Minggu, 30 April 2017

BERUSAHALAH DAN MINTALAH SURGA FIRDAUS



BERUSAHALAH DAN MINTALAH SURGA FIRDAUS

Oleh : Azwir B. Chaniago

Surga adalah sebuah nama  yang sangat dikenal oleh setiap manusia, yaitu  tempat yang penuh dengan kenikmatan di negeri akhirat. Surga bisa juga berarti kebun yang di dalamnya terdapat banyak pohon dan kurma. Sebagian ulama bahasa mengatakan : Tidaklah disebut jannah atau surga dalam bahasa Arab kecuali  terdapat padanya pohon kurma dan anggur.

Sebagian yang lain mengatakan, disebut surga atau jannah karena lebatnya pohon yang ada di dalamnya dan ranting serta dahannya memberikan naungan bagi yang berada di bawahnya. Selain itu, surga adalah tempat  yang kekal di akhirat dan di peruntuhkan bagi hamba-hamba Allah yang beriman dan beramal shalih.

Sungguh keinginan dan cita cita tertinggi orang beriman adalah mencari ridha dan rahmat Allah Ta’ala sehingga bisa mendapat surga-Nya.  Oleh sebab itu setiap saat orang orang beriman berdoa : “Rabbanaa aatinaa fid dun-yaa hasanatan  wa fil aakhirati hasanatan  waqiinaa ‘adzaban naar”. Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan lindungilah kami dari adzab neraka.

Surga disediakan Allah Ta’ala hanya untuk orang beriman dan beramal shalih. Adapun orang kafir, tempat kembalinya adalah neraka. Allah Ta’ala berfirman : “Sungguh, orang orang yang kafir dari golongan ahlil Kitab dan orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama lamanya. Mereka itu adalah sejahat jahat makhluk. 

Sungguh, orang orang yang beriman dan beramal shalih mereka itu adalah sebaik baik makhluk. Balasan mereka disisi Rabb mereka ialah surga ‘And yang mengalir di bawahnya sungai sungai. Mereka kekal di dalamnya selama lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang orang yang takut kepada Rabb-nya”. (Q.S al Baiyinah 6-8).

Allah Ta’ala berfirman : “Wa basysyiril ladziina aamanuu wa ‘amilush shalihaati anna lahum jannatin tejrii min tahtihal anhaar” . Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang orang yang beriman dan beramal shalih bahwa untuk mereka (disediakan) surga surga yang mengalir dibawahnya sungai sungai.  (Q.S al Baqarah 25).

Sungguh surga Allah itu bertingkat tingkat dan Rasulullah menyuruh umatnya untuk memohon diberikan surga Firdaus yaitu surga tertinggi. Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda : "Barangsiapa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan mendirikan shalat serta berpuasa di bulan Ramadhan, maka wajib bagi Allah untuk memasukkannya ke dalam surga. Dan orang yang berjihad dijalan Allah atau duduk di negerinya dimana ia dilahirkan.
 
Maka sahabat berkata : Ya Rasulullah, tidakkah engkau beritakan kepada orang-orang ?. Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda : "Sesungguhnya di dalam surga ada seratus tingkatan yang disediakan Allah. Jarak antara dua tingkatan seperti antara langit dan bumi. Maka apabila kamu memohon kepada Allah maka mohonlah (surga) Firdaus kepada-Nya, karena ia terletak ditengah surga-surga yang tertinggi”. Saya rasa beliau mengucapkan : Dan diatas-Nya ada Arsy ar Rahman dan dari situ dipancarkan sungai-sungai surga. (H.R Imam Bukhari).

Jika Rasulullah telah bersabda : “Jika kalian memohon kepada Allah maka mohonlah surga Firdaus  tertinggi” maka maknanya adalah bahwa orang orang beriman  bisa masuk surga Firdaus. Lalu apa saja sifat bagi seorang hamba yang ingin menjadi penghuni surga Firdaus itu ?.

Adapun  sifat atau ciri orang yang akan mendapatkan surga Firdaus, yaitu sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sholatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat.

Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki ; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara sholatnya. (Q.S al Mu’minun 1-9)

Maka dengan demikian ada tujuh sifat orang yang akan mendapatkan surga Firdaus, sebagaimana telah dijelaskan Allah Ta’ala dalam firman-Nya, yaitu (1)  Orang orang yang beriman. (2) Yang khusyuk dalam sholatnya. (3) Yang berpaling dari perkataan dan perbuatan yang tak berguna. (4) Yang menunaikan zakat. (5) Yang menjaga kemaluannya. (6) Yang menjaga amanat dan janjinya. (7) Yang selalu  memelihara shalatnya.

Oleh karena itu maka seorang hamba akan selalu  berdoa untuk mendapatkan surga Firdaus yaitu surga tertinggi serta terus berusaha melakukan amal yang terbaik. Wallahu A’lam. (1.029).

Kamis, 27 April 2017

RASA MALU MENGHALANGI PERBUATAN MAKSIAT



RASA MALU MENGHALANGI  PERBUATAN MAKSIAT

Oleh : Azwir B. Chaniago

Rasulullah bersabda : “Inna mimma adrakan naassu min kalaamin nubuwatil uula. Idzaa lam tastahyi fashna’ ma syi’ta. Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui manusia (secara turun temurun) dari kalimat kenabian terdahulu adalah : Jika engkau tidak malu maka berbuatlah sesukamu.(H.R Imam Bukahri dan juga diriwayatkan oleh 9 ahli hadits selainnya).

Inti pokok hadits ini adalah : Jika engkau tidak malu maka berbuatlah sesukamu. Lalu apa makna kata malu.  Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci. (Ibnu Hibban al Busti).
Syaikh Salim bin ‘Ied al Hilaly berkata : (1)  Malu adalah akhlak yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan buruk dan tercela. (2) Menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat. (3) Mencegahnya dari sikap melalaikan hak orang lain.

Selanjutnya tentang kalimat : “Jika engkau tidak malu berbuatlah sesukamu”. Para ulama, diantaranya Syaikh Utsaimin, memberikan beberapa makna, yaitu : 

Pertama : Sebagai perintah dan peringatan.
Maksudnya adalah, jika engkau telah pastikan tidak malu dihadapan Allah Ta’ala dan dihadapan manusia karena perbuatan itu baik dan halal maka kerjakanlah.
Imam an Nawawi berkata : Perintah tersebut adalah dalam arti pembolehan. Maksudnya adalah sekiranya engkau hendak mengerjakan sesuatu maka jika itu adalah hal yang engkau tidak merasa malu kepada Allah dan manusia untuk mengerjakannya maka lakukanlah perbuatan itu.

Kedua : Sebagai bentuk ancaman.
Ini adalah gaya bahasa mengancam. Maksudnya jika engkau tidak tahu malu maka kerjakanlah sesuakamu. Dan pada waktunya engkau harus mempertanggung jawabkan apa yang telah engkau kerjakan.

Ketiga : Sebagai bentuk berita.
Maksudnya adalah bahwa yang mencegah manusia yang fitrahnya baik, dari zaman ke zaman terhadap kemaksiatan adalah rasa malu yang dimilikinya. Rasa malu akan mencegah kemaksiatan dan membuat orang melakukan kebaikan jika fitrahnya masih baik. Orang yang punya rasa malu paham betul bahwa Allah Maha Mengetahui, Maha Mendengar dan Maha Melihat. 

Dari ketiga hal tersebut, jumhur ulama mengatakan bahwa yang lebih kuat adalah pendapat pertama yaitu jika sudah pasti engkau tidak malu di hadapan Allah dan di hadapan manusia (untuk mengatakan atau melakukan sesuatu) maka kerjakanlah. 

Seorang hamba sangatlah dianjurkan untuk memelihara sikap malu ini karena sifat malu memiliki banyak keutamaan dan akan mendatangkan  kebaikan, diantaranya adalah  :

Pertama : Malu adalah salah satu cabang iman.
Sungguh terdapat keterkaitan yang kuat antara malu dengan iman bahkan merupakan salah satu cabangnya. Rasulullah bersabda : “Al iimaan bidh’un wa sab’uun au sittuuna syu’bah. Fa afdhaluha qaulu lailaha ilallah wa adnaahaa imaathtul adza ‘anith thaariq. Wal hayaa’u syu’batun minal iimaan”.

Iman memiliki lebih dari 70 atau 60 cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan Laa ilaaha ilallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang iman. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Rasulullah bersabda : Al hayaa’u wal iimaanu qurinaa jamii’aa. Fa idza rufi’a ahaduhumaa rufi’al akharu. Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut maka hilanglah yang lainnya. (H.R al Hakim dan ath Thabrani).

Kedua : Malu hakikatnya mendatangkan kebaikan.
Rasa malu akan senantiasa mengajak pemiliknya untuk berhias dengannya dan menjauhkan dari sifat sifat rendah dan hina. Rasulullah bersabda : “Al hayaa’u laa ya’ti illa bi khairin”. Malu itu tidak mendatangkan (sesuatu) kecuali kebaikan (Mutafaq ‘alaihi).

Imam Muslim meriwayatkan : “Al hayaa’u khairun kulluhu”. Malu itu seluruhnya baik.
Seorang sahabat pernah mengecam saudaranya dalam hal malu, seolah olah ia berkata kepada saudaranya : Sungguh malu telah merugikanmu. Lalu Rasulullah bersabda : Da’huu fa innal hayaa’a minal iman”. Biarkan dia, karena malu termasuk iman. (H.R Imam Bukhari).

Ketiga : Malu penghalang untuk melakukan kemaksiatan.
Berapa banyak kita menyaksikan manusia yang suka berbuat buruk bahkan  menzhalimi  terhadap sesama. Sebab paling utama adalah  karena mereka tidak memiliki sifat malu. Bahkan terkadang masih  bisa tertawa dihadapan kamera media masa meskipun telah melakukan suatu perbuatan yang sangat tercela. Seorang hamba yang memiliki rasa malu dan fitrahnya baik pastilah dia merasa  terhalang untuk melakukan kemaksiatan serta berbagai perbuatan tercela.

Abu Ubaid al Harawi berkata : Maknanya bahwa orang yang (punya sifat) malu itu berhenti dari perbuatan maksiatnya karena rasa alunya. Sehingga rasa malu itu menjadi seperti iman yang mencegah antara dia dengan makksiat. (Fathul Baari).

Keempat : Malu akan mengantarkan ke surga.
Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Al hayaa’u minal iimaan. Wal iimaanu fil jannah wal badzaa’ minal jafa’I wal faja’u finnaar”. Malu bagi dari iman, sedangkan iman tempatnya di surga. Dan perkataan kotor bagian dari tabiat kasar, sedangkan tabiat kasar tempatnya di neraka. (H.R Imam Ahmad,  dishahihkan oleh Syaikh al Albani).

Itulah sebagian keutamaan sifat malu yang  hakikatnya akan menghalangi seorang hamba untuk melakukan perbuatan maksiat. Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (1.028)     

Rabu, 26 April 2017

IBNU LUHAY PERUSAK TAUHID PERTAMA DI JAZIRAH ARAB



IBNU LUHAY PERUSAK TAUHID PERTAMA DI JAZIRAH ARAB

Oleh : Azwir B. Chaniago

Dahulu, secara turun temurun, mayoritas bangsa Arab  mengikuti dakwah Nabi Ismail ‘alaihis salam yang menyeru manusia kepada agama bapaknya yaitu Ibrahim ‘alaihis salam yaitu agama samawi. Ketahuilah bahwa agama samawi adalah agama atau ajaran yang Allah Ta’ala turunkan kepada para Nabi-Nya untuk didakwahkan kepada kaum mereka.

Pokok utama ajaran agama samawi adalah meng-Esakan Allah Ta’ala atau mentauhidkan-Nya. Menyembah dan mengabdi dan minta pertolongan kepada-Nya serta mengimani yang ghaib dan yang lainnya yang disyariatkan. 

Allah berfirman : “Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan) : Sembahlah Allah dan jauhilah taghut. Kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang tetap dalam kesesatan”.  (Q.S an Nahal 36). 

Kemudian setelah berjalan waktu yang lama setelah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alaihimussalam, maka  ada diantara orang orang di Jazirah Arab mulai melalaikan ajaran Nabi Ibrahim yang disampaikan Nabi Ismail. Namun demikian sebagian besar mereka masih ada yang bertauhid dan melaksanakan syariat dari ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrahim. 

Akan tetapi semakin lama keadaan semakin memburuk. Tauhid berubah menjadi kesyirikan yang pertama kali dipelopori oleh Amru bin Luhay pimpinan Bani Khuza’ah. Sebenarnya Amru bin Luhay ini adalah orang yang suka berbuat kebaikan kepada orang lain, dermawan sehingga semua orang senang kepadanya. Bahkan hampir hampir manusia menganggapnya ahli ilmu dan wali yang disegani.

Suatu ketika dia mengadakan perjalanan ke Syam. Disana dia melihat penduduk Syam yang menyembah berhala. Ibnu Luhay menganggap hal  itu suatu yang baik dan benar. Sebab, menurutnya Syam adalah tempat (diutus) para Rasul dan Kitab. Lalu dia pulang membawa berhala Hubal dan meletakkannya di dalam Ka’bah. Lalu dengan kewibawaan dan pengaruhnya sebagai tokoh, dia mengajak penduduk Makkah untuk membuat kesyirikan terhadap Allah. Kemudian orang orang Hijaz banyak yang mengikuti penduduk Makkah, karena mereka dianggap sebagai pengawas Ka’bah dan penduduk Tanah Suci.

Selanjutnya menyebarlah banyak berhala di Tanah Arab. Diantaranya yang paling pertama diberi nama  Manat yang ditempatkan di Musyallal di tepi Laut Merah. Kemudian mereka membuat berhala  Lata di Tha’if dan Uzza di Wadi Nakhlah. Inilah tiga berhala yang paling besar dan paling sering disembah. Dan sementara itu disekitar Ka’bah ditempat berhala yang banyak sehingga berjumlah sekitar 360 berhala.

Akhirnya ajaran Nabi Ibrahim  tentang tauhid jadi hilang. Yang masih tinggal hanya ajaran tentang thawaf, berhaji dan qurban. Itupun juga sudah berobah prakteknya  menjadi berbagai bentuk kasyirikan. (Lihat ar Rahiq al Makhtum, Syaikh DR Shafiyurrahman al Mubarakfuri).

Tersebab dosanya yang sangat besar, yaitu merusak tauhid dan mengganti tauhid dengan berbagai kesyirikan maka dia mendapat adzab yang sangat berat dan mengerikan. Ini sebagaimana dijelaskan Rasulullah bahwa beliau pernah diperlihatkan Amru bin Luhay di neraka berjalan dengan menyeret ususnya yang terburai keluar dari perutnya. (H.R Imam Muslim)

Keadaan kesyirikan di Tanah Arab ini barulah hilang setelah diutusnya Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wasallam yang membawa risalah Islam yang mengajarkan Tauhid, meng-Esakan Allah Ta’ala.
Wallahu A’lam. (1.027).    

Selasa, 25 April 2017

LALAI DALAM BERIBADAH ADALAH MUSIBAH BESAR



LALAI DALAM BERIBADAH ADALAH MUSIBAH  BESAR

Oleh : Azwir B. Chaniago

Kalau kita perhatikan, umumnya manusia mengangggap bahwa musibah adalah  keburukan  dan   tidak menyenangkan yang menimpa dirinya, hartanya, keluarganya atau yang lainnya. Diantaranya adalah (1) Kehilangan orang yang dicintai tersebab diwafatkan Allah Ta’ala. (2)  Kehilangan harta karena ditipu, dirampok atau dibodohi. (3) Kehilangan jabatan atau pangkat. (4) Dizhalimi seseorang dengan fitnah, ghibah atau hinaan. (5) Menderita penyakit yang ringan ataupun berat. 

Ini tentu tidak salah jika disebut musibah. Bahkan jika disebut seseorang mendapat musibah maka pikiran kita akan tertuju kepada satu atau lebih keadaan yang terasa buruk dan tidak menyenangkan ini. Ketahuilah bahwa jika datang suatu musibah bisa jadi ada hikmah, pelajaran bahkan bisa jadi juga ada kebaikan yang tidak atau belum kita ketahui.
Diantara contohnya adalah :

Pertama :  Ketika seseorang ditimpa sakit  misalnya, maka paling tidak ada tiga hikmah padanya.

(1) Allah dengan kasih sayangnya mengingat agar dia melakukan muhasabah atau introspeksi diri. Mungkin dia telah melakukan dosa lalu Allah datangkan penyakit baginya. Akhirnya dia sadar lalu bertaubat.
 Allah berfirman : Dan musibah apapun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan kesalahanmu)” Q.S asy Syuura 30.
Para ulama menjelaskan bahwa makna dari kasabat aidiikum, perbuatan tanganmu sendiri dalam ayat ini adalah dosa dosa kamu

(2) Allah ingin menghapus dosa dosanya. Rasulullah bersabda  : “Maa yushibul muslima min nashabin walaa washabin walaa hammin walaa huznin walaa adzan walaa ghammin hattasy syaukati yusyakuha illa kaffarallahu bihaa ‘anhu min khathaayaah.” Tidaklah menimpa seorang muslim berupa kelelahan, sakit, gelisah, kesedihan, gangguan dan kesusahan –sampai sampai duri duri yang menusuknya- melainkan Allah akan menghapus kesalahannya (dosa-dosanya). H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim). 

(3) Sakit atau cobaan yang diderita seseorang adalah merupakan kabar gembira baginya karena Allah menjanjikan kedudukan yang tinggi disisi-Nya.
Rasulullah bersabda : “Innar rajula takuunu lahul manzilatu ‘indallahi famaa yablughuhaa bi’amalin falaa yazaalullahu yabtaliihi bimaa  yakrahu hatta  yuballighahu dzalika” Ada  seorang hamba yang mendapat kedudukan  mulia di sisi Allah bukan karena amalannya. Allah memberi cobaan dengan sesuatu yang  tidak menyenangkan hingga ia meraih derajat mulia tersebut. (H.R Abu Ya’la dan Al Hakim, di shahihkan oleh Syaikh al Albani).

Kedua : Ketika seseorang dapat musibah dengan kehilangan harta maka keadaan ini juga ada pelajaran padanya.

(1) Allah sedang menguji kesabarannya dan kalau dia bersabar Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.

Umar bin Abdul Aziz berkata : Tidaklah Allah memberi nikmat kepada seseorang hamba kemudian mencabutnya dan menggantinya dengan kesabaran, melainkan yang  Allah gantikan itu lebih baik dari apa yang hilang. (Madarijus  Saalikin, Imam Ibnul Qayyim)

(2) Bisa jadi untuk mengingatkan dia yang memiliki harta yang banyak tapi belum ditunaikan zakatnya atau sangat jarang berinfak.

Ketahuilah bahwa sebenarnya ada musibah yang sangat besar dan sering tak disadari oleh manusia yaitu musibah yang berkaitan dengan agamanya. KETIKA SESEORANG MALAS ATAU LALAI DALAM BERIBADAH DAN SULIT MENINGGALKAN MAKSIAT MAKA ITULAH MUSIBAH BESAR.
Diantara contohnya adalah :

(1) Berat melakukan shalat berjamaah ke masjid (bagi laki laki). Kalaupun shalat di rumah itupun sering lalai, tidak di awal waktunya. 
(2) Berat untuk berinfak atau berzakat pada hal memiliki harta yang banyak.
(3) Berat untuk belajar ilmu agama apalagi hadir di majlis ilmu, padahal masih bisa mengatur waktu.
(4) Merasa nyaman dan tak ada rasa takut ketika melakukan keburukan, kezhaliman ataupun maksiat yang lainnya. 

Para  sahabat, para ulama terdahulu serta orang orang shalih merasa tidak terlalu berat menerima musibah yang berkaitan dengan dunia tetapi sangat takut dengan musibah yang menimpa agamanya seperti lalai dalam beribadah.

Perhatikanlah apa yang dikatakan Umar bin Khaththab : Tidaklah aku ditimpa suatu musibah, kecuali Allah memberikan empat kenikmatan kepadaku : (1) Musibah itu tidak menimpa agamaku. (2) Musibah itu tidak lebih berat dari musibah orang lain. (3) Musibah itu tidak menghalangiku untuk ridha. (4). Musibah itu membuat aku masih mengharapkan pahala.

Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (1.026)