Sabtu, 30 September 2017

RIDHA ALLAH DAN RIDHA ORANG TUA



RIDHA ALLAH DAN RIDHA ORANG TUA

Oleh : Azwir B. Chaniago

Salah satu upaya yang harus dilakukan oleh seorang anak kepada kedua orang tuanya adalah meminta dan mendapatkan ridhanya yaitu pada saat orang tua masih hidup. 

Sungguh Rasulullah telah mengingatkan kita dalam sabdanya bahwa ridha orang tua diperlukan untuk mendapatkan ridha Allah. “Ridha rabbi fii ridhal waalidi wa sakhathur rabbi fii sakhatil waalidi”. Ridha Allah tergantung pada keridhaan orang tua dan murka Allah tergantung kemurkaan orang tua. (H.R Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad, at Tirmidzi dan juga ahli hadits selainnya, dihasankan oleh Syaikh al Albani dalam ash Shahihah).

Ketahuilah bahwa ada banyak cara yang bisa dilakukan agar seorang anak bisa memperoleh ridha orang tuanya yaitu terutama sekali adalah dengan berbuat baik kepadanya, diantaranya adalah : 

Pertama : Rendah hati terhadap orang tua dan mendoakannya.
Sungguh kedua orang tua telah mengemban beban berat dalam memelihara anak anaknya. Terutama sekali ibu yang telah mengandung, melahirkan dan merawatnya dengan susah payah. Oleh karena itu bagaimanapun tingginya kedudukan dan status sosial atau kekayaan seorang anak maka tetaplah wajib baginya untuk merendahkan diri kepada kedua orang tuanya. 

Selain itu termasuk juga dalam berbuat baik yang diutamakan adalah senantiasa mendoakan kedua orang tua.

Allah berfirman : “Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah : Wahai Rabb ku !. Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu aku kecil”.  (Q.S al Isra’ 24) 

Kedua : Santun dalam berbicara dengan orang tua
Ini adalah salah satu adab yang harus dilakukan oleh setiap anak kepada kedua orang tuanya agar mendapat ridhanya. Berbicaralah kepada kedua orang tua dengan santun, lemah lembut, kalimat yang baik. Terlebih lagi pada saat orang tua telah berusia lanjut maka hendaklah bersabar mendengar perkataannya dan membalasnya ucapannya dengan perkataan yang dan mulia.

Allah berfirman : “Dan Rabb mu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang dari keduanya atau kedua duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu maka janganlah sekali kali engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”. Dan janganlah engkau membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.”  (Q.S al Isra’ 23). 

Pada catatan kaki terjemahan  al Qur an oleh Departemen Agama kita mendapati kalimat : Mengucapkan kata ah kepada orang tua tidak dibolehkan dalam agama Islam apalagi mengucapkan kata kata atau perbuatan yang lebih kasar dari itu.  

Kalau kita perhatikan  manusia di zaman ini sangatlah santun dan hormat kalau berbicara dengan atasannya, rekan rekan bisnis atau pun pelanggannya. Ini tentu baik. 

Tetapi kalau berbicara dengan orang tuanya sebagian mereka sulit mencari dan menggunakan kalimat yang santun. Cobalah renungkan apakah besarnya pengorbanan atau kebaikan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya bisa dibandingkan dengan kebaikan yang diberikan atasan atau rekan rekan bisnis itu. Jawabannya adalah : TIDAK. Tidak mungkin. 

Ketiga : Memberi nafkah dan merawatnya dengan sabar.
Adalah kewajiban anak untuk memberi nafkah semampunya kepada kedua orang tuanya. Tidak pantas bagi seorang anak untuk pelit kepada orang tuanya apalagi ketika orang tua sudah berumur lanjut dan tak memiliki penghasilan.

Ketahuilah hakikatnya harta anak adalah milik orang tua. Ini sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabda beliau. Ada seseorang yang datang kepada Rasulullah seraya berkata : Sesungguhnya saya memiliki harta dan anak dan bapak saya membutuhkan harta saya. Maka Rasulullah bersabda : “Anta wa maaluka li waalidika” . Kamu dan hartamu adalah milik orang tuamu. (H.R Imam Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah, lihat Shahih al Jami’). 
  
Keempat : Taat kepadanya selama tidak dalam hal maksiat.
Hakikatnya seorang anak hendaklah mendahulukan ketaatan kepada orang tuanya daripada orang lain selama ketaatan itu bukan dalam hal perkara yang dilarang. 

Allah berfirman : Dan kami perintahkan kepada manusia  (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah tambah (lemahnya) dan menyapihnya selama dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu. Hanya kepada Aku kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu maka janganlah engkau mentaati keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu maka aku akan beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S Lukman 14-15)

Adapun pengecualian bagi wanita yang sudah bersuami maka hendaklah ia mendahulukan taat kepada suaminya dari pada kepada kedua orang tuanya. Imam Ahmad berkata tentang seorang wanita yang memiliki suami dan seorang ibu yang sedang sakit : Ketaatan kepada suaminya lebih wajib atas dirinya daripada ibunya, kecuali suaminya mengizinkan. Syarah Muntahaa al Iraadaat)

Dalam keadaan yang demikian tentu insya Allah suaminya akan mengizinkan istrinya untuk merawat ibunya yang sedang sakit bahkan sangat besar kemungkinan suaminya itu juga ikut merawat.

Demikianlah empat perkara  diantara inti pokok dalam berbuat baik kepada orang tua sehingga mendatangkan ridhanya dan ridha Allah Ta’ala.

Sungguh, demikian pentingnya kewajiban berbuat baik kepada orang tua maka dalam banyak ayat Allah Ta’ala telah menggandengkan hak-Nya dengan kewajiban anak untuk berbuat baik kepada orang tuanya. Allah berfirman : “Wa’budullaha wa laa tusyrikuu bihii syai-an wa bil walidaini ihsaana”. Dan sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan apa pun dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua. (Q.S an Nisa’ 36).

Dalam menjelaskan ayat ini, Syaikh Sulaiman ibn ‘Abdillah berkata : Yaitu Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berbakti kepada kedua orang tua sebagaimana Allah mewajibkan kalian untuk beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya.
Disandingkannya hak kedua orang tua dengan hak Allah adalah dalil yang sangat tegas dan sangat kuat akan pentingnya hak orang tua. Bahkan hal itu merupakan hak yang paling wajib ditunaikan setelah hak Allah. (Tafsir al ‘Aziz al Hamid).

Ketahuilah bahwa hakikatnya anak tak mampu untuk membalas kebaikan orang tuanya. Rasulullah bersabda : Namun demikian, Rasulullah menjelaskan bahwa ada satu cara yang bisa dilakukan seorang anak untuk dapat membalas kebaikan orang tuanya. Rasulullah bersabda : “Laa yajzii waladun waalidan illa an yajidahu mamlukan fa yasytarijahu fa yu’tiiqah”. Seorang belum dianggap membalas kebaikan orang tuanya, kecuali jika dia mendapatkan orang tuanya sebagai budak lalu dia membelinya dan memerdekakannya. (H.R Imam Muslim).

Lalu mungkinkah ini bisa terjadi di zaman sekarang dimana seorang anak bisa membeli dan memerdekakan orang tuanya yang didapatinya sebagai budak ?. Wallahu A’lam.  Bagaimanapun secara zhahir ini sangat kecil kemungkinan bisa terjadi, kecuali kalau Allah Ta’ala berkehendak. 

Namun demikian kewajiban seorang anak adalah terus berusaha berbuat  kebaikan yang paling baik kepada orang tuanya sehingga mendapat ridhanya dan berikutnya akan mendapat ridha Allah Ta’ala.
Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (1.131)


TAK ADA KEBAIKAN MENCERITAKAN DOSA MASA LALU



TAK ADA KEBAIKAN MENCERITAKAN DOSA MASA LALU

Oleh : Azwir B. Chaniago

Hakikatnya semua manusia pernah berbuat dosa. Ada yang banyak melakukan dosa ada pula yang sedikit. Baik itu dosa besar maupun dosa kecil. Rasulullah bersabda : “Kullubni aadam khaththaun, wa khairul khatthainat tawwabun” Setiap anak Adam banyak berbuat salah dan sebaik baik orang yang berbuat salah adalah yang bertaubat. (H.R Imam at Tirmidzi, Ibnu Majah, ad Darimi, dihasankan oleh Syaikh al Albani).

Dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa manusia berbuat dosa siang dan malam artinya terus atau sering berbuat dosa. Allah berfirman : “Ya ‘ibaadi, innakum tukhti-una bil laili wan nahar” Wa ana aghfiru dzunuba jamii’a. Fastaghfiruni, aghfirlakum”. Wahai hamba hambaku, sesungguhnya kalian berbuat dosa (kesalahan) siang dan malam. Dan Aku Maha Pengampun, semua dosa. Minta ampunlah kepada-Ku, Aku akan ampuni kalian.

Selanjutnya biarlah kita  dan Allah saja  mengetahui tentang keburukan dan dosa dosa apa yang telah lakukan. Oleh karena itu maka setiap saat kita berdoa dan memohon kepada Allah Ta’ala agar dosa dosa kita diampuni. Bahkan kita berusaha melakukan amal shalih yang akan menutup dosa dosa kita dimasa lalu. 

Kalau kita perhatikan di zaman ini ada sebagian manusia yang secara zhahir terlihat telah bertaubat dari dosa dosanya di masa lalu. Cuma pada beberapa kesempatan diceritakan kepada orang lain. Terkadang diceritakan di hadapan orang ramai yang sebenarnya ada yang tidak atau belum tahu. Terkadang seolah olah ada rasa bangga bahwa dia telah pernah melakukan berbagai kemaksiatan dan dosa di masa lalu. 

Sungguh ini adalah perbuatan tercela. Allah Ta’ala telah menutup aibnya lalu dia sendiri yang membuka dihadapan orang banyak. 

Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin pernah ditanya : Apakah dibolehkan seseorang memberitahukan atau menceritakan dosanya dimasa lalu padahal Allah telah menutupnya ?.

Syaikh menjawab : Tidak boleh. Orang yang berbuat dosa dan telah bertaubat tidak boleh memberitahukannya kepada orang lain. Ini termasuk perbuatan menyingkap aib yang telah Allah Ta’ala tutupi. Dan ini bertentangan al aafiyah yaitu diharapkan baginya ampunan dan keselamatan dari neraka. 

Sebagaimana yang Rasulullah sabdakan :  Semua umatku (diharapkan) akan mendapatkan keselamatan (ampunan) kecuali orang yang terang terangan melakukan kejahatan. Dan termasuk bentuk  yang terang terangan ketika seseorang melakukan sesuatu (dosa) pada malam hari,  lalu masuk waktu pagi, pada hal Allah telah menutupi aib dosanya, namun dia justru mengatakan, Wahai Fulan, semalam aku melakukan(dosa)  ini dan itu. Sungguh ia telah melalui malamnya dalam keadaan Allah menutupi aibnya, namun ia masuk waktu pagi dengan menyingkap apa yang Allah telah tutupi. (H.R Imam Bukhari  dan Imam Muslim).

Syaikh menambahkan : Namun bila dosa tersebut adalah dosa yang ada hukum had dan siksanya dan ia pun ingin memberitahukan kepada pihak waliyul amr (penguasa) agar Allah membersihkan dosa dan siksa tersebut maka ini  tidak apa apa. Meskipun demikian, yang lebih utama baginya adalah ia menutupi hal tersebut karena Allah Ta’ala telah menutupinya.

Adapun kalau dosa itu bukan jenis dosa yang ada hukum had maka tidak boleh bagi seseorang untuk menceritakannya kepada orang orang. (Fatawa Nuur alaa ad Darb).
Oleh karena itu jika seorang hamba pernah melakukan dosa dimasa lalu maka yang paling selamat adalah tidak menceritakan kepada siapapun dan sementara itu dia memohon ampu dan bertaubat kepada Allah Ta’ala dengan taubat yang sebenar benarnya.

Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (1.130). 
   
 
  

Kamis, 28 September 2017

PERKARA YANG WAJIB DIJAUHI PARA PENUNTUT ILMU



PERKARA YANG WAJIB DIJAUHI PARA PENUNTUT ILMU

Oleh : Azwir B. Chaniago

Dalam syariat Islam belajar ilmu dihukumi sebagai wajib. Oleh karena itu tidaklah pantas jika seorang hamba melalaikannya. Rasulullah bersabda  :  Thalibul ilmi faridhatun ‘ala kulli muslim” Belajar ilmu adalah wajib bagi setiap Muslim. (H.R Imam Ahmad dan Imam Ibnu Majah). 
  
Adapun ilmu yang paling utama dan wajib  dipelajari adalah ilmu syar’i. Apa yang dimaksud dengan ilmu syar’i diantaranya telah dijelaskan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, dalam kitab beliau, al ‘Ilm wa Akhlaqu Ahliha, menjelaskan bahwa : Ilmu syar’i adalah ilmu yang terkandung dalam al Qur an dan as Sunnah, yakni : (1) Ilmu tentang Allah dan Sifat-sifat-Nya. (2) Ilmu tentang hak Allah terhadap hamba-Nya. (3) Ilmu  tentang segala hal yang disyari’atkan Allah kepada hamba-hamba-Nya. (4) Termasuk juga ilmu tentang jalan yang akan mengantarkan hamba kepada ilmu itu beserta segala rinciannya.

Ketahuilah bahwa diantara bentuk keutamaan ilmu dan agungnya ilmu adalah bahwa menuntut ilmu lebih baik dari pada ibadah-ibadah sunnah. Ibnu Nuaim dan Ulama ulama yang lainnya menyebutkan dari beberapa sahabat Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda : “Keutamaan ilmu itu jauh lebih baik dibandingkan dengan amal amalan yang hukumnya sunnah, dan agama kalian yang paling baik adalah al wara’ (menjauhi syubhat dan maksiat). (HR. Abu Nuaim, kitabnya Hilyatul Aulia)

Dan juga banyak sekali perkataan ulama salaf tentang perkara ini. Di antaranya adalah perkataan Imam asy Syafii.  Ar Rabi’ berkata, aku mendengar Imam asy Syafii berkata : Menuntut ilmu lebih afdhal (lebih utama) dari shalat sunnah.

Oleh karena sangatlah berbahagia dan beruntung hamba hamba Allah yang menggunakan sebagian besar waktunya untuk belajar ilmu sehingga bisa menghilangkan kebodohan pada dirinya bahkan juga pada diri orang lain melalui dakwahnya.

Namun demikian ketahuilah saudaraku, bahwa ada beberapa perkara yang sifatnya tercela dan harus dijauhi para penuntut ilmu, diantaranya :

Pertama : Menyuruh orang lain melakukan kebaikan tapi melupakan dirinya.

Seorang penuntut ilmu hendaklah terlebih dahulu memperhatikan dirinya dalam pengamalan ilmunya sebelum mendakwahkannya. Tidaklah pantas, ketika dia mampu mengamalkan ilmunya lalu tidak mengamalkannya sementara itu dia menyuruh orang lain untuk mengamalkan.

Allah Ta’ala mencela orang orang Yahudi yang berbuat demikian sebagaimana firman Allah : “Ata’muruunannaasa bil birr wa tansauna anfusakum wa antum tatluunal kitaaba, afalaa ta’qiluun”. Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat). Tidakkah kamu mengerti ?. (Q.S al Baqarah 44).

Adh Dhahak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah didatangi oleh seseorang seraya berkata : Wahai Ibnu Abbas : Sungguh aku ingin menyuruh berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Ibnu Abbas bertanya : Apakah engkau telah menyampaikannya ?. Ia menjawab : (Belum), Aku baru ingin melakukannya. Kemudian Ibnu Abbas mengatakan : Jika engkau tidak khawatir akan terbongkar aib dirimu dengan tiga ayat dalam al Qur an maka kerjakanlah. Ia pun bertanya : Apa saja ketiga ayat tersebut ?.

Ibnu Abbas menjawab : 

(1) Firman Allah : “Mengapa kamu menyuruh orang lain mengerjakan kebaikan sedang kamu melupakan diri (kewajiban) kalian sendiri”. Apakah engkau telah mengerjakan hal itu dengan sempurna ?. Orang itu menjawab : Belum. 

(2) Kata Ibnu Abbas : Lalu ayat yang kedua : Wahai orang orang yang beriman !.  Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian disisi  Allah, bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” (Q.S ash Shaaf 2-3).

Tanya Ibnu Abbas : Apakah engkau telah mengerjakan hal itu dengan sempurna ?. Orang itu menjawab : Belum. 

(3) Kata Ibnu Abbas : Lalu ayat yang ketiga, ucapan Syu’aib seorang hamba yang shalih, yang disebutkan dalam al Qur an : “Aku tidak bermaksud menyalahi kamu terhadap apa yang aku larang darinya. Aku hanya bermaksud (mendatangkan) perbaikan selama aku masih sanggup”. (Q.S Huud 88). 

Tanya Ibnu Abbas lagi : Dan apakah engkau telah mengerjakan hal itu dengan sempurna ?. Ia pun menjawab : Belum. Maka Ibnu Abbas berkata : Mulailah dari dirimu sendiri. (Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawih, Lihat Tafsir Ibnu Katsir). 

Syaikh as  Sa’di antara lain menjelaskan : Ayat dalam surat al Baqarah 44 ini turun, walaupun kepada bani Israil, namun bersifat umum kepada setiap orang, karena ini adalah firman Allah. Selanjutnya Syaikh berkata : Barangsiapa yang menyuruh orang lain kepada kebaikan lalu dia tidak melakukannya atau melarang  dari kemungkaran namun dia tidak meninggalkannya maka hal itu menunjukkan tidak ada akal padanya. Dan ini suatu kebodohan. Khususnya bila dia telah mengetahui hal itu dan hujjah benar-benar  telah ditegakkan atasnya. (Tafsir Taisir Karimir Rahman).

Rasulullah Salallahu ‘alaihi Wasallam bersabda : Perumpamaan orang berilmu yang mengajarkan kepbaikan kepada manusia namun ia melupakan dirinya sendiri, laksana sebuah lilin yang menerangi orang sambil membakar dirinya”. (H.R ath Thabrani dalam al Muj'am al Kabir).

Rasulullah bersabda : “Pada malam di isra’kan oleh Allah aku melihat orang orang yang mulutnya digunting dengan gunting gunting dari neraka, maka aku berkata : Siapa mereka wahai Jibril ?. Maka ia menjawab : Mereka adalah para penceramah dari ummatmu yang menyuruh orang melakukan kebaikan namun mereka melupakan dirinya sendiri, sedangkan mereka membaca al Kitab, tidakkah mereka berakal ?.  (H.R Imam Ahmad, Ibnu Hibban dan yang selainnya, dishahihkan oleh Syaikh al Albani).

Kedua : Perkataan yang  menyelisihi perbuatan
Diantara perkara yang wajib dijauhi oleh seorang penuntut ilmu adalah perkataan yang menyelisihi perbuatannya. Lain yang dikatakan lain pula yang dikerjakan. Sungguh Allah Ta’ala telah mengingat  perbuatan. Wahai orang orang yang beriman !.  Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian disisi  Allah, bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” (Q.S ash Shaaf 2-3).

Syaikh as Sa’di berkata : Apakah kondisi tercela seperti ini pantas bagi orang-orang yang beriman ?. Bukankah amat besar murka Allah pada orang yang mengatakan sesuatu namun tidak dikerjakannya.

Oleh karena itu orang yang menyuruh berbuat baik seharusnya menjadi orang yang pertama mengamalkannya. Dan orang yang melarang kemungkaran seharusnya menjadi orang yang paling jauh dari kemungkaran itu. (Tafsir Taisir Karimir Rahman).

Rasulullah Salallahu ‘alaihi Wasallam telah mengingatkan kita tentang perkara ini dalam sabda beliau : “Seorang laki laki didatangkan pada hari Kiamat lalu dilemparkan … (H.R Imam Bukhari dan Muslim).

Imam Ibnul Qayyim berkata : Orang  orang berilmu namun buruk (tercela) itu (seolah olah) duduk di pintu surga, dengan ucapan ucapan, mereka mengajak manusia untuk masuk ke dalam surga dengan ucapan ucapannya namun mengajak  mereka mengajak manusia masuk ke neraka dengan perbuatannya.
Saat lisan mereka berkata : Ayolah kemari !. Tapi perbuatan perbuatan mereka berkata : Janganlah kalian dengar ajakan itu. !. 

Andai kata apa yang mereka serukan itu benar tentu merekalah yang pertama kali memenuhi seruan itu. Mereka terlihat bagaikan penunjuk jalan namun sejatinya mereka adalah perampok. (Fawa’idul Fawaid).

Orang seperti ini jelas ilmunya tak bermanfaat dan tidak pula mendatangkan kebaikan bagi dirinya. Oleh karena itu Rasulullah mengajarkan kita doa agar dijauhkan dari ilmu yang tak bermanfaat. : “Allahhumma inni as-aluka ‘ilman nafi’an wa rizqan thaiyiban wa amalan mutaqabbalan”. Ya Allah, sesungguhnya aku bermohon (diberi) ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik dan amal yang diterima. (H.R Ibnu Majah, Imam Ahmad dan Ibnu Suni dari Ummu Salamah). 

Selain itu, Rasulullah mengajarkan pula  satu doa : “Allahhumma inni a’udzubika min ilmin la yanfa’. Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari ilmu yang tidak bermanfaat. (H.R at Tirmidzi dan Abu Dawud). 

Ketiga : Cenderung mencari kenikmatan dunia dan ridha manusia.
Memang ada diantara penuntut ilmu yang ingin mencari ridha manusia. Agar dikatakan seorang ‘alim, agar popular, dihargai dan dihormati ditengah masyarakatnya. Pada hal tujuan utama belajar ilmu adalah mencari ridha Allah Ta’ala. Bukan ridha manusia.

Jadi orang yang berakal sehat seharusnya sangat bersemangat untuk mencari ridha Allah dengan ilmunya  meskipun terkadang membuat manusia tidak ridha. Sebaliknya orang yang tercela dalam mencari ilmu berupaya  menggapai ridha manusia dengan meskipun mendatangkan murka Allah Ta’ala. 

Sungguh Allah Ta’ala telah mengingatkan dalam firman-Nya :  “Wa lau syi’naa larafa’naahuu akhlada ilal ardhi wattaba’a hawaahu”. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajatnya) dengan ayat ayat itu tetapi dia cederung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah. (Q.S al A’raf 176).
Allah Ta’ala berfirman : “Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya pasti Kami berikan (balasan)  atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka. Dan sia sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka  kerjakan”. (Q.S Huud 15-16).

Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan tentang kerugian besar bagi orang orang yang  melakukan perbuatan baik tetapi ditujukan untuk kesenangan dunia dan mencari perhiasan dunia.  Mereka akan menjadi orang  yang pertama kali akan diadili dan dilemparkan ke dalam neraka. Na’udzubillah min dzaalik. 

Rasulullah bersabda : Dari Abu Hurairah, dia berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya manusia pertama kali yang akan diputuskan (pengadilannya) pada hari Kiamat adalah seorang laki laki yang mati syahid. Dia didatangkan, Allah menyebutkan nikmat nikmat-Nya kepadanya dan dia mengakuinya.

Allah bertanya : Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat nikmat-Ku itu ?. Dia menjawab : Aku berperang untuk-Mu sehingga aku mati syahid. Allah berkata : Engkau dusta. Tetapi engkau berperang agar dikatakan seorang pemberani dan dahulu (di dunia) telah dikatakan. Lalu diperintahkan mengenai orang tersebut , kemudiaan dia diseret di atas wajahnya sehingga dilemparkan ke dalam neraka.
Dan seorang laki laki yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya. Dia membaca al Qur an. Dia didatangkan, Allah menyebutkan nikmat nikmat-Nya kepadanya dan dia mengakuinya. 

Allah bertanya : Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat nikmat-Ku itu ?. Dia menjawab : Aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya dan aku membaca al Qur an untuk-Mu. Allah berkata : Engkau dusta. Tetapi engkau mempelajari ilmu agar dikatakan seorang yang ‘alim, engkau membaca al Qur an agar dikatakan seorang qaari  dan dahulu (di dunia) telah dikatakan. Lalu diperintahkan mengenai orang tersebut kemudian dia diseret di atas wajahnya sehingga dilemparkan ke dalam neraka.

Dan seorang laki laki yang Allah luaskan rizkinya dan Allah juga memberikan berbagai macam harta benda. Dia didatangkan, Allah menyebutkan nikmat nikmat-Nya kepadanya dan dia mengakuinya.

Allah bertanya : Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat nikmat-Ku itu ?. Dia menjawab : Aku tidak meninggalkan satu jalanpun yang Engkau menyukai infaq padanya kecuali aku berinfaq padanya untuk-Mu. Allah berkata : Engkau dusta. Tetapi engkau melakukannya agar dikatakan dermawan dan dahulu (di dunia) telah dikatakan. Lalu diperintahkan mengenai orang tersebut kemudian dia diseret di atas wajahnya sehingga dilemparkan ke dalam neraka.  (H.R Imam Muslim).

Itulah diantara perkara yang wajib untuk dijauhi oleh para penuntut ilmu agar ilmunya betul betul berguna bagi dirinya dan bagi orang lain. Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (1.129)