Selasa, 29 Agustus 2017

SIFAT PARA PENUNTUT ILMU SYAR'I



SIFAT PARA PENUNTUT ILMU SYAR’I

Oleh : Azwir B. Chaniago

Ketahuilah bahwa orang berilmu adalah orang orang yang amat sangat takutnya kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman : “Innamaa yakhsyallaha min ‘ibaadihil ‘ulamaa-u, Innallaha ‘aziizun ghafuur”. Di antara hamba hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama (orang yang mengetahui ilmu kebesaran dan kekuasaan Allah). Sungguh Allah Mahaperkasa dan Maha Pengampun.  (Q.S Faatir 28).

Imam Ibnul Qayyim berkata :  Semakin bertambah pengetahuan seorang hamba tentang Allah maka semakin bertambah pula rasa takut dan pengagunganmya kepada-Nya. Kemudian pengetahuannya ini akan mewariskan perasaan malu, pengagungan, pemuliaan, merasa selalu diawasi, kecintaan, bertawakal, selalu kembali serta ridha dan tunduk kepada perintah-Nya. (Raudhatul Muhibbin).

Diantara keutamaan orang yang berilmu adalah sebagaimana yang difirmankan Allah : “..Yarfa’illahul ladzi na aamanu minkum walladzina utul ‘ilma daraajat” Niscaya Allah akan meninggikan orang orang beriman diantara kamu dan orang orang yang diberi ilmu beberapa derajat. (Q.S al Mujaadilah 11).

Oleh karena itu seorang hamba hendaklah mewajibkan dirinya untuk belajar ilmu sehingga mencapai derajat yang tinggi disisi Allah. Bukankah Rasulullah telah bersabda bahwa menuntut  ilmu itu wajib bagi setiap muslim laki laki dan perempuan. “Thalibul ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslim”. Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim (H.R Imam Ahmad). 

Ketahuilah bahwa ada beberapa sifat yang menjadi pegangan para penuntut ilmu agar berhasil mendapat ilmu yang bermanfaat, diantaranya :

Pertama : Selalu bertakwa kepada Allah
Penuntut ilmu wajib bertakwa kepada Allah Ta’ala dalam rangka melaksanakan perintah-Nya, mendapatkan pahala-Nya, sehingga selamat dari azab-Nya.
Allah Ta’ala berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, Allah akan menjadikan untuk kalian furqan (pembeda).” (Q.S al Anfal 29)

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata :  Allah Ta’ala akan menjadikan bagi kalian sesuatu yang bisa kalian gunakan untuk membedakan antara yang haq dan yang batil, antara yang bermanfaat dan yang bermudarat.
Ilmu termasuk salah satunya. Allah akan membukakan untuk seseorang ilmu-ilmu yang tidak dibukakan untuk selainnya. Sebab, bertakwa akan menyebabkan seseorang memperoleh tambahan petunjuk, tambahan ilmu, dan tambahan hafalan. (Kitabul ‘Ilmi)

Kedua : Selalu menjaga keikhlasan dalam belajar ilmu.
Rasulullah bersabda : “Barangsiapa menuntut ilmu, dimana dituntut darinya keikhlasan kepada Allah, sementara dia melakukannya karena ingin mendapatkan kesenangan dunia maka ia tidak akan mencium bau surga (H.R Imam Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan oleh Syaikh al Albani).

Oleh karena itu seorang yang belajar  ilmi haruslah terus menerus memeriksa niatnya sebelum belajar, saat belajar dan sesudah belajar. Jangan sampai niatnya terganggu oleh tujuan lain selain ikhlas untuk mencari ridha Allah Subhanahanahu wa Ta’ala. 

Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid berkata : Apabila ilmu tidak didasari dengan keikhlasan niat, dia akan berobah dari ibadah yang paling mulia menjadi kemaksiatan yang paling hina. Dan tidak ada yang bisa menghancurkan ilmu semisal riya, baik riya yang  sampai kepada kesyirikan ataupun riya yang menghilangkan keikhlasan.

Ketiga : Selalu sabar dalam menuntut ilmu
Penuntut ilmu seyogianya bersungguh-sungguh dan bersabar mencari ilmu serta menjaga dan mengamalkan  ilmunya setelah mendapatkannya. Sungguh ilmu hanya akan didapat dengan bersungguh sungguh mencari dan mempelajarinya.

Syaikh Utsaimin berkata : Pada pendahulu kita, as-Salafush Shalih, adalah orang orang yang terkenal sabar dalam menuntut ilmu. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa beliau pernah ditanya, “Dengan apa engkau mendapatkan ilmu ?.  Beliau menjawab, “Dengan lisan yang selalu bertanya, kalbu yang selalu berpikir, dan jasmani yang tidak pernah bosan.” (Kitabul ‘Ilmi) 

Keempat : Selalu menjaga ilmu
Penuntut ilmu seharusnya bersemangat untuk mengulang-ulang dan menjaga ilmu yang telah dia pelajari, baik dengan menghafalnya maupun menulisnya, karena manusia itu tempat sifat lupa. Apabila ia tidak bersemangat memurajaah (mengulang-ulang) ilmu yang telah dipelajari, ilmu itu akan hilang atau ia akan lupa.

Jangan mencari ilmu pada saat dibangku pendidikan saja. Harus terus belajar meskipun sudah tamat dari bangku pendidikan dan mendapat ijazah atau sertifikat bahkan gelar tertentu. Sungguh ilmu itu sangat luas dan tidaklah cukup untuk dipelajari di bangku pendidikan saja.  

Keempat : Selalu mengamalkan ilmu
Ketahuilah bahwa ilmu dalam Islam yaitu ilmu syar’i, bukan sebatas untuk diketahui tapi wajib untuk diamalkan.Itulah salah satu tanda ilmu yang bermanfaat.  Bukan sekedar penambah wawasan tapi haruslah tercermin dalam kehidupan sehari hari yaitu berupa kelurusan akidah, keistiqamahan dalam ibadah, kemuliaan akhlak dan kebaikan dalam bermuamalah. 

Sungguh  ilmu bisa menjadi bumerang  yang akan memberatkan seorang hamba di hari Kiamat jika tidak diamalkan. Rasulullah bersabda : “Tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba pada hari Kiamat hingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya, apa yang telah diamalkan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan ke mana ia habiskan dan tentang tubuhnya untuk apa ia gunakan”  (H.R  Imam at Tirmidzi).

Kelima : Selalu berusaha mendakwahkan ilmu.
Sungguh sangatlah banyak  perintah Allah dalam al Qur-an, kepada orang yang beriman untuk berdakwah dan Allah menyifatinya sebagai orang orang yang beruntung. 

Allah berfirman : Waltakun minkum ummatun yad’uuna ilal khairi wa ya’muruuna bil ma’ruufi wa yanhauna ‘anil munkar, wa ulaaika humul muflihuun” Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang orang yang beruntung. (Q.S Ali Imran 104)

Allah Ta’ala telah memuji  orang orang yang mendakwahkan ilmunya sehingga bermanfaat bagi dirinya dan bermanfaat pula bagi orang lain.

Allah berfirman : “Waman ahsanu qaulan mimman  da’aa ilallahi wa ‘amila shalihan wa qaala innanii minal muslimiin” Dan siapakah yang yang lebih baik perkataannya daripada orang orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan amal shalih dan berkata, sungguh aku termasuk orang orang muslim.  (Q.S Fussilat 33).

Itulah sebagian sifat sifat yang sangat baik untuk dipegang oleh para penuntut sehingga ilmunya berkah. Bermanfaat untuk menghilangkan kebodohan dirinya dan menghilangkan kebodohan orang lain. Wallahu A’lam. (1.108).

PALING TIDAK LIMA PERKARA DITARIK KETIKA SAKIT



PALING TIDAK LIMA  PERKARA DITARIK KETIKA SAKIT

Oleh : Azwir B. Chaniago

Didatangi penyakit adalah salah satu cobaan atau ujian yang pada waktunya pasti akan menimpa setiap hamba kapan saja Allah berkehendak. 

Orang yang beriman tidak akan pernah merasa  ragu sedikitpun bahwa sakit yang menimpanya adalah ketentuan yang telah Allah tetapkan baginya. Allah berfirman : “Maa ashaaba min mushibatin illa bi-idznillah” Tidak ada . sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. (Q.S at Taghabun 11). 

Berkenaan dengan ayat diatas, Alqamah berkata : Ayat ini tentang musibah yang menimpa seseorang kemudian dia menyadari bahwa  itu semua dari Allah, maka dia ridha dan menerimanya (Lihat Tafsir Ibnu Katsir).

Ketahuilah bahwa seorang hamba yang didatangi sakit lalu dia menerima dengan sabar. Dia paham betul bahwa apa yang menimpanya adalah dari Allah datangnya sehingga dia ridha dan ingat akan firman  Allah  : “Qul lan yushiibanaa illa maa kataballahu lana, huwa maulaanaa wa ‘alallahi falyatawakkalil mu’minuun”. Katakanlah, Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami dan hanya kepada Allah bertawakkal orang orang yang beriman. (Q.S at Taubah 51)

Orang beriman wajib meyakini bahwa sakit yang menimpanya pasti memiliki hikmah dan pelajaran yang baik baginya. Oleh karenanya seorang hamba akan selalu berusaha  untuk memelihara sikap sabar dan ridha didalam dirinya ketika menghadapi ujian berupa sakit dan yang lainnya.

Paling tidak ada lima perkara  yang  ditarik Allah ketika seorang diuji dengan sakit. (1) Selera makan berkurang bahkan hilang. (2) Keceriaan dan kegembiraan hilang. (3) Semangat dan tenaga secara fisik juga hilang. (4) Kemampuan beraktivitas sehari hari juga hilang. (5) DOSA DOSA JUGA HILANG. 

Selanjutnya, ketika Allah menyembuhkannya maka Allah mengembalikan apa yang telah Dia tarik dari diri seseorang ketika dia  sakit.  Selera makan dikembalikan.  Kegembiraan dan keceriaan dikembalikan.  Semangat dan tenaga secara fisik juga dikembalikan. Kemampuan untuk beraktivitas sehari hari juga dikembalikan lagi. TAPI DOSA TAK DIKEMBALIKAN.

JADI, DIANTARA LIMA PERKARA YANG TIDAK DIKEMBALIKAN KEPADA SESEORANG YANG TELAH SEMBUH DARI PENYAKITNYA ADALAH  DOSANYA. Ketahuilah bahwa cobaan berupa sakit yang diterima dengan sabar dan ridha akan menjadi penghapus dosanya. 

Sungguh inilah salah satu berita gembira bagi yang sakit yaitu sebagaimana Rasulullah bersabda  : “Maa yushibul muslima min nashabin walaa washabin walaa hammin walaa huznin walaa adzan walaa ghammin hattasy syaukati yusyakuha illa kaffarallahu bihaa ‘anhu min khathaayaah.” Tidaklah menimpa seorang muslim berupa kelelahan, sakit, gelisah, kesedihan, gangguan dan kesusahan, sampai sampai duri  yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapus kesalahannya (dosa-dosanya). H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Rasulullah bersabda : “Maa min muslimin yusyaaku syaukatan famaa fauqaha illaa kutibat lahu bihaa darajatun wa muhiiyat ‘anhu bihaa khatii-atun” Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau sesuatu yang lebih dari itu, melainkan hal itu akan dicatat sebagai satu derajat (kebaikan) bagi dirinya, dan akan dihapuskan kesalahan dari dirinya. (H.R Imam Muslim).  

Oleh karena itu mari kita terima dengan sabar dan ridha cobaan yang diberikan Allah Ta’ala kepada kita termasuk cobaan berupa sakit dan yang lainnya. Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (1.107).

Senin, 28 Agustus 2017

SHALAT 'ID DILAPANGAN ATAU DIMASJID ?



SHALAT ‘ID DI LAPANGAN ATAU DI MASJID ?

Oleh : Azwir B. Chaniago

Islam  memiliki dua hari yang disyariatkan yaitu hari Raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adh-ha. Sungguh pensyariatan dua hari raya ini adalah rahmat Allah Ta’ala bagi kaum muslimin karena banyak keutamaan dan kebaikan di dalamnya.

Dalam sebuah hadits Anas bin Malik, dia berkata : (Ketika) Rasulullah datang dan penduduk Madinah kala itu memiliki dua hari (raya) yang mereka gunakan untuk bermain main di masa jahiliyah. Lalu beliau bersabda : “Aku telah mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk bermain main dimasa jahiliyah. Sungguh Allah Ta’ala telah mengganti untuk kalian dua hari yang lebih baik dari itu, yakni hari Nahr (‘Idul Adh-ha) dan hari Fithr (‘Idul Fithri). H.R Imam Ahmad, Abu Dawud dan an Nasa’i.

Diantara ibadah yang harus diperhatikan oleh orang beriman pada kedua hari ‘Id ini adalah shalat ‘Idul Adh-ha dan shalat ‘Idul Fitri. Keduanya termasuk syi’ar atau simbol keagungan dan kemuliaaan   yang melambangkan ketinggian agama Islam.

Lalu datang pertanyaan : Dimana yang lebih utama melaksanakan shalat ‘Id, di tanah lapang atau di masjid. Ketahuilah bahwa Rasulullah senantiasa shalat ‘Id di tanah lapang dan tidak shalat ‘Id di masjid Nabawi.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat idul Fitri atau Idul Adha keluar (menuju ke lapangan), lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan shalat ‘Id sebanyak dua rakaat, dan beliau  tidak melakukan shalat lain sebelum dan setelahnya. (H.R Imam Muslim no. 884)

Dari Abu Sa’id al Khudri, beliau berkata bahwa Rasulullah Salallahu ‘alaihi Wasallam dahulu berangkat  pada hari ‘Idul Fithri dan Adh-ha ke mushallla  (tanah lapang tempat shalat). Beliau memulai dengan shalat kemudian selesai (shalat) lalu beliau bangun  menghadap para sahabat yang masih dalam keadaan duduk di shaf shaf mereka. Lalu beliau memberikan nasehat, wasiat dan perintah perintah. (Mutafaq ‘alaihi).

Tentang hadits ini dijelaskan oleh Imam an Nawawi. Beliau berkata : Ini adalah dalil bagi Ulama yang berpendapat bahwa ke luar ke mushalla (tempat shalat) untuk menunaikan shalat ‘Id itu disunnahkan dan itu lebih utama daripada melaksanakannya di masjid. Inilah amal orang orang di mayoritas negeri. Adapun penduduk Makkah tidak melaksanakan (shalat ‘Id) kecuali di masjid sejak zaman dahulu. (Lihat Fathul Baari).

Imam asy Syafi’i berkata : Telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah Salallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa Keluar menuju tanah lapang di Madinah untuk melaksanakan shalat ‘Id. Demikian pula para sahabat setelah beliau. Dan (inilah yang diamalkan) oleh mayoritas kaum muslimin di (hampir) semua kota, kecuali penduduk Makkah. (Kitab al Umm). 

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan bahwa : Apabila tanah basah terkena hujan maka shalatlah di masjid. Adapun Makkah maka shalat ‘Id di masjid secara mutlak. Dan barangsiapa yang menunaikan shalat di masjid maka ia harus menunaikan shalat tahyatul masjid. (Muntaqal Akbar).

Sedangkan menurut kami (Ibnu Qudamah), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar shalat ‘Id menuju lapangan dan beliau meninggalkan masjid beliau. Begitu pula yang dilakukan oleh khulafaur rasyidin setelah beliau. 

Tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan tempat yang lebih afdhal padahal masjid Nabawi sangat dekat dengan kediaman beliau, begitu pula beliau capek-capek mencari tempat shalat jauh dari rumahnya, lalu beliau memerintahkan untuk meninggalkan suatu yang lebih utama, itu berarti kita diperintahkan untuk meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Tidak mungkin yang beliau perintah malah memiliki sisi kekurangan, lalu yang beliau larang malah lebih sempurna. Dan tidak pernah dinukil pula dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melaksanakan shalat ‘Id di masjid beliau kecuali jika ada uzur. Demikian yang disepakati oleh para ulama.

Kaum muslimin dari masa ke masa, juga di setiap negeri selalu keluar menuju lapangan. Mereka melakukan shalat ‘Id di tempat tersebut padahal masjid ada yang luas dan ada yang sempit. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tetap melaksanakan shalat ‘Id di lapangan padahal masjid Nabawi memiliki keutamaan (dibanding masjid lainnya). Sebagaimana shalat sunnah di rumah tentu lebih utama dari shalat sunnah di masjid walau masjid tersebut punya keutamaan yang lebih.”  (Kitab al Mughni).

Keluar menuju tanah lapang  untuk melaksanakan shalat ‘Id lebih utama. Namun demikian jika dilakukan di masjid tidaklah mengapa apalagi jika di suatu tempat yang tidak tersedia lapangan yang memadai. Wallahu A’lam. (1.106)

Minggu, 27 Agustus 2017

MENGENAKAN SUTRA DAN EMAS HARAM BAGI LAKI LAKI



MENGENAKAN SUTERA DAN EMAS HARAM BAGI LAKI LAKI

Oleh : Azwir B. Chaniago

Pakaian adalah kebutuhan pokok manusia dari zaman ke zaman. Paling tidak ada empat kebutuhan terhadap pakaian, (1) Sebagai tanda manusia yang telah berpradaban. (2) Melindungi dari cuaca baik dingin ataupun panas. (3) Sebagai perhiasan. (4) Dan yang paling utama sekali adalah sebagai penutup aurat yang memang disyariatkan untuk ditutup. 

Sungguh Allah Ta’ala telah menurunkan berbagai bahan kepada manusia manusia yang bisa dijadikan pakaian dan juga manusia diberi akal serta kemampuan sehingga bisa mengolah bahan bahan itu menjadi  beraneka ragam jenis pakaian.

Allah berfirman : “Yaa banii aadama qad anzalnaa ‘alaikum libaasan yuwaariisauaatikum wa riiyaan, wa libaasut taqwaa dzlalika khairun, dzaalika min aayaatillahi la’allahum yadzdzakkaruun”. Wahai anak cucu Adam !. Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutup auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda tanda kekuasaan Allah, mudah mudahan mereka ingat.  (Q.S al A’raf 26).

Namun demikian Allah melalui Rasul-Nya telah menetapkan adanya  pakaian dan perhiasan yang diharamkan untuk dipakai oleh kaum lelaki yaitu pakaian sutera dan perhiasan emas. Dan keduanya dihalalkan bagi wanita. 

Imam adz Dzahabi menyebutkan bahwa mengenakan sutera dan emas bagi laki laki adalah termasuk dosa besar. (Lihat Kitab al Kaba-ir).

Sungguh dalilnya sangatlah jelas dan tegas, diantaranya   adalah :

Pertama : Rasulullah bersabda : “Hurrima labbaudz dzahabi wal hariiri ‘ala dzukuuri ummatiii wa uhilla li-inaatsihim”. Diharamkan memakai emas dan sutra bagi kaum laki laki dari umatku dan dihalalkan bagi kaum wanitanya. (H.R at Tirmidzi).  

Kedua : Rasulullah bersabda : “Innama yalbasul harira fii (dun-ya) man laa khalafa lahu fiil akhirah”. Sesungguhnya orang yang memakai kain sutra di dunia maka dia tidak akan memakainya di akhirat. (Mutafaq ‘alaihi)

Ketiga : Dari Umar bin Khaththab, Rasulullah bersabda : “Janganlah kalian memakai kain sutera karena sesungguhnya siapa saja yang memakainya di dunia maka dia tidak akan memakainya di akhirat. Beliau (juga) bersabda : “Sesungguhnya orang yang memakai kain sutera adalah orang yang tidak mempunyai bagian (keberuntungan)”. H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Keempat : Dalam sunan an Nasa’i dari Abu Sa’id al Khudri disebutkan bahwa ada seorang laki laki datang dari Najran menemui Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan lelaki itu memakai sebuah cincin emas pada tangannya. Maka Rasulullah berpaling darinya dan bersabda : “Innaka ji’tanii wa fii yadika jamratun min naari”.  Sesungguhnya engkau telah datang menemuiku sedangkan di tanganmu ada bara api dari neraka. 

Dalam perkara ini, Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin memberi nasehat : Takutlah (bertakwalah) kepada Allah wahai orang  yang beriman !. Jauhilah apa yang diharamkan oleh Allah untukmu bertaubatlah engkau kepada Rabb-mu sebelum kematian datang menjemputmu.

Maka sedekahkanlah emas yang engkau pakai kepada keluargamu atau kerabatmu dan orang di luar kerabatmu agar benda itu jauh darimu agar jiwamu tidak menggodamu di kemudian hari untuk memakainya kembali karena engkau melihat bahwa perhiasan tersebut ada pada diri mereka. 

Sungguh Allah Ta’ala  berfirman : “Dan tidaklah pantas bagi laki laki yang beriman dan perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia tersesat, dengan kesesatan yang nyata”. (Q.S al Ahzaab  36) 
  
Oleh karena itu seorang laki laki muslim hendaklah tidak mengenakan sutera dan emas yang diharamkan baginya.  Ingatlah bahwa ketika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan  sesuatu maka tidak ada kebaikan bagi seorang yang beriman kecuali  mengambil posisi sami’na wa atha’naa. Kami dengar dan kami taat. Inilah posisi yang paling selamat, tidak ada yang lain. 
   
Insya Allah ada manfaatnya untuk kita semua. Wallahu A’lam. (1.105)