Jumat, 01 Januari 2016

MEMULIAKAN TETANGGA



MEMULIAKAN TETANGGA

Oleh : Azwir B. Chaniago

Muqaddimah.
Secara asal, manusia itu adalah makhluk sosial yang butuh hidup berkelompok, bermasyarakat, berdampingan terutama untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. Berkelompok atau hidup berdampingan  yang paling dekat adalah hidup bersama tetangga. Saling kenal, saling menghormati, saling  membantu dan yang lainnya lainnya. 

Dizaman ini, terutama di kota besar ada sebagian manusia yang memiliki tetangga, bersebelah rumah  tetapi tidak  saling kenal mengenal  bahkan sangat jarang atau hampir tidak pernah bertemu. Apalagi untuk saling tolong menolong. Mungkin mereka, Wallahu A’lam : (1) Merasa bahwa dia mampu memenuhi semua kebutuhannya sehingga tidak butuh kepada tetangga (2) Merasa tetangganya lebih rendah derajatnya sehingga tidak perlu bergaul dengannya (3) Merasa tetangganya orang yang tinggi derajatnya sehingga dia merasa rendah diri untuk bergaul dengannya,  ataupun tersebab hal hal lainnya.

Siapa yang dimaksud dengan tetangga.
Bayangan kita umumnya, tetangga adalah orang orang yang disebelah rumah kita, ya ini tidak salah. Baik di sebelah kiri atau kanan, di depan atau di belakang. Ketahuilah bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang dimaksud tetangga. Ada yang mengatakan : (1) Tatangga adalah orang yang shalat shubuh bersamamu dimasjid. (2) Tetangga adalah 40 rumah dari setiap sisi. (3) Tetangga adalah 40 rumah disekitarmu. (4) Tetangga adalah 10 rumah dari setiap sisi, dan ada pendapat lainnya (Fathul Bari).

Namun demikian pendapat pendapat itu, kata sebagian ulama adalah berdasarkan riwayat riwayat yang kurang kuat. Syaikh al Albani berkata : Semua riwayat (yang dikatakan) dari Nabi yang berbicara tentang batasan tetangga adalah lemah. Tidak ada yang shahih. Oleh karena itu maka pembatasan yang benar adalah sesuai dengan kebiasaan masyarakat yang berlaku. (Lihat Silsilah Hadits Dha’if). Jadi menurut Syaik al Albani : Jika dalam adat atau kebiasaan masyarakat, jarak tertentu masih dianggap tetangga di masyarakat itu, maka itulah tetangga. 

Tiga macam tetangga.
Didalam Islam membina hubungan baik dengan  tetangga bukan terbatas pada sesama muslim saja tapi juga termasuk orang orang non muslim. Dikisahkan dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash, bahwa beliau pada suatu kali menyembelih seseokor kambing. Lalu beliau berkata kepada pembantunya.  : Apakah engkau telah memberikan hadiah (daging kambing) itu pada tetangga kita yang orang Yahudi itu ?. Aku mendengar Rasulullah bersabda :  “Jibril menasehatiku tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan mendapat bagian harta waris”. (H.R Imam Bukhari)

Oleh karena itu, para  ulama menjelaskan bahwa ada tiga macam tetangga. (1) Tetangga muslim yang memiliki hubungan kerabat dengan kita, maka ia memiliki tiga hak, yaitu : hak tetangga, hak kekerabatan dan hak sesama muslim. (2) Tetangga muslim yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan kita, maka ia memiliki dua hak, yaitu : hak tetangga dan hak sesama muslim. (3) Tetangga non muslim, maka ia memiliki satu hak yaitu hak tetangga. 

Memuliakan tetangga
Kedudukan tetangga bagi seorang muslim sangatlah besar dan penting. Bahkan sikap terhadap tetangga dalam Islam bukan sekedar menghormati atau memuliakan tapi berkaitan dengan iman seorang hamba. 

Rasulullah bersabda : “Man kaana yu’minu billahi wal yaumil akhiri fal yukrim jaarah”  Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia muliakan tetangganya. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Dalam surat an Nisa’ ayat 36, Allah Ta’ala mengingatkan agar kita berbuat baik kepada baik yang ada hubungan kerabat maupun tidak. Allah berfirman : “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak anak yatim, orang orang miskin, tetangga yang memiliki hubungan kerabat dan tetangga yang bukan kerabat, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang orang yang sombong dan membangga banggakan diri”.

Begitu penting dan utamanya hubungan baik dengan tetangga, sampai sampai Jibril menasehati Rasulullah, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Rasulullah bersabda : “Maa zaala jibrilu yuushiinii bil jaari hatta zhanantu annahu sayuwari-uh” . Jibril menasehatiku tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan mendapat bagian harta waris.

Syaikh Utsaimin, dalam Syahr Riyadush Shalihin menjelaskan :  Bukan berarti dalam hadits ini Jibril mensyariatkan bagian harta waris untuk tetangga karena Jibril tidak mempunyai hak dalam hal itu. Namun maknanya, beliau (Rasulullah) sampai mengira akan turun wahyu yang mensyariatkan tetangga mendapat bagian waris. Ini menunjukkan betapa ditekankannya wasiat Jibril tersebut kepada Rasulullah Salallahu ‘alaihi Wasallam.  
  
Insya Allah bermanfaat bagi kita semua. Wallahu A’lam (527)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar