Jumat, 30 Oktober 2015

ADAB IMAM MALIK TERHADAP HADITS NABI



ADAB IMAM MALIK TERHADAP HADITS NABI

Oleh : Azwir B. Chaniago

Imam Malik bin Anas, adalah salah seorang diantara Imam Mazhab yang empat. Beliau wafat di Madinah, tahun 179 H. Diantara Kitab yang beliau tulis dan sangat masyhur sampai saat ini adalah Kitab Hadits yaitu al Muwaththa’ yang terdiri dari 32 Kitab dengan jumlah hadits 1.594.

Beliau adalah salah seorang ulama yang sangat beradab terhadap as Sunnah atau hadits Nabi. Salah satu adab beliau adalah jika akan mengajarkan hadits kepada murid muridnya maka beliau mandi atau berwudhu’ terlebih dahulu. Kemudian memakai wangi wangian, duduk dengan tentang dan sopan, baru berbicara. Ini beliau lakukan dalam rangka menjaga adab terhadap hadits.  

Selain itu, jika ada seseorang dalam majlisnya yang mengeraskan suara ketika beliau membawakan hadits hadits Nabi, maka beliau menegurnya  dengan  mengatakan  : Sungguh Allah telah berfirman : “Yaa aiyuhal ladziina aamanuu laa tarfa’uu ashwaatakum fauqa shautin nabiyi”. Wahai orang orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi. (Q.S al Hujuraat 2).

Kemudian  beliau menjelaskan maksud ayat tersebut : Barang siapa meninggikan suara ketika hadits Nabi dibacakan, maka dia seperti meninggikan suaranya diatas suara Nabi ketika beliau masih hidup.

Oleh sebab itu mari kita jaga adab adab kita terhadap hadits hadits Nabi agar kita bisa mendapat manfaat yang banyak darinya. 

Wallahu A’lam (449)





AMPUNAN ALLAH SANGAT CEPAT DATANGNYA



AMPUNAN ALLAH SANGAT CEPAT DATANGNYA

Oleh : Azwir B. Chaniago

Tidak ada manusia yang tidak memiliki kesalahan  dan dosa. Rasulullah telah menjelaskan tentang hal ini dalam sabda beliau  : “Kullubni aadam  khaththa’un, wa khairul khaththainat tauwabun” Setiap Bani Adam banyak berbuat salah dan sebaik baik orang yang berbuat salah adalah yang bertaubat. (H.R at Tirmidzi). 

Selanjutnya dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa manusia berbuat dosa siang dan malam artinya terus dan sering berbuat dosa. Allah berfirman : “Ya ‘ibaadi, innakum tukhti-una bil laili wan nahar” Wa ana aghfiru dzunuba jamii’a. Fastaghfiruuni, aghfirlakum”. Wahai hamba hambaku, sesungguhnya kalian berbuat dosa (kesalahan) siang dan malam. Dan Aku Mahapengampun, semua dosa. Minta ampunlah kepadaKu, Aku akan ampuni kalian.     

Sungguh Allah Ta’ala mengingatkan bahwa Dia Maha Pengampun dan menyuruh hamba hamba-Nya untuk memohon ampun kepada-Nya dan Allah berjanji akan memberikan ampunan.

Selanjutnya Allah Ta’ala menjelaskan pula agar manusia  bertaubat  untuk menghapus dosanya  dan ini akan mengantarkannya  kepada keberuntungan di dunia dan di akhirat. Allah berfirman : “Wa tuubuu ilallahi jamiian aiyuhal mu’minuuna, la’allakum tuflihuun”. Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang orang yang beriman, agar kamu beruntung.  (Q.S an Nuur 31). 

Dan seseorang yang tidak tidak mau bertaubat dicap sebagai orang yang zhalim Allah berfirman : Waman lamyatub, faulaaika humuzh zhaalimuum”. Barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang orang yang zhalim  (Q.S al Hujurat 11)

Orang orang yang telah melampaui batas dan yang telah menzhalimi diri merekapun  tetap disuruh memohon ampun dan bertaubat. Tidak boleh berputus asa karena telah banyak berbuat dosa. Allah berfirman : “Qul yaa ‘ibaadiyal ladziina asrafuu ‘alaa anfusihim laa naqnathuu min rahmatillah, innallaha yaghfirudz dzunuuba jamii’aa, innahu huwal ghafuurur rahiim”. Katakanlah, wahai hamba hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri. Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.  (Q.S az Zumar 53).

Ayat al Qur an dan as Sunnah diatas semuanya adalah merupakan  bentuk kasih sayang Allah kepada hamba hamba-Nya meskipun mereka telah banyak berbuat dosa dan menzhalimi diri mereka. Allah berjanji akan mengampuni semua dosanya jika mereka bertaubat dengan sungguh sungguh.

Dalam Kitab Fii Bathnil Huut, Syaikh DR. Muhammad al ‘Ariifi menyebutkan sebuah kisah bagaimana cepatnya ampunan Allah itu datang kepada manusia meskipun sudah 40 tahun bermaksiat kepada-Nya.

Dikisahkan bahwa pada zaman Nabi Musa pernah terjadi kemarau  panjang yang menimpa kaumnya. Lalu mereka mendatangi Nabi Musa dan berkata : Wahai Nabi Allah, berdoalah engkau kepada Rabb-mu agar Dia menurunkan hujan kepada kami.
Maka berangkatlah Nabi Musa bersama kaumnya menuju padang yang luas. Waktu itu jumlah mereka lebih dari 70 ribu orang dan  mereka dalam keadaan lusuh, kumal penuh debu bahkan haus dan lapar. 

Lalu mulailah Nabi Musa berdoa : Rabb-ku. Turunkanlah hujan kepada kami. Tebarkanlah rahmatmu kepada kami. Kasihanilah kami dan anak anak kami yang masih menyusu, para orang tua yang ruku’ kepada-Mu dan hewan ternak yang merumput." Namun langit tetap saja terang  benderang bahkan matahari semakin bersinar.     

Kemudian Nabi Musa berdoa lagi. Lalu Allah Ta’ala berfirman : Wahai Musa, bagaimana Aku akan menurunkan hujan kepada kalian sedang diantara kalian ada seorang hamba yang sejak 40 tahun yang lalu bermaksiat kepada-Ku. Umumkanlah dihadapan manusia agar dia berdiri dihadapan kalian semua. Sebab dialah Aku tidak menurunkan hujan untuk kalian.

Maka Nabi Musa pun berteriak ditengah tengah kaumnya : Wahai hamba yang bermaksiat kepada Allah sejak 40 tahun. Keluarlah dihadapan kami karena sebab engkaulah hujan tak kunjung turun.

Seorang laki laki melirik kekanan dan kekiri tapi tidak berani keluar (dan mengaku) dihadapan manusia. Saat itu dia sadar kalau dirinyalah yang dimaksud. Lalu dia berkata dalam hati : Kalau aku keluar dihadapan manusia maka akan terbuka aibku. Tapi kalau aku tidak keluar maka hujan tentu tak akan turun.

Maka hatinya gundah, air matanya menetes menyesali perbuatan maksiatnya. Lalu berdoa dengan lirih : Ya Allah aku telah bermaksiat kepada-Mu selama 40 tahun. Selama itu pula Engkau menutup aibku. Sungguh aku sekarang bertaubat kepada-Mu, maka terimalah taubatku.

Tak lama setelah dia bertaubat, maka awan tebal pun muncul. Semakin lama semakin tebal dan menghitam. Akhirnya hujan turun dengan lebat. Nabi Musa pun keheranan dan berkata : Ya Allah, Engkau telah menurunkan hujan kepada kami pada hal tak seorangpun yang keluar dihadapan kami. 

Allah berfirman : Wahai Musa, dia sudah bertaubat dan Aku telah menerima taubatnya. Disebabkan dialah Aku menahan hujan bagi kalian dan karena dia (yang telah bertaubat) pulalah Aku menurunkan hujan. 

Nabi Musa berkata : Ya Allah, tolong tunjukkan padaku orang (yang telah bermaksiat)  itu. Tunjukkan aku orang itu. Lalu Allah berfirman : Wahai Musa Aku telah menutupi aibnya pada hal dia telah bermaksiat kepada-Ku (40 tahun). Apakah  Aku akan membuka aibnya sedangkan dia telah bertaubat dan kembali kepada-Ku. ?

Dari kisah ini sangatlah banyak pelajaran dan faedah yang bisa kita ambil. Pelajaran yang paling utama adalah bahwa sungguh ampunan dari Allah Ta’ala datang sangat cepat jika seorang hamba benar benar bertaubat, meskipun hamba itu telah bermaksiat selama 40 tahun ataupun lebih. Sungguh Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

Insya Allah bermanfaat. Wallahu A’lam.  (448)    
 
 


Kamis, 29 Oktober 2015

DIAM TIDAK SELALU EMAS



DIAM TIDAK SELALU EMAS

Oleh : Azwir B. Chaniago

Orang bijak mengatakan bahwa diam adalah emas. Sikapilah ungkapan ini dengan bijak karena  diucapkan oleh orang bijak. Ketahuilah saudaraku, diam tidak serta merta selalu emas atau sesuatu yang berharga. Pada satu keadaan diam tidaklah dikatakan emas tapi  diam bisa jadi besi bahkan yang  sudah karatan dan rusak  sehingga tidak bermanfaat. 

Diantara contohnya adalah bahwa jiika seseorang melihat dihadapannya ada suatu kemungkaran atau sesuatu yang  membahayakan lalu dia diam dan membiarkannya maka tentu ini tidak berarti emas atau sesuatu yang berharga. Mungkin berbicara lebih bermanfaat. Timbanglah baik baik. 

Sungguh Allah Ta’ala berfirman bahwa ciri ummat terbaik adalah menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. “Kuntum khaira ummatin ukhrijat linnaasi ta’muruuna bil ma;ruufi wa tanhauna ‘anil munkari wa tu’minuuna billah”. Kamu (ummat Islam) adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (karena kamu) menyuruh kepada yang baik dan mencegah dari yang mungkar dan (kamu) beriman kepada Allah. (Q.S Ali Imran 110)  

Bukankah Rasulullah bersabda : “Man ra-a minkum munkaran fal yughaiyirhu biyadihi faillam yastathi’ fabilisaaanihi, faillam yastathi’ fabiqalbihi, wa dzalika adh’aful iimaan.” Barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran maka hendaklah dia mencegah dengan tangannya. Jika dia tidak mampu maka dengan  lisannya dan jika dia tidak mampu maka dengan hatinya, (mengingkari dengan hati) itu adalah iman yang paling lemah. (H.R Imam Muslim)

Ketahuilah saudaraku, seseorang yang mampu untuk berkata yang baik maka itu lebih utama baginya daripada diam.

Rasulullah bersabda : "Man kaana yu'minu billahi wal yaumil aakhiri fal yaqul khairan au liyashmut". Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaklah dia berkata yang baik atau diam. (H.R. Bukhari dan Muslim). 

Pada redaksi hadits ini Rasulullah menyebutkan berkata yang baik lebih dahulu dari kata diam. Ini bermakna bahwa berbicara yang baik lebih utama daripada diam. Jika tidak ada keraguan untuk berbicara, maka bicaralah, jangan diam.

Sekiranya seseorang berbicara yang baik maka didapat  dua manfaat. 

Pertama : Bagi yang berbicara karena telah menyampaikan ucapan-ucapan yang baik.

Kedua : Bagi yang mendengar, dia telah menerima ucapan-ucapan yang baik dan bermanfaat baginya. Ini   bisa berupa nasehat, tambahan ilmu dan yang lainnya.

Sebaliknya,  kalau seseorang itu  diam, tidak mau berbicara maka  hanya akan ada satu manfaat  bagi yang tidak berbicara  tersebut yaitu lebih selamat.

Wallahu A’lam.  (447)

Rabu, 28 Oktober 2015

KEMULIAAN JIWA ADALAH PANGKAL KEBAIKAN



KEMULIAAN JIWA ADALAH PANGKAL KEBAIKAN

Oleh : Azwir B. Chaniago

Imam Ibnul Qayyim, dalam Kitab Fawaaidul Fawaaid, berkata : Pangkal segala kebaikan, dengan adanya taufik dan kehendak Allah, adalah kemuliaan dan kebesaran jiwa. Sebaliknya pangkal segala keburukan adalah kehinaan, kerendahan dan kekerdilan jiwa. 

Allah berfirman : “Qad aflaha man zakkaahaa. Wa qad khaaba man dassaaha. Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya. Dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.  (Q.S asy Syams 9-10)

Maksudnya adalah : (1) Beruntunglah orang yang membersihkan jiwanya, memperbanyak keberkahan dan membuat jiwa itu bertumbuh dengan ketaatan kepada Allah Ta’ala. (2) Disisi lain, merugilah orang yang mengecilkan dan menistakan  jiwanya dengan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala.

Ketahuilah bahwa jiwa yang mulia hanya rela menerima sesuatu yang paling tinggi, paling utama dan paling terpuji kesudahannya. Sedangkan jiwa yang rendah hanya akan mengurusi hal hal yang nista hingga akhirnya terjerumus kedalam kenistaan, sebagaimana lalat terperosok ke dalam sesuatu yang jorok.

Pangkal kerendahan jiwa  adalah sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Syaqiq al Balkhi  bahwa pintu taufik atau penjagaan Allah Ta’ala tertutup bagi manusia (sehingga jiwanya menjadi rendah dan kerdil)  karena enam perkara.

Pertama : Sibuk dengan (memanfaatkan)  nikmat dari pada mensyukurinya.

Kedua : Senang mencari ilmu tetapi tidak mengamalkannya.

Ketiga : Cepat melakukan dosa tapi lambat dalam bertaubat.

Keempat : Teperdaya yaitu bergaul dengan orang orang shalih namun tidak mau meniru perbuatan (amal) mereka.

Kelima : Terus mengejar dunia ketika sesuatu yang fana ini berlari membelakanginya.

Keenam : Berpaling dari akhirat justru pada saat sesuatu yang kekal (akhirat) ini mendatanginya. 

Imam Ibnul Qayyim menambahkan : Pangkal semua sifat (kerendahan jiwa) itu adalah tidak adanya perasaan harap dan cemas (terhadap Allah Ta’ala).  Penyebabnya adalah keyakinan yang lemah akibat lemahnya penglihatan hati. Lemahnya penglihatan (hati) itu tidak lain karena  kerendahan dan kekerdilan jiwa serta kebiasaan menukar sesuatu yang baik dengan yang buruk. Seandainya jiwa seseorang hamba benar benar mulia, niscaya ia tidak akan rela terhadap segala sesuatu yang bernilai rendah.  

Wallahu A’lam. (446)