Sabtu, 16 Mei 2015

BERFATWA DENGAN ILMU



BERFATWA WAJIB DENGAN ILMU

Oleh : Azwir B. Chaniago

Dalam beberapa  kajian yang kita ikuti, sangatlah jarang  seorang ustadz menjawab  tidak tahu  terhadap pertanyaan pertanyaan dari jamaah. Semua pertanyaan jamaah dijawabnya. Pada hal jika memang tidak tahu secara persis adalah sangat baik untuk dijawab dengan jawaban tidak tahu. Menjawab tidak tahu bukanlah suatu yang buruk tapi ini adalah dalam rangka menghormati dan menjaga syariat ini agar tetap lurus.
Sungguh tidaklah dianjurkan untuk berfatwa bagi orang orang yang ilmunya masih sangat sedikit  atau mungkin ilmunya luas tetapi tidak menguasai tentang bidang ilmu yang ditanyakan. 

Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin, memberikan penjelasan terhadap hal ini, sebagai berikut :

Pertama : Kepada yang bertanya (peminta fatwa).
Tidak boleh meminta fatwa, baik kepada perempuan ataupun laki laki, kecuali yang diduga (kuat) berkompeten untuk memberikan fatwa yaitu yang dikenal keilmuannya, karena ini adalah perkara agama. Dan agama harus dijaga.  Jika seseorang bepergian ke suatu negeri, hendaknya tidak   menanyakan jalannya kepada sembarang orang. Dia harus mencari orang yang bisa menunjukkan yaitu yang (memang) mengetahuinya.
Demikian juga jalan menuju Allah yaitu syariat-Nya, hendaknya tidak meminta fatwa dalam perkara syariat kecuali kepada orang yang diketahuinya atau diduganya berkemampuan untuk memberikan fatwa.

Kedua : Kepada yang ditanya (pemberi fatwa)
Tidak boleh memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman : “Katakanlah, Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembuyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui” (Q.S  al A’raf 33).

Allah menyebutkan perbuatan mempersekutukan Allah pada pembicaraan, dalam hal ini yang tidak didasari ilmu. Dalam ayat lain disebutkan : Fa man azhlamu minmaniftaraa ‘alallahi kadziban li yudillan naasa bighairi ‘ilmin, innallaha laa yahdil qaumazh zhaalimiin” Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang orang yang membuat buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa ilmu. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang orang yang zhalim. (Q.S an An’am 144).

Dan telah diriwayatkan dari Nabi Salallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda : “Man kadzaba ‘alaiya muta’ammidan fal yatabauwa’  maq’adahu minan naar” Barangsiapa yang berdusta dengan mengatas namakan diriku, maka hendaklah ia bersiap siap menempati tempat duduknya di neraka. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Maka hendaklah orang yang ditanya tidak begitu saja memberikan jawabannya kecuali berdasarkan ilmu. Mengetahui masalahnya, baik itu dari dirinya sendiri jika ia memang mampu mengkaji dan menimbang dalil dalilnya atau dari orang ‘alim yang dipercayainya. Karena ini adalah perkara agama.

 Pemberi fatwa itu adalah yang memberi tahu tentang agama Allah dan tentang hukum Allah serta syariat syariat-Nya, maka hendaknya ia sangat berhati hati.  
 (Dari Dalilut Thalibah al Mu’minah)  

 Insya Allah bermanfaat bagi kita semua. Wallahu A’lam  (315)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar