Senin, 12 September 2016

LEBARAN ANAK YATIM ADAKAH ?



LEBARAN ANAK YATIM ADAKAH ?

Oleh :  Azwir B. Chaniago

Muqaddimah.
Sungguh Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan bahwa Islam  memiliki dua hari yang disyariatkan yaitu hari Raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adh-ha.  Pensyariatan dua hari raya atau lebaran ini adalah rahmat Allah Ta’ala bagi kaum muslimin.

Dalam sebuah hadits Anas bin Malik, dia berkata : (Ketika) Rasulullah datang dan penduduk Madinah kala itu memiliki dua hari (raya) yang mereka gunakan untuk bermain main di masa jahiliyah. Lalu beliau bersabda : “Aku telah mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk bermain main dimasa jahiliyah. Sungguh Allah Ta’ala telah mengganti untuk kalian dua hari yang lebih baik dari itu, yakni hari Nahr (‘Idul Adh-ha) dan hari Fithr (‘Idul Fithri). H.R Imam Ahmad, Abu Dawud dan an Nasa’i.)

Karateristik hari raya dalam Islam.

Hari raya dalam Islam memiliki karakteristik tersendiri, penuh dengan pahala
dan kebaikan, yaitu :

Pertama : Didahului dengan shaum. (1) Untuk ‘Idul Fithri, didahului oleh shaum
Ramadhan selama sebulan penuh. (2) Untuk ‘Idul Adh-ha paling sedikit didahului
oleh shaum pada tanggal 9 Dzulhijjah bahkan juga boleh shaum tanggal 1-9
Dzulhijjah.

Kedua : Hari H-nya diharamkan ber-shaum karena merupakan hari yang berisi
kebahagiaan, kesenangan dan semangat baru.

Ketiga : Hari H-nya disyariatkan untuk melaksanakan shalat yaitu shalat ‘Id serta
diikuti dengan khutbah hari raya.

Keempat : Dianjurkan berkumpul kumpul bersama keluarga dan juga saling
mengunjungi saudara beserta kerabat.

Lebaran atau hari raya anak yatim.
Lalu sebagian orang di zaman ini ada yang menghubungkan 10 Muharram dengan kegiatan menyantuni anak yatim secara khusus atau diistimewakan di bulan Muharram. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai Lebaran atau Hari Raya anak yatim.

Kalau bersandar kepada hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan an Nasa’i tersebut diatas jelas bahwa dalam Islam hari raya hanya ada dua tidak lebih. Itu adalah hari Nahr (‘Idul Adh-ha) dan hari Fithr (‘Idul Fithri).

Wallahu A’lam, ada kemungkinan bahwa hari raya anak yatim yang dimaksud disandarkan kepada hadits tentang menyayangi anak yatim pada hari Asyura  yakni : 

Barangsiapa yang memberi buka puasa pada hari Asyura, maka pahalanya seperti memberi buka puasa seluruh ummat Muhammad. Siapa yang mengusap kepala anak yatim pada hari Asyura, niscaya Allah akan angkat derajat orang itu pada hari Kiamat pada setiap bulu rambutnya satu derajat. Siapa yang menyantuni fakir-miskin di hari Asyura, maka pahalanya seperti menyantuni seluruh ummat Muhammad. Allah akan memberinya 70 kain sutera terbaik dari surga.”  (Lihat  al-Maudhu’at Imam Ibnul Jauzi).

Ibnul Jauzi juga menyatakan : Riwayat serupa ini adalah hadits maudhu atau palsu tanpa diragukan lagi.  
                                                                                                                                        Imam Ibnu  Rajab berkata : Hadits anjuran memberikan uang belanja pada hari ‘Asyura lebih dari hari-hari biasa, tidak ada satupun yang shahih. (Latha’iful Ma’arif). 

Imam al ‘Uqaili berkata : Hadits santunan anak yatim di hari Asyura, hadits bathil. Acara khaul ala  Syiah Rafidhah dalam rangka mengenang kematian Husain bin Ali RA, maka itu adalah perbuatan orang-orang yang tersesat di dunia sedangkan ia menyangka telah berbuat kebaikan. Allah dan Rasul-Nya tidak pernah memerintahkan mengadakan acara tertentu pada hari lahir atau wafat para Nabi, maka bagaimanakah dengan manusia selain mereka. (Imam al ‘Uqaili, Kitab adh Dhu’afa).

Sekiranya hadits ini shahih maka juga tidak bisa dijadikan sandaran untuk menetapkan adanya  hari raya anak yatim.  Seorang hamba tidaklah patut untuk menambah jenis hari raya dari apa yang telah ditentukan secara syariat. 

Ketahuilah bahwa tidak pernah diketahui ada riwayat dari sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang menyebutkan adanya hari anak yatim. Namun demikian perlu diketahui bahwa  menyantuni dan memuliakan anak yatim adalah kewajiban kita semua bahkan bukan pada bulan Muharram saja.  

Kewajiban menyantuni dan memuliakan anak yatim.
Allah Ta’ala  telah memerintahkan orang beriman untuk menyantuni dan memuliakan anak yatim. Diantaranya adalah firman Allah Ta’ala : 

“Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak anak yatim, orang orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang orang yang sombong dan membangga banggakan diri.  (Q.S an Nisa’ 36).

Selain itu,  Allah Ta’ala memuji al Abraar (orang yang berbakti kepada Allah) karena mereka memiliki sifat sifat yang baik, diantaranya adalah memberi makan dengan makanan yang disukainya kepada anak yatim.

Allah berfirman : “(Al Abraar adalah) mereka memberikan  makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (Sambil berkata) : Sesungguhnya kami memberi makan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak mengharapkan balasan dan dan terima kasih dari kamu”. (Q.S al Insaan 8-9)  

Diantara keutamaan yang agung dan akan diperoleh orang beriman yang memelihara anak yatim adalah sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda : “Aku dan pemelihara anak yatim di surga nanti, kedudukannya seperti (dua jari ) ini,” dan Beliau memberikan isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dan memisahkan keduanya”. (H.R Imam Bukhari).

Dalam hadits tersebut, Rasulullah memberikan permisalan yang sangat gamblang tentang luhurnya kedudukan pemelihara anak yatim. Bahwa di surga nanti mereka memiliki kedudukan yang sangat dekat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bahkan Allah Ta’ala mencela orang orang yang tidak mempedulikan anak yatim, sebagaimana firman-Nya : “Kallaa bal laa tukrimuunal yatiim”. Sekali kali tidak !. Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim. (Q.S al Fajr 17).

Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (792).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar