Kamis, 07 Mei 2015

JANGAN BERFATWA TANPA ILMU



JANGAN BERFATWA TANPA ILMU

Oleh : Azwir B. Chaniago

Ada seorang penuntut ilmu mengatakan bahwa dia sering ditanya dalam berbagai perkara tentang ibadah atau yang lainnya. Saya tahu jawabannya karena saya pernah mendengar dari orang orang berilmu. Cuma saja saya kesulitan untuk menemukan dalilnya yang shahih dan kesulitan dalam mentarjihnya. Penuntut ilmu ini bertanya apa saran Syaikh untuk hal ini.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, bekas Mufti Kerajaan Saudi Arabia (wafat tahun 1999 M) memberikan jawaban sebagai berikut :

Pertama : Jangan memberi fatwa kecuali berdasarkan ilmu. Alihkan mereka (untuk mendapat jawaban)  kepada selain anda yaitu kepada yang anda perkirakan lebih baik dari anda dan mengetahui al haq.
Jika tidak maka katakanlah : Beri saya waktu untuk mengkaji dalil dalilnya dan menganalisa masalahnya. Setelah anda merasa mantap dengan kebenaran dalil dalilnya, barulah anda beri mereka fatwa yang anda pandang benar (berdasar dalil yang ada).   
  
Kedua : Saya juga sarankan kepada para pengajar sehubungan dengan pertanyaan ini dan yang lainnya. Hendaknya para pengajar peduli dengan membimbing para mahasiswa dalam masalah yang besar ini. Mengarahkan mahasiswa untuk jeli dalam berbagai perkara dan tidak terburu buru memberi fatwa serta tidak memastikan suatu perkara kecuali dengan ilmu.

Hendaknya para pengajar menjadi teladan bagi mereka dalam sikap tawaqquf (diam, tidak berkomentar) dalam masalah yang sulit dan janji untuk mengkajinya dalam satu atau dua hari atau pada waktu pelajaran berikutnya. Dengan begitu para mahasiswa terbiasa dari ustadznya dengan sikap tidak tergesa gesa memberi fatwa dan menetapkan hukum, kecuali setelah memastikan dan menganalisa dalilnya serta merasa mantap bahwa yang benar adalah yang diucapkan ustadznya. 
 
Tidak ada salahnya untuk menangguhkan pada waktu lain sehingga punya kesempatan untuk mengkaji dalilnya dan menganalisa ucapan ucapan para ahlul ilmi dalam masalah yang bersangkutan.   

Ketiga : Imam Malik bin Anas, beliau hanya memberi fatwa tentang sedikit permasalahan dan menolak banyak pertanyaan. Beliau mengatakan : Saya tidak tahu. Demikian juga para ulama yang lainnya.

Keempat : Diantara etika seorang penuntut ilmu adalah tidak tergesa gesa (memberikan jawaban). Dan hendaknya mengatakan : Saya tidak tahu tentang masalah yang memang tidak diketahuinya. 

Kelima : Sementara itu para pengajar, mereka mempunyai kewajiban yang besar yaitu menjadi teladan yang baik bagi para muridnya baik dalam segi akhlak maupun perbuatan. Diantara akhlak yang mulia adalah membiasakan murid mengatakan : Saya tidak tahu dan menagguhkan jawaban pertanyaan hingga memahami dalilnya dan mengetahui hukumnya yang disertai kewaspadaan memberi fatwa tanpa ilmu dan menggampangkannya. Wallahu A’lam.

Demikian jawaban dan nasehat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz yang dimuat dalam majalah Al Buhuts al Islamiyah edisi nomor 47)

Jadi janganlah sembarang menjawab pertanyaan tentang agama ini. Ketahuilah bahwa jika anda menjawab suatu pertanyaan tentang syariat maka itu dianggap anda telah berfatwa. Memang saat ini terkadang kita melihat banyak orang yang berani  memberikan jawaban  semua pertanyaan yang diajukan kepadanya. Hal ini tentu tidak sepenuhnya salah apabila dia memang benar benar mengetahui al haq.  Jika tidak tahu lebih baik dijawab saya tidak tahu demi menjaga diri untuk mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya secara shahih.

Sungguh Allah Ta’ala berfirman :    “Walaa taqfu maa laisa laka bihii ‘ilmun. Innas sam’a wal bashara wal  fu-aada kullu ulaa-ika kaana ‘anhu mas-uulaa. Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kami ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati nurani , semua itu akan diminta pertanggung jawabannya. (Q.S al Isra 36).
 
Syaikh as Sa’di berkata : Maksudnya janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu ketahui. Namun, telitilah setiap apa yang hendak kamu katakan dan kerjakan. Janganlah pernah sekali kali menyangka semua itu akan pergi tanpa memberi manfaat bagimu dan (bahkan bisa juga) mencelakakanmu.

Sudah sepantasnya seorang hamba yang mengetahui bahwasanya dia akan diminta pertanggung jawaban tentang segala yang telah dia katakan dan kerjakan serta (cara) pemanfaatan anggota  badan yang telah Allah Ta’ala ciptakan untuk beribadah kepada-Nya, untuk mempersiapkan jawaban atas pertanyaan pertanyaan yang akan diajukan. (Lihat Kitab Tafsir Kariimir Rahman, Syaikh Abdurrahman  bin Nashir as Sa’di).

Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semua khususnya kepada para juru dakwah tingkat pemula dan para penuntut ilmu syariat.

Wallahu A’lam. (299)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar