Jumat, 01 Mei 2015

FATWA SYAIKH UTSAIMIN TENTANG ROKOK



FATWA SYAIKH UTSAIMIN  TENTANG MEROKOK

Oleh : Azwir B. Chaniago

Muqaddimah.
Rokok dan merokok adalah salah satu ajang polemik di masyarakat. Polemiknya berkisar antara manfaat dan mudharat. Yang tidak kurang serunya adalah perdebatan tentang hukumnya, mubah, makruh atau haram. Tapi tentang keburukan merokok hampir tidak ada khilaf. Semua ijma’ atau bersepakat bahwa merokok adalah sesuatu yang tidak baik. 

Seorang perokok berat tidak akan pernah merasa bangga jika anak-anak atau orang-orang yang mereka sayangi telah berhasil meniru bahkan melebihi kehebatannya dalam merokok. Ini adalah salah satu indikasi bahwa merokok itu memang tidak baik tetapi sesuatu yang buruk dan sangatlah pantas untuk dihindari.

Laksamana Pertama, Bapak Drs. Bachrum Rangkuti (alm.) seorang da’i dari Bintal TNI AL, eks Sekjen Depag, pernah menyampaikan hasil penelitian beliau bahwa perokok kaliber awam sampai perokok kaliber kiyai nyaris tidak ada yang mulai merokok dengan membaca basmalah. Kata beliau ini adalah satu indikasi bahwa merokok adalah suatu perbuatan yang sangat tidak baik. 

Asal muasal rokok 
Rokok adalah gulungan kertas (berbentuk silinder) dengan ukuran 0,7 – 1,2 cm berisi terutama daun tembakau yang telah dicacah. Menurut sejarah, yang pertama-tama memakai atau menggunakan rokok adalah suku Indian Amerika. Tujuannya adalah untuk ritual memuja dewa-dewa dan roh.

Pada abad ke 15 M, orang-orang Eropa terutama Portugis dan Spanyol menemukan benua Amerika. Disitu mereka melihat penduduk asli merokok. Lalu sebagian penjelajah itu mencoba mengisap rokok dan membawa tembakau ke Eropa.   Lalu timbullah kebiasaan merokok di Eropa yang awalnya pada kalangan bangsawan. Tujuannya  merokok bukan ritual atau pemujaan dewa tapi untuk kesenangan dan kebanggaan saja. Tapi akhirnya menjadi kebutuhan bahkan ada yang menjadi ketergantungan.

Jadi dari segi asal-usulnya, rokok memang sudah bermasalah jika ditilik  dengan kacamata syar’i, yaitu awalnya untuk ritual  penyembahan dewa dan roh sesuai kepercayaan suku Indian yang paganis.

Komentar beberapa perokok.
Penulis sempat mencatat beberapa komentar komentar perokok jika dinasehati oleh temannya. Diantaranya adalah :

Pertama : Rokok itukan dari dulu hukumnya mubah saja, paling tinggi hukumnya makruh. Kalian jangan sembarangan meningkatkan hukum merokok jadi haram.

Kedua : Bagaimana dikatakan haram, wong Pak Kiyai saja banyak yang merokok.

Ketiga : Mana dalil dari al Qur an yang mengharamkan rokok.

Keempat : Kalian tahu nggak, anak saya dokter spesialis jantung tapi tidak pernah melarang saya merokok. 

Kelima : Jika dinasehati untuk berhenti merokok lalu dijawab : Jangan mengurus urusan orang. Lalu disambung lagi dengan menyebut ayat al Qur an : “Lakum diinukum waliadiin”.  Untukmu agamu dan untukku agamaku (Q.S al Kaafiruun 6). Ini tidak naymbung dan  ketahuilah bahwa ini ayat  peringatan untuk orang kafir. Bukan untuk orang Islam.  

Hukum merokok dalam timbangan syar’i
Sungguh Allah telah memberikan petunjuk  jika kita tidak tahu bertanyalah kepada yang berilmu. Janganlah mereka-reka sesuatu dalam syari’at kecuali dengan ilmu yaitu al Qur an dan as Sunnah dengan pemahaman salafus shalih. Allah berfirman : “Fas’aluu ahladz dzikri in kuntum laa ta’lamuun” Maka bertanyalah kepada orang orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui. (Q.S al Anbiyaa 7).

Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin pernah ditanya tentang hukum merokok dalam timbangan syari’at. Beliau memberikan jawaban : Merokok haram hukumnya berdasarkan makna yang terindikasi dari zhahir ayat al Qur an dan as Sunnah serta i’tibar (logika yang benar). Lebih lanjut beliau menjelaskan :

Pertama : Dalil dari al Qur an.
Allah berfirman : “Walaa tulquu biaidiikum ilal tahlukah” Dan janganlah kamu mencampakkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. (Q.S al Baqarah 195).
Maknanya, janganlah kamu melakukan sebab yang menjadi kebinasaan (bagi diri) mu. Wajhud dilalah atau aspek pendalilan dari ayat tersebut adalah bahwa merokok termasuk perbuatan mencampakkan diri sendiri ke dalam kebinasaan.

Kedua : Dalil dari as Sunnah.
Sedangkan dalil dari as Sunnah adalah hadits yang berasal Rasulullah secara shahih bahwa beliau melarang menyia nyiakan harta. Makna menyia nyiakan harta adalah mengalokasikannya kepada hal yang tidak bermanfaat. Sebagaimana dimaklumi bahwa mengalokasikan harta untuk membeli rokok adalah termasuk pengalokasiannya kepada hal yang tidak bermanfaat bahkan dalam hal ini adalah menggunakan harta untuk sesuatu yang didalamnya terdapat kemudharatan.

Dalil dari as Sunnah selanjutnya adalah sebagaimana sabda Rasulullah : “Laa dharara wa laa dhiraara”  Tidak boleh (menimbulkan) bahaya (bagi diri sendiri) dan juga tidak boleh membahayakan (orang lain) H.R Ibnu Majah.

Jadi, menimbulkan bahaya (dharar) adalah ditiadakan (tidak berlaku, tidak diperkenankan) dalam syari’at, baik bahayanya terhadap badan, akal ataupun harta. Sebagaimana dimaklumi pula, bahwa merokok adalah berbahaya terhadap badan dan harta.  
  
Ketiga : Dalil dari i’tibar atau logika yang benar.
Dalil i’tbar yang menunjukkan keharaman merokok adalah karena ( dengan perbuatannya itu) si perokok mencampakkan dirinya sendiri ke dalam hal yang menimbulkan bahaya, rasa cemas dan keletihan jiwa. Orang yang berakal tentunya tidak rela hal itu terjadi terhadap dirinya.

Alangkah tragisnya kondisi dan demikian sesak dada si perokok bila dirinya tidak bisa menghisapnya. Alangkah berat dirinya berpuasa dan melakukan ibadah ibadah lainnya karena hal itu telah menghalangi dirinya dari merokok. 

Bahkan alangkah berat dirinya berinteraksi dengan orang orang shalih karena tidak mungkin  mereka membiarkan asap rokok mengepul di hadapannya. Anda akan melihat diri si perokok demikian tidak nyaman bila duduk bersama  dan berinteraksi dengan orang orang shalih. Semua i’tibar tersebut menunjukkan bahwa merokok adalah diharamkan hukumnya.

Syaikh melanjutkan, nasehat saya buat saudaraku kaum muslimin yang didera oleh kebiasaan merokoknya agar memohon pertolongan kepada Allah dan mengikat tekad untuk meninggalkannya. Didalam tekad yang tulus disertai dengan memohon pertolongan kepada Allah serta mengharap pahala-Nya  dan menghindari siksa-Nya, semua itu adalah sangat membantu didalam upaya meninggalkan kebiasaan merokok.

Jika ada yang berkilah, sesungguhnya kami tidak menemukan nash, baik dalam Kitabullah ataupun Sunnah Rasul-Nya perihal haramnya rokok itu sendiri. Jawaban atas statement ini adalah bahwa nash nash Kitabullah dan as Sunnah  terdiri dari dua jenis yaitu :

Pertama : Satu jenis adalah yang dalil dalilnya bersifat umum seperti adh dhawabith (ketentuan ketentuan) dan kaidah kaidah dimana mencakup rincian yang banyak sekali hingga hari Kiamat. Contohnya adalah surat al Baqarah 195  dan dua hadits yang telah kami sebutkan diatas yang menunjukkan secara umum keharaman merokok sekalipun tidak secara langsung diarahkan kepadanya.  
  
Kedua : Satu jenis lagi yang dalilnya memang diarahkan kepada sesuatu itu sendiri secara langsung. Diantara contohnya adalah firman Allah : “Hurrimat ‘alaikumul maitatu waddamu, wa lahmul khindziri wa maa uhilla lighairillahi bihi” Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah. (Q.S al Maidah 3).

Dan juga firman-Nya : “Ya aiyuhal ladziina aamanuu innamal khamru wal maisiru wal anshaabu wal azlaamu rijsun min ‘amalisy syaithaani fajtanibuuhu” Wahai orang orang yang beriman sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan perbuatan itu. (Q.S al Maidah 90).
Jadi, baik nash nash tersebut termasuk ke dalam jenis pertama atau jenis kedua maka ia bersifat keniscayaan atau keharusan bagi semua hamba Allah karena dari sisi pendalilan mengindikasikan hal itu. (Program Nur ‘Alad Darb, Syaikh Utsaimin).

Semoga ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam.    (292)    


Tidak ada komentar:

Posting Komentar