Rabu, 14 September 2016

ORANG IKHLAS MENDAPAT NAUNGAN PADA HARI KIAMAT



ORANG IKHLAS MENDAPAT NAUNGAN ALLAH 
PADA  HARI KIAMAT

Oleh : Azwir B. Chaniago

Ikhlas dan keikhlasan sungguh sangat mudah diucapkan tapi  sulit untuk dilakukan kecuali bagi orang yang telah diberi  petunjuk oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Secara etimologi atau bahasa, ikhlas bermakna bersih dari segala sesuatu yang tidak baik dan menjadikan sesuatu bersih, tidak kotor, murni tidak ada  sesuatu yang tercampur padanya. 

Menurut syariat, ikhlas mempunyai banyak penjelasannya dari para ulama akan tetapi semuanya mengacu kepada makna etimologinya yaitu memurnikan atau memurnikan sesuatu (ibadah) hanya untuk Allah Ta’ala.

Syaikh Ahmad Farid, seorang Ulama Mesir,  menyebutkan berbagai pendapat dan penjelasan tentang makna ikhlas menurut terminology. Diantaranya disebutkan  :  Ada ulama yang mendefinisikan bahwa ikhlas “menjadikan tujuan hanya untuk Allah Ta’ala tatkala beribadah, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hati dan wajahmu arahkan kepada Allah Ta’ala, bukan kepada manusia. 

Adapula yang mengatakan bahwa  ikhlas “membersihkan amalan dari komentar manusia yaitu jika engkau melakukan suatu amalan tertentu maka bersihkan diri dari memperhatikan manusia untuk mengetahui perkataan (komentar) mereka tentang amalanmu tersebut. Cukuplah Allah Ta’ala yang memperhatikan amalan kebajikanmu. Itu artinya engkau ikhlas dalam  amalan untuk-Nya. (Tazkiyatun Nufus, dengan diringkas).

Sungguh sangatlah banyak keutamaan yang akan diperoleh seorang hamba yang ikhlas yaitu karena Allah Ta’ala saja, diantaranya adalah mendapat naungan Allah pada hari Kiamat. Ketahuilah bahwa pada hari Kiamat kelak manusia akan dikumpulkan di suatu lapangan atau padang yang luas yang disebut padang mahsyar. Rasulullah bersabda : “Allah Ta’ala mengumpulkan seluruh manusia dari pertama hingga yang terakhir diatas satu dataran … dan matahri mendekat, maka orang orang pun dilanda kesedihan dan kesulitan yang tidak mampu mereka hadapi dan tidak mampu mereka pikul.(H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Ketika itu hari sangatlah panas sehingga keringat mereka bercucuran dengan derasnya. Rasulullah bersabda : “Pada hari Kiamat matahari  mendekat kea rah manusia seukuran satu mil, maka (keadaan) manusia pun terhadap keringat mereka (yang bercucuran) berdasarkan amalan mereka. Ada di antara mereka yang air keringatnya hingga dua mata kakinya, ada diantara mereka yang keringatnya hingga ke lutut, ada yang hingga ke pantatnya da nada diantara mereka yang keringatnya hingga ke mulutnya. (H.R Imam Muslim)

Dengan keadaan yang demikian berat maka  setiap orang membutuhkan naungan atau perlindungan dan pada saat itu tidak ada perlindungan atau naungan kecuali dari Allah Ta’ala saja. Dan sangatlah beruntung orang orang yang ikhlas dalam ibadahnya sehingga mereka termasuk dalam golongan orang orang yang mendapat naungan. 

Rasulullah bersabda : “Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah Ta’ala di bawah naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan Allah Ta’ala, yaitu : Imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah, seorang laki laki yang hatinya terikat dengan masjid masjid, dua orang laki laki yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah, seseorang yang di ajak untuk berzina oleh seorang wanita yang berkedudukan dan cantik namun dia berkata, sesungguhnya aku takut kepada Allah, seorang yang bersedekah lalu ia sembunyikan hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya dan seseorang yang berdzikir mengingat Allah tatkala sendirian maka kedua matanya pun meneteskan air mata”.  (H.R Imam Muslim).

Perhatikanlah bahwa dalam hadits ini disebutkan tujuh golongan yang mendapat naungan Allah. Dua golongan diantaranya adalah golongan orang orang yang ikhlas, yaitu : 

Pertama : Seorang yang menyembunyikan sedekahnya. Ia tidak menceritakannya sehingga tidak seorang pun yang mengetahui sedekahnya tersebut termasuk orang yang terdekat dengannya. 

Al Hafizh Ibnu Rajab berkata : Sikap ini merupakan tanda kuatnya iman seseorang. Sudah cukup baginya Allah saja yang mengetahui amalannya. Dan hal ini menunjukkan sikap menyelisihi hawa nafsu karena hawa nafsu ingin agar dirinya memperlihatkan sedekahnya dan ingin dipuji oleh manusia. Oleh karenanya sikap menyembunyikan sedekah membutuhkan keimanan yang sangat kuat untuk melawan hawa nafsu. (Fathul Bari).

Ada beberapa penafsiran ulama tentang sabda Rasulullah Salallahu ‘alaihi wa sallam : “hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya” diantaranya adalah sebagaimana disebut oleh al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari : 

(1) Disebutkan tangan kiri dengan tangan kanan dan dimana tangan kanan maka tangan kiri menyertainya. Meskipun demikian, karena tangan kanan terlalu menyembunyikan sedekahnya hingga temannya yang paling dekat yaitu tangan kiri tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanan. Lafal Nabi ini menunjukkan bentuk mubalangah (berlebihan) dalam menyembunyikan sedekah. 

(2) Maksudnya yaitu hingga malaikat yang ada di kirinya tidak mengetahui apa yang telah dia sedekahkan.

(3) Diantara bentuk pengamalan hadits ini yaitu jika seseorang ingin bersedekah kepada seorang pedagang yang miskin maka ia pun membeli barang dagangan saudaranya tersebut (tanpa menawar harga barang yang akan dibelinya tersebut) bahkan dengan harga jual yang tinggi atau untuk melariskan barang dagangan saudaranya tersebut.

(4) Maksud dari tangan kiri yaitu dirinya sendiri. Artinya ia berinfak dan menyembunyikan infaknya sehingga dirinya sendiri tidak tahu (melupakan atau lupa) dengan sedekah yang telah ia keluarkan.

Kedua : Berdzikir tatkala bersendirian dan mengalir air matanya.
Al  Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan dua makna tentang bersendirian, dan kedua makna atau penafsiran tersebut menunjukkan kepada keikhlasan. 

(1) Maksudnya dia berdzikir kepada Allah Ta’ala tatkala bersendirian, jauh dari keramaian sehingga tidak ada yang melihatnya. Beliau juga berkata : Karena dia dalam kondisi seperti itu (bersendirian) menjadi lebih jauh dari riya’. (Fathul Bari).

(2) Maksudnya meskipun dia berdzikir di hadapan orang banyak dan dilihat oleh orang ramai tetapi hatinya seakan akan bersendirian dengan Allah Ta’ala yaitu hatinya kosong dari memperhatikan manusia, kosong dari memperhatikan pandangan dan penilaian manusia. (Fathul Bari).

Ini menunjukkan keikhlasan yang tinggi sehingga biarpun dia di hadapan orang ramai dia mampu menjaga dan mengatur hatinya sehingga bisa kosong dari riya’. (Lihat Kitab Berjihad Melawan Riya’ dan Ujub, Ustadz Firanda Andirja, Lc., M.A).

Kita bermohon kepada Allah agar bisa beramal dengan ikhlas  sehingga menjadi orang orang yang nanti di Hari Kiamat mendapat naungan dari Allah Ta’ala.
Wallahu A’lam. (795)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar