Jumat, 02 September 2016

ISLAM MENGHARAMKAN NIKAH MUT'AH-SYI'AH MEMPROMOSIKANNYA



ISLAM MENGHARAMKAN NIKAH MUT’AH - SYI’AH MEMPROMOSIKANNYA

Oleh : Azwir B. Chaniago

Makna nikah mut’ah
Pada lazimnya, kata mut’ah dipergunakan untuk sebutan terhadap pernikahan sementara. Pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu sementara. Jangka waktunya adalah sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Bisa satu hari, tiga hari, satu minggu satu bulan bahkan bisa satu jam. Jika waktu yang disepakati pada saat nikah itu selesai dilalui maka ikatan perkawinanan mut’ah itu dengan sendirinya berakhir atau putus.  (Lihat Ensiklopedi Islam 3/311).

Penamaan mut’ah atas pernikahan model begini karena nikah tersebut dilakukan oleh pihak yang berakad yaitu suami istri hanya untuk mendapatkan kepuasan seksual atau untuk bersenang-senang. Dan memang salah satu makna dari kata mut’ah adalah yang menyenangkan.

Istilah lain dari nikah mut’ah adalah nikah muaqqat, yaitu perkawinan sementara yang dibatasi waktunya. Juga disebut dengan istilah nikah munqati’, yaitu perkawinan yang terputus dengan berakhirnya waktu yang disepakati.

Islam mengharamkan nikah mut’ah
Para ulama Ahlus sunnah sepakat bahwa nikah mut’ah memang pernah diperbolehkan dimasa-masa awal sejarah Islam kemudian diharamkan sampai hari Kiamat.
Sesungguhnya Rasululah melarang kawin mut’ah dan daging keledai jinak (peliharaan), ketika perang Khaibar (H.R Imam Bukhari).

Rasulullulah bersabda : “Wahai manusia sesungguhnya aku pernah membolehkan kalian nikah mut’ah. Ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari Kiamat. Maka barangsiapa yang masih memilikinya hendaknya dilepaskan dan jangan kalian ambil sedikitpun dari apa yang telah kalian berikan (H.R Muslim). 

Jika kita memperhatikan dengan pikiran jernih  akan terlihat bahwa nikah mut’ah tidak sesuai atau bertentangan dengan tujuan pernikahan yang   syar’i. Itulah antara lain sebab diharamkannya. Diantaranya adalah : 

Pertama : Syari’at mengajarkan agar umat Islam berusaha mempertahankan kelanggengan pernikahannya. Tidaklah boleh menentukan batas waktu berakhirnya sebagaimana yang berlaku pada nikah mut’ah. 
 
Kedua : Dalam syari’at Islam ditetapkan bahwa seseorang tidak boleh memiliki istri lebih empat sementara dalam nikah mut’ah tidak terbatas.   

Ketiga : Istri kaum muslimin berhak atas warisan dari suaminya sementara istri mut’ah tidak mewarisi.

Keempat : Dalam pernikahan yang syar’i mutlak adanya wali dan saksi. Tapi dalam nikah mut’ah tidak diperlukan  boleh jadi berdua saja dan langsung menikah.

Kelima : Jika seseorang menceraikan istrinya, diperlukan lafaz cerai atau yang semisalnya. Tapi dalam nikah mut’ah tidak diperlukan karena cerai secara otomatis jika waktunya berakhir.

Keenam : Dalam nikah mut’ah, masa idah diabaikan hanya 2 kali haidh dan bagi yang sudah tidak haidh lagi cukup  menunggu 45 hari. Mereka tidak menyebutnya idah tapi istilah istibra’. Dan dalam banyak kasus istibra’ ini juga sering diabaikan.
 
Ulama Syi-ah mempromosikan nikah mut’ah.
Ulama Syi’ah berkeyakinan kuat bahwa nikah mut’ah bukan sekedar halal mutlak tapi merupakan bagian pokok dari agama mereka. Orang yang mengingkari nikah mut’ah menurut mereka disebut kafir atau murtad.

Ash Shadiq berkata : Nikah mut’ah adalah bagian dari agamaku, agama nenek moyangku. Barang siapa yang mengingkarinya maka ia mengingkari agama kami. Orang yang meningkari nikah mut’ah kafir dan murtad. (Kitab Syiah, Minhajus Shadiqin, Fatullah al Kashaani)

Dinukil oleh al Qummy (Ulama Syiah) dari Abdullah bin Sinai dari Abu Abdillah, ia berkata : Sesungguhnya Allah mengharamkan untuk orang-orang Syi’ah segala minuman yang memabukkan dan mengganti bagi mereka dengan nikah mut’ah.

Syi’ah tidak membatasi jumlah wanita yang boleh dinikah mut’ah. Didalam  buku Syi’ah Furu’ul Kaafi disebutkan, dari Zamrah, aku bertanya kepada Abu Abdillah tentang jumlah wanita yang boleh di mut’ah, apakah hanya empat. Ia menjawab : Nikahilah dengan mut’ah seribu wanita, karena wanita-wanita itu dikontrak.   

Penganut Syi’ah tidak hanya meyakini nikah mut’ah suatu yang halal secara mutlak tapi memiliki keutamaan yang sangat  besar, diantaranya adalah sebagai mana disebutkan dalam buku buku Syi’ah :

Pertama : Pahalanya setara dengan Haji dan Umrah 70 kali.
Barangsiapa melakukan mut’ah dengan wanita beriman maka dia seperti menziarahi ka’bah (berhaji/berumrah) 70 kali (Al Majlisi, Buku Syiah :Risalah Mut’ah)

Kedua : Diampuni dosanya terutama bagi wanita.
Abu Ja’far berkata : “Bahwa ketika nabi melakukan isra’ mi’raj beliau bersabda : Saya dijumpai Jibril dan ia berkata :  Wahai Muhammad sesungguhnya Allah berfirman : Aku telah mengampuni dosa-dosa wanita dari umatmu yang melakukan mut’ah.”(Hadits buatan Syiah ?)

Ketiga : Terbebas dari api neraka.
Barangsiapa melakukan muth’ah satu kali maka sepertiga badannya dibebaskan dari neraka. Siapa yang bermut’ah dua kali maka dua pertiga badannya dibebaskan dari neraka. Siapa yang menghidupkan tradisi mut’ah ini tiga kali maka amanlah seluruh badannya dari neraka yang membakar (Al Majlisi, Kitab Syi’ah Risalah Mut’ah).

Keempat : Meningkatkan derajat takwa.
Barangsiapa melakukan mut’ah sekali maka derajatnya seperti Husain, siapa yang bermut’ah dua kali derajatnya seperti Hasan, siapa yang bermut’ah tiga kali derajatnya seperti Ali bin Abi Thalib. Siapa yang bermut’ah empat kali maka derajatnya sama dengan derajatku (Nabi salallahu alaihi wassalam). Tafsir Syiah, Manhaj as Saadiqin, Fathullah al Kashaani).

Beberapa syarat nikah mut’ah menurut Syi’ah adalah :

Pertama : Wanita beragama Islam (?) atau ahlul Kitab yang baik-baik. Kalau dia pezina, makruh untuk dinikahi tapi boleh dan tidak berdosa.

Kedua : Akad nikah harus dengan redaksi : Aku kawini engkau atau aku nikahi engkau atau aku nikah mut’ah engkau. Akad boleh dilakukan tanpa wali dan saksi.

Ketiga : Harus ada mas kawin  yang jumlahnya disepakati. Jika tidak ada mahar atau mas kawin maka nikah mut’ah batal.

Keempat : Jangka waktu nikah mut’ah harus disebutkan secara jelas dalam akad. Jika tidak disebutkan, menjadi nikah permanen (Lihat Kitab Ensiklopedi Islam 3/312)

Wallahu A’lam. (780).      













Tidak ada komentar:

Posting Komentar