Senin, 11 Mei 2015

TINGKATAN MANUSIA MENERIMA MUSIBAH



TINGKATAN MANUSIA MENERIMA MUSIBAH

Oleh : Azwir B. Chaniago

Sungguh ujian berupa musibah penderitaan, penyakit dan yang lainnya akan senantiasa mengiringi gerak kehidupan manusia. Ujian itu bisa datang pada diri, harta, keluarga dan yang lainnya. Semua itu akan senantiasa dirasakan manusia  supaya penghambaan manusia kepada Allah benar benar terwujud.  Itu adalah sunatullah, ketetapan Allah yang pasti terjadi dan berlaku pada setiap diri hambaNya.

Banyak ayat al Qur an dan as Sunnah yang  telah menjelaskan tentang hal ini, diantaranya adalah : Allah berfirman : “Ahasiban naasu an yutrakuu an yaquuluu aamannaa wa hum laa yuftanuun”  Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan dengan hanya mengatakan : “Kami telah beriman”, dan mereka tidak diuji ?  (Q.S al Ankabuut 2)

Rasulullah bersabda :  “Matsalul mu’mini kamatsaliz zar’i, laatazaalur riihu tamiiluhu, walaa yazaalul mu’minu yushiibuhul bala’. Perumpamaan seorang mu’min tak ubahnya seperti tanaman, angin akan selalu meniupnya, ia akan selalu mendapat cobaan (H.R Imam Muslim).

Dalam menerima musibah, manusia berada pada beberapa keadaan atau tingkatan.  Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin menjelaskan tentang hal ini :

Tingkatan pertama : Manusia yang mengerutu, mendongkol,  tidak mau menerima. Ini direfleksikan dengan hati yang tidak menerima, dengan lisannya berupa umpatan dan dengan anggota badan seperti menampar nampar pipi sendiri, merobek robek baju dan yang lainnya. Semua ini haram hukumnya karena menafikan kewajiban dan perintah bersabar.

Tingkatan kedua : Bersabar atas musibah. Hal ini seperti ungkapan seorang penyair : “Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya. Akan tetapi hasilnya lebih manis daripada madu”.
Manusia dalam tingkatan ini beranggapan bahwa musibah tersebut sebenarnya berat baginya akan tetapi dia kuat menanggungnya. Dia tidak suka musibah itu terjadi tetapi iman yang ada di hatinya menjaganya dari menggerutu. Terjadi musibah atau tidak terjadinya musibah tidak sama baginya. Perbuatan atau sikap seperti itu wajib hukumnya karena Allah Ta’ala memerintahkan untuk bersabar sebagaimana dalam firman-Nya : Washbiruu, innallaha ma’ash shaabiriin” Dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah bersama orang orang yang sabar. (Q.S al Anfal 46).

Tingkatan ketiga : Ridha terhadapnya seperti keridhaan seseorang terhadap musibah yang dialaminya dimana baginya sama saja, ada dan tidak musibah tersebut. Adanya musibah tidak membuatnya sesak dan tidak (merasa) berat menanggungnya.  Sikap seperti ini dianjurkan tapi bukan suatu kewajiban menurut pendapat yang raajih.  
  
Perbedaan antara tingkatan ini dan tingkatan kedua diatas amat jelas. Sebab dalam tingkatan ketiga ini ada dan tidak adanya musibah sama saja bagi orang yang mengalaminya sementara pada tingkatan kedua adanya musibah dirasakan sulit baginya tetapi dia bersabar.

Tingkatan keempat : Bersyukur terhadap musibah. Ini merupakan tingkatan paling tinggi. Hal ini dilazimkan oleh orang yang mengalaminya dengan bersyukur kepada Allah Ta’ala atas musibah apa saja yang dialami. 

Dalam hal ini dia mengetahui bahwa musibah ini merupakan sebab atau sarana untuk menghapus semua keburukannya (dosa dosa kecilnya) dan barangkali bisa menambah kebaikannya. Rasulullah bersabda : “Maa min mushiibatin tushiibul muslima illa kaffarallahu bihaa ‘anhu hattasy syaukati yusyaakuhaa” Tiada suatu musibah pun yang menimpa seorang muslim, melainkan dengannya Allah hapuskan (dosa dosa kecil) darinya sampai sampai sebatang duri pun yang menusuknya. (H.R Imam Bukhari no. 5640 dan Imam Muslim no. 2572).  
  
Mudah mudahan bermanfaat. Wallahu A’lam.  (307)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar