Minggu, 23 November 2014

MENGANGKAT SUARA MELEBIHI NABI



MENGANGKAT SUARA MELEBIHI NABI

Oleh : Azwir B. Chaniago

Seorang muslim wajib untuk  beradab kepada Rasulullah. Diantaranya adalah jika berbicara dengan Rasulullah, maka seseorang tidak mengangkat suara melebihi suara beliau sebagai salah satu bentuk kecintaan dan penghormatan.
Allah memperingatkan  tentang hal itu dalam firman-Nya : “Ya aiyuhal ladzina aamanuu laa tarfa’uu ashwaatakum fauqa shautin nabiyyi, walaa tajharuu lahuu bilqauli kajahri ba’dhikum liba’din, an tahbatha a’malukum wa antum laa tasy’uruun”. Wahai orang orang yang beriman. Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi. Dan janganlah kamu berkata   kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak mengetahui. (Q.S al Hujuurat 2)

Syaikh as Sa’di berkata : Ini adalah adab terhadap Rasulullah ketika berbicara dengan beliau. Artinya orang yang berbicara dengan Rasulullah tidak boleh meninggikan suaranya melebihi suara Rasulullah. Tidak boleh mengeraskan suara dihadapan Rasulullah. Ketika berbicara dengan beliau suara harus dilirihkan dengan sopan, lembut seraya mengagungkan dan memuliakan beliau karena Rasulullah bukanlah seperti salah seorang dari kalian. Untuk itu bedakanlah ketika berbicara dengan beliau sebagaimana kalian membedakan hak haknya terhadap umatnya. Kalian wajib mencintainya dengan sebenar benar kecintaan dimana keimanan tidak bisa sempurna tanpanya. Tanpa melaksanakan hal itu dikhawatirkan akan bisa menggugurkan amalan seorang hamba sedangkan dia tidak merasa. (Kitab Taisir Tafsir Kariimir Rahman).
  
Imam Ibnul Qayyim mengingatkan  : Apabila mengangkat suara  lebih tinggi daripada suara beliau itu menjadi sebab terhapusnya amalan, lantas bagaimana dengan orang orang yang mendahulukan akal mereka, perasaan mereka, politik mereka atau pengetahuan mereka daripada ajaran yang beliau  bawa  dan mengangkat itu semua diatas sabda sabda beliau. Bukankah itu semua lebih pantas lagi untuk menjadi sebab terhapusnya  amal  mereka. (Adh Dhau’ al Munir ‘ala Tafsir)

Oleh karena beliau sudah wafat tentu kita tidak memiliki lagi kesempatan untuk berbicara  dengan Rasulullah. Namun demikian jika tidak berhati hati sehingga salah  dalam menyikapi perintah dan larangan beliau maka boleh jadi kita termasuk orang orang yang dimaksud oleh Imam Ibnul Qayyim. Yaitu orang orang yang lebih pantas terhapus amalnya. Na’dzubillahi min dzaalik.

Wallahu a’lam. (138)      










Tidak ada komentar:

Posting Komentar