Kamis, 28 Januari 2016

HAKIKAT KAYA ADALAH KAYA HATI



HAKIKAT KAYA ADALAH KAYA HATI

Oleh : Azwir B. Chaniago

Di zaman ini kebanyakan manusia bekerja keras untuk mendapatkan kekayaan berupa harta yang berlimpah. Mereka terlihat seperti tidak ada puasnya. Mereka disibukkan mencari harta, memelihara dan mengembangkan harta. Padahal yang mereka buru yaitu berupa harta dunia tidaklah menjamin seseorang akan bisa hidup layak dan nyaman. 

Terkadang kita menyaksikan seorang hamba yang beriman tidak memiliki harta tetapi bisa menjalani hidup dengan baik.  Allah berfirman : “Man ‘amila shaalihan, min dzakarin au untsaa wahuwa mu’minun fala nuhyiyannahu hayaatan thaiyibah. Wala najziyannahum ajrahum bi ahsani maa kaanuu ya’maluun”. Barangsiapa  yang melakukan amal shalih, baik laki laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S an Nahal 97).

Sungguh Rasulullah telah mengingatkan bahwa kaya bukanlah kaya harta dunia tetapi kaya hati yaitu hati yang selalu merasa cukup.  Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Laisal ghina ‘an katsratil ‘aradhi, wa lakinil ghina ghinan nafsi”.  Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya  adalah hati yang selalu merasa cukup. (H.R. Imam Bukhari  dan Imam Muslim)

Dalam riwayat Ibnu Hibban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat berharga kepada sahabat Abu Dzar. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku : “Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya (ghani) ? “Betul,” jawab Abu Dzar. Beliau bertanya lagi : “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta itu berarti fakir ? “Betul, Abu Dzar menjawab dengan jawaban serupa. Lantas beliau pun bersabda : “Sesungguhnya yang namanya kaya  adalah kayanya hati (hati yang selalu merasa cukup). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (hati yang selalu merasa tidak puas).” (H.R Ibnu Hibban).

An Nawawi rahimahullah mengatakan : Kaya yang terpuji adalah kaya hati. Hati yang selalu merasa puas dan tidak tamak dalam mencari harta dunia dan segala perhiasannya. Kaya yang terpuji bukanlah dengan banyaknya harta dan terus menerus ingin menambah dan terus menambah. Karena barangsiapa yang terus mencari dalam rangka untuk menambah, ia tentu tidak pernah merasa puas. Sebenarnya ia bukanlah orang yang kaya hati. (Syarah Shahih Muslim)

Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan : (1) Hakikat kekayaan sebenarnya bukanlah dengan banyaknya harta. Karena ada banyak orang yang diluaskan rizki berupa harta oleh Allah, namun ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang diberi. (2) Orang seperti ini selalu berusaha keras untuk menambah dan terus menambah harta. Ia pun tidak peduli dari manakah harta tersebut ia peroleh. (3) Orang semacam inilah yang seakan-akan begitu fakir karena usaha kerasnya untuk terus menerus memuaskan dirinya dengan harta. 

Namun demikian tidaklah berarti orang yang beriman dilarang memiliki harta yang banyak. Yang dilarang adalah janganlah harta menjadikan seseorang lalai dalam mempersiapkan bekal untuk menuju negeri akhirat. Bukankah beberapa sahabat seperti Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin ‘Auf adalah sahabat yang terkenal kaya raya. Tapi kekayaannya tidaklah melalaikannya untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. 
  
Rasulullah bersabda : “Tidak apa-apa dengan kaya bagi orang yang bertakwa. Dan sehat bagi orang yang bertakwa itu lebih baik dari kaya. Dan bahagia itu bagian dari kenikmatan.” (H.R Ibnu Majah dan Imam Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh al Albani).

Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam (556).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar