlah namanya ilmu yang bermanfaat. Sungguh buah ilmu adalah amal yang shalih.
(2) Tidak suka dipuji dan tidak sombong. Memang ada sebagian orang yang berilmu, apalagi kalau ilmunya pas-pasan, sering bertanya tentang pandangan orang terhadap ilmu yang dimilikinya. Apa sudah hebat atau belum. Jika orang menjawab dengan pujian maka timbul sikap ujub dan sombong. Ini membahayakan bagi diri dan ilmunya.
(3) Semakin tawadhu’ setiap kali ilmunya bertambah.  Ini juga merupakan salah satu tanda ilmu bermanfaat. Tawadhu’ adalah kelaziman orang-orang shalih dan orang orang  memiliki ilmu yang mumpuni. Dia tidak serta-merta menunjukkan bahwa dialah orang yang paling ‘alim meskipun dia tidak akan menyembunyikan ilmunya pada saat dibutuhkan orang lain.
(4) Tidak mencintai kedudukan, popularitas dan keduniaan. Janganlah dengan ilmu yang dimiliki membuat seseorang sangat berambisi untuk jadi pemimpin. Jangan pula ilmu dijadikan sarana untuk mendapatkan popularitas dan untuk mengejar keuntungan dunia yang hanya sementara.
(5) Buruk sangka kepada diri dan tidak mencela. Jiwa seseorang bisa menipunya atau memerintahkan berbuat buruk. Orang yang ilmunya bermanfaat akan berprasangka buruk kepada dirinya karena selalu merasa ilmunya masih sangat sedikit, belum seberapa dibanding orang lain. Masih sangat banyak yang belum dia ketahui. Jika kesadaran ini ada maka terhindarlah dia dari meremehkan apalagi mencela orang lain yang mungkin kurang ilmunya.

Kedua : Rasulullah mengajarkan supaya memohon   rizki yang baik.
Untuk mendapatkan rizki yang baik maka wajib bagi seorang hamba  melakukan pekerjaan ataupun melakukan usaha usaha yang halal sebagaimana dituntunkan syariat. Tidak mengambil rizki yang syubhat apalagi yang haram. Sungguh Allah telah memperingatkan agar seseorang makan dari yang halal. 

Allah Ta’ala  berfirman : “Yaa aiyuhal ladziina aamanuu kuluu min thaiyibaati maa razaqnaakum, wasykuruu lillahi in kuntum iyyaahu ta’buduun”. Wahai orang-orang yang beriman ! Makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. (Q.S. al Baqarah  172)

Jadi, seorang hamba tidak boleh bekerja dalam bidang-bidang yang dianggap oleh Islam sebagai kemaksiatan dan akan menimbulkan kerusakan. Diantara bentuk pekerjaan yang diharamkan oleh Islam adalah membuat patung, membuat dan mengedarkan khamr, berjudi atau bekerja dalam pekerjaan yang mengandung unsur judi, riba, suap-menyuap, sihir,  perdukunan, mencuri, merampok, menipu dan yang lainnya.

Ketiga : Rasulullah mengajarkan supaya bermohon agar  amalan diterima.
Ketahuilah bahwa amalan yang diterima adalah amalan yang baik sedangkan  amal yang tidak baik akan tertolak bahkan bisa mendatangkan mudharat.  

Allah berfirman : “Alladzi khalaqal mauta wal hayaata liyabluwakum aiyukum ahsanu ‘amala, wa huwal ‘aziizul ghafuur”  (Dialah) Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu siapa yang paling baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Mahapengampun.  (Q.S al Mulk 2).  
     
Al Imam Fudhail bin Iyadh menjelaskan bahwa :  Ahsanu amala, paling baik amalnya  dalam ayat ini maksudnya adalah paling ikhlas dan paling sesuai dengan syariat. Kemudian ada yang bertanya : Apakah maksud yang paling ikhlas dan paling sesuai dengan syariat ? Lalu beliau menjawab : Sesungguhnya amalan apabila ikhlas tetapi tidak sesuai dengan syariat maka tidak diterima. Demikian pula apabila sesuai dengan syariat tetapi tidak ikhlas maka amalan itu tidak diterima, hingga amalan tersebut ikhlas dan sesuai dengan syariat. (Hilyah al Auliya’).

Doa ini adalah sangat baik untuk kita lazimkan dalam dzikir pagi sebagaimana diajarkan Rasulullah dan diamalkan oleh beliau serta para sahabat. Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua.

Wallahu A’lam (685)


Senin, 30 Mei 2016

HADITS DHA'IF DAN MAUDHU TENTANG RAMADHAN



 HADITS DHA’IF DAN MAUDHU’ TENTANG RAMADHAN

Oleh : Azwir B. Chaniago

Beberapa waktu menjelang  Ramadhan atau pada bulan Ramadhan sering kali kita mendengarkan  hadits hadits dha’if (lemah), dha’if jiddan (lemah sekali) bahkan ada juga yang maudhu’ (palsu) ataupun laa ashlalahu (tidak jelas asal usulnya).

Hadits hadits yang demikian biasanya dibawakan oleh beberapa guru kita dalam ceramah atau kajian tentang ramadhan dan keutamaannya. Kita berprasangka baik, karena (1)  Barangkali tujuannya untuk memotivasi jamaah agar lebih bersemangat dalam beribadah dalam bulan Ramadhan. (2) Mungkin juga, ustadz ini karena  kesibukannya sehingga belum sempat meneliti derajat hadits yang dibawakannya. (3) Bisa jadi juga itu hadits diterima dari guru yang  dikaguminya dan sangat dipercaya sehingga dia tidak lagi berusaha  mencari kejelasan bagaimana kedudukan hadits yang dibawakannya.

Seharusnya, seseorang yang akan membawakan apalagi mendakwahkan suatu hadits harus mencari tahu dulu kedudukan atau derajat hadits itu sebelum didakwahkan. Dalam hal ini paling tidak ada tiga hal yang  patut kita khawatirkan :

Pertama : Jika seseorang belum mengetahui kedudukan suatu hadits lalu di dakwahkan kepada orang lain maka ini suatu yang tercela. Bukankah semua yang kita ucapkan dan kita lakukan harus dipertanggung jawabkan dihadapan Allah Ta’ala. Perhatikanlah firman-Nya : 

Wa laa taqfu maa laisa laka bihii ‘ilmun, innas sam’a wal bashara wal fu-aada kullu ulaa-ika kaanaa ‘anhu mas-uulaa”. Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggung jawabannya.  (Q.S al Isra’ 36).

Kedua : Jika seseorang belum mengetahui kedudukan suatu hadits maka sangatlah terpuji jika dia mencari tahu kepada yang lebih ‘alim sebelum mendakwahkan. Allah berfirman :  “Fas’aluu ahladz dzikri inkuntum laa ta’lamuun” Maka bertanyalah kepada orang orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui. (Q.S al Anbiyaa 7).

Selanjutnya jikalau seseorang belum mengetahui kedudukan suatu hadits lalu didakwahkan dan ternyata derajat hadits itu tidak shahih maka sekiranya diamalkan oleh yang mendengarkan bisa jadi menyesatkan.

Ketiga : Jika seseorang sudah mengetahui kedudukan suatu hadits itu dhaif  ataupun maudhu’  lalu disampaikan kepada orang banyak tanpa menjelaskan derajat hadits maka ini suatu yang lebih tercela lagi.  Rasulullah telah mengingatkan dalam sabda beliau dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda : “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia mempersiapkan tempatnya di neraka. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).   

Kalau kita perhatikan memang ada  beberapa hadits yang tidak shahih tentang shiyam dan Ramadhan, diantaranya adalah :

Pertama : Tidur orang berpuasa ibadah
Keterangan ini disandarkan pada sebuah hadits yang cukup masyhur yaitu : “Shamtush shaa-imi tasbiihun. Wa nuumuhu ‘ibaadatun, wa du‘aa-uhu mustajabun, wa ‘amaluhu mudhaa-‘afun” Diamnya orang yang berpuasa adalah tasbih, tidurnya adalah ibadah, doanya mustajab dan amal dilipat gandakan. (H.R ad Dailami dari Ibnu Umar).

Tapi ketahuilah bahwa para ahli hadits menilai  sanad hadits ini adalah dha’if jiddan atau lemah sekali. Jadi tidaklah bisa dijadikan hujjah. Syaikh al Albani dalam Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’ nomor 3784 menjelaskan bahwa kelemahannya ada pada seorang diantara perawinya yaitu Rabi’ bin Badr. Dia adalah seorang rawi yang ditinggalkan.

Melihat kepada matan atau redaksi hadits ini, bisa jadi membuat sebagian orang yang berpuasa menjadi kurang semangat untuk melakukan suatu aktivitas dan memperbanyak tidur. Bukankah tidurnya orang berpuasa adalah ibadah yaitu dengan bersandar pada hadits ini. Tapi hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah atau sandaran karena sangat lemah.

Kedua : Doa berbuka puasa.
Derajat hadits ini lemah. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Baihaqi dan yang selainnya. Dari Mu’adz bin Zahrah bahwasanya sampai kepadanya apabila Rasulullah berbuka beliau berdoa dengan doa : “Allahumma laka shumtu (wa bika amantu) wa ‘ala razqika afthartu” Ya Allah untuk Engkaulah aku berpuasa (dan kepada Engkau aku beriman) dan atas rizki Engkaulah aku berpuasa.

Ada tiga cacat dalam hadits ini sehingga dihukumi sebagai hadits lemah, yaitu : (1) Mua’dz bin Zahrah adalah perawi majhul, tidak dikenal. (2) Hadits ini mursal dhaif karena Muadz bin Zahrah seorang tabi’in tapi meriwayatkan langsung dari Nabi. (3) Sanad nya mudhtharib, daya ingatnya lemah.

Hadits ini dilemahkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar (lihat Takhrij al Adzkar dan juga dilemahkan oleh Syaikh al Albani dalam al Irwa’.

Doa berbuka puasa yang shahih adalah : “Dzahabazh zhamaa-u, wabtalatil ‘uruuqu, wa tsabatil ajru in syaa-Allah”. Telah hilang rasa haus dan telah basah kerongkongan serta telah tetaplah pahala, insya Allah. (H.R Abu Dawud, lihat al Irwa’ dan Shahih Jami’ Syaikh al Albani).  

 Ketiga : Berpuasa supaya sehat.
“Shuumuu tashihuu” Berpuasalah niscaya engkau akan sehat.
Diriwayatkan ath Thabrani dalam al Ausath, Abu Nu’aim dalam ath Thibun Nabawi dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abu Dawud berkata : Telah mengabarkan kepada kami Zuhair bin Muhammad dari Suhail bin Abi Shalih dari bapaknya darii Abu Hurairah secara marfu’. Sisi cacatnya ada pada Zubair bin Muhammad. Dia orang yang lemah.

Imam al Iraqi berkata dalam Takhrij Kitab al Ihya’ : Diriwayatkan oleh ath Thabrani dalam al Ausath dan Abu Nu’aim dalam ath Thibun Nabawi, dengan sanad lemah. Dengan agak berlebihan ash Shaghani dalam Maudhu’at menyatakan bahwa ini adalah hadits palsu. (Lihat adh Dhaifah) 

Secara lafazh memang benar karena berpuasa akan membuat seseorang menjadi lebih sehat. Insya Allah. 

Keempat : Berharap satu tahun Ramadhan terus.
“Seandainya umatku mengetahui apa yang terdapat dalam satu bulan Ramadhan maka sungguh mereka akan berharap satu tahun itu Ramadhan penuh…”
Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Abu Ya’la, Ibnul Jauzi dalam al Maudhu’at : Dari jalan Jarir bin Ayyub al Ghifari secara marfu’. Sisi cacatnya ada pada Jarir bin Ayyub al Ghifari. Derajat hadits ini palsu.

Diantara ahli hadits yang memberi komentar adalah : (1) Abu Nu’aim berkata : Dia (Jarir bin Ayyub) memalsukan hadits. (2) Imam Bukhari berkata : Munkarul hadits. (3) Abu Zur’ah berkata : Munkarul Hadits. (4) An Nasa’i berkata : (Jarir) ditinggalkan haditsnya. (5) Ibnul Jauzi berkata : Hadits ini palsu (6) Imam asy Syaukani berkata : Hadits ini palsu. (Lihat al Ahaditsul Maudhu’ah, Ustadz Ahmad Said Sabiq).

 Kelima : Berbuka puasa tanpa udzur.
“Barangsiapa yang tidak puasa satu hari pada bulan Ramadhan tanpa ada udzur yang diringankan oleh Allah maka tidak akan bisa diganti oleh puasa satu tahun penuh seandainya dia melakukannya”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, at Tirmidzi, Abu Dawud dan selainnya dari jalan Abu Muthawwis, dari bapaknya dari Abu Hurairah secara marfu’.
Ibnu Hajar al Hafizh, berkata : hadits ini diperselisihkan pada Habib bin Abu Tsabit yang ternyata memiliki tiga cacat. (1) Mudhtharib atau goncang. (2) Abu Muthawwis adalah majhul atau tidak dikenal. (3) Dan diragukan apakah bapaknya mendengar dari Abu Hurairah (Fathul Bari).

Syaikh al Albani berkata : Diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara  mu’allaq yaitu terputus sanadnya dan hanya disebut awal sanad saja.  Imam Bukhari mengisyaratkan kelemahan hadits ini.

Keenam : Puasa Ramadhan tergantung zakat fithri.
“Bulan Ramadhan itu tergantung antara langit dan bumi dan tidak diangkat (pahala puasa seseorang) kepada Allah kecuali dengan zakat fithri”.
Ibnul Jauzi membawakannya dalam al-Wahiyat seraya mengatakan: Tidak shahih, di dalamnya terdapat Muhammad bin Ubaid al-Bashri. Dia adalah seorang majhul (perawi yang tidak dikenal).

Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani berkata : Seandainya hadits ini shahih maka zhahirnya menunjukkan bahwa diterimanya puasa Ramadhan tergantung dengan mengeluarkan zakat fithri. (Seakan akan) barangsiapa yang tidak mengeluarkan zakat fithri maka puasanya tidak diterima. Dan saya tidak mengetahui seorang ulama pun yang berpendapat demikian. (Lihat Silsilah Hadits Dhaif)   

Ketujuh : Ramadhan dibagi tiga fase.
 “Syahrun auwaluhu rahmatun, wa auwasathuhu maghfiratun, wa aakhirahu ‘itqun minannar”.  (Bulan Ramadhan adalah) bulan yang awalnya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka.

Hadits ini adalah penggalan dari suatu hadits yang cukup panjang.  Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dalam Kitab Shahihnya. 

Hadits ini juga diriwayatkan dari Abu Hurairah dengan redaksi sedikit berbeda yaitu : “Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah maghfirah dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.”

Hadits dengan matan ini dikeluarkan oleh al Uqaili, Ibnu ‘Adi, al Khatib , ad Dailami dan Ibnu Asakir. Kedudukan hadits ini telah dijelaskan oleh para ahli hadits, diantaranya : (1)  Dalam sanadnya ada Salam bin Sulaiman bin Siwar. Ibnu Adi berkata : Menurutku , haditsnya mungkar. (2) Juga terdapat Maslamah bin Shalt dan Maslamah itu tidak dikenal. Abu Hatim mengomentarinya : Haditsnya ditinggalkan.  (3) Syaikh  Muhammad Nashiruddin al Albani, seorang ahli hadits abad ini,  menyebutkan bahwa : Hadits ini mungkar. (Lihat Kitab Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’ jilid 4/1571)

Demikianlah sebagian dari hadits hadits  tidak shahih yang berhubungan dengan shaum dan Ramadhan. (Penulis banyak mengambil manfaat dari Kitab Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’, Syaikh al Albani dan juga dari tulisan Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif dan juga tulisan  Ustadz Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi)

Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam (684)


Sabtu, 28 Mei 2016

JANGAN SUKA MENGUMBAR AIB



JANGAN SUKA MENGUMBAR AIB

Oleh : Azwir B. Chaniago

Jika seseorang  telah terlanjur melakukan kemaksiatan dimasa lalu janganlah menyebarkannya kepada manusia. Menceritakan aib dimasa lalu dianggap sebagai perbuatan menyebarkan kedurhakaan dan kekejian. Ketahuilah bahwa adab paling utama terhadap keburukan atau aib masa lalu adalah bertaubat dengan sebenar benar taubat. 

Sungguh memohon ampun dan bertaubat adalah untuk menghapus dosa dan keburukan dimasa lalu.  Allah Ta’ala memerintahkan orang orang yang beriman untuk bertaubat sebagaimana firman-Nya : “Wa tuubuu ilallahi jamiian aiyuhal mu’minuuna, la’allakum tuflihuun”. Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang orang yang beriman, agar kamu beruntung.  (Q.S an Nuur 31).

Memang terkadang kita melihat ada sebagian orang yang telah bertaubat dari kemaksiatannya dimasa lalu tetapi berbangga diri menceritakannya dihadapan orang banyak. Menceritakan kemaksiatan dimasa lalu adalah termasuk salah satu sikap tercela.

Rasulullah bersabda : “Seluruh umatku dimaafkan kecuali al mujaahiriin (orang yang menyebarkan perbuatan maksiatnya). Termasuk ijhaar adalah seorang hamba yang melakukan maksiat pada malam hari. Kemudian pada pagi harinya Allah menutupi aibnya. Namun ia malah berkata : Wahai Fulan. Aku telah melakukan begini dan begini tadi malam. Pada malam hari Allah menutupi aibnya tetapi keesokan harinya ia membuka penutup Allah dari aib dirinya”. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Dari hadits diatas dapatlah diketahui bahwa orang orang yang mengumbar aib dirinya sendiri jelas sangat tercela dalam syariat Islam. Lalu bagaimana dengan seseorang yang mengumbar aib orang lain tentu jauh  lebih tercela dan membahayakan bagi dirinya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengingatkan orang beriman untuk tidak mengumbar aib saudaranya. Beliau bersabda : “Janganlah kalian mencari-cari kesalahan-kesalahan kaum muslimin, karena barang siapa yang mencari-cari kesalahan mereka maka Allah akan menelusuri kesalahan-kesalahannya, dan barang siapa yang ditelusuri kesalahannya oleh Allah maka Allah akan membongkarnya (meskipun) dia di rumahnya sendiri”  (H.R Abu Dawud)

Oleh karena itu seorang hamba haruslah menjaga kehormatan saudaranya yaitu antara lain dengan tidak mengumbar aibnya. Tidak boleh menceritakan aib saudaranya kepada orang lain.  Aib itu bisa berupa cacat dirinya, auratnya, kesalahan dan kekeliruan serta berbagai kekurangannya.

Allah berfirman : “Wahai orang orang yang beriman !. Jauhilah banyak prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari cari kesalahan orang lain. …(Q.S al Hujuraat 12).

Rasulullah bersabda : “Man satara akhaahul muslima fid dun-ya satarahullahu yaumal qiyaamah. ” Barang siapa menutup aib saudaranya di dunia, niscaya Allah akan menutup aibnya pada hari Kiamat. (H.R Imam Ahmad, lihat Shahihul Jami’)

Maka berbahagialah orang orang yang mampu menahan diri untuk tidak membicarakan aib saudaranya dan juga tidak membicarakan aibnya sendiri karena mengumbar aib sendiri apalagi aib orang lain  sungguh sangat tercela di sisi Allah Ta’ala. 

Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam (683)