Selasa, 12 Mei 2015

PERBAIKAN DIMULAI DARI DIRI SENDIRI



PERBAIKAN HARUS DIMULAI DARI DIRI SENDIRI

Oleh : Azwir B. Chaniago

Muqaddimah.
Kerusakan yang terjadi di masyarakat kita kelihatannya semakin hari  semakin bertambah. Pertambahan itu adalah berupa jumlahnya maupun bentuk dan jenisnya. Perhatikanlah bagaimana kerusakan dibidang akidah dengan merajalelanya kesyirikan, perdukunan dan peramalan. 

Perhatikanlah pula bagaimana kerusakan dibidang ibadah. Kita menyaksikan ada sebagian manusia sekarang ini  beribadah dengan cara cara baru dan tidak dicontohkan atau diajarkan oleh Rasulullah. Dalam berakhlak dan bermuamalah, kita saksikan pula  bahwa sebagian manusia sudah semakin tidak berminat untuk berlaku baik terhadap sesama. Bahkan semakin banyak pula kita menyaksikan seseorang menzhalimi saudaranya sesama muslim yang terkadang hanya untuk keuntungan duniawi yang tidak seberapa. 

Seorang yang beriman, jika tidak teguh memegang syariat Islam maka lambat laun bisa terbawa oleh pengaruh buruk ini.  Barangkali inilah  yang disebut sebagai fitnah atau ujian di akhir zaman. Tanpa pertolongan Allah Ta’ala maka tidaklah mungkin kita bisa menghindar sama sekali dari keadaan yang rusak ini. 

Ditambah lagi dengan kemajuan teknologi yang bisa menjadi sumber dan jalan untuk  kemaksiatan yang  dengan mudah masuk kedalam rumah kita melalui berbagai media dan peralatan komunikasi. Semua bisa berdampak buruk jika  tidak dimanfaatkan secara bijak dan dengan landasan iman yang kuat.

Kewajiban mencengah kerusakan akibat kemungkaran.

Sungguh Allah memuji umat Islam karena menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Allah berfirman : ”Kuntum khaira ummatin ukhrijat linnaasi takmuruuna bil ma’ruufi wa tanhauna ’anil munkari wa tukminuuna billahi”. Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.  (Q.S Ali Imran 110).

Syaikh as Sa’di berkata : (Kamu adalah umat terbaik) adalah keutamaan yang diberikan kepada umat Muhammad dengan sebab tersebut  (yaitu menyuruh kepada yang makruf dan mencegah yang mungkar) menjadikan mereka istimewa  karenanya dan mereka unggul di atas seluruh umat. Mereka  adalah sebaik baik manusia untuk manusia  dalam nasihat menasihati dan cinta kepada kebaikan, dakwah, pengajaran, bimbingan, perintah kepada kebaikan dan melarang kemungkaran. Mereka menyatukan kesempurnaan akhlak dan usaha dalam memberikan manfaat kepada manusia sesuai dengan kemampuan, dan antara penyempurnaan jiwa dengan beriman kepada Allah serta menunaikan segala hak hak keimanan. (Kitab Tafsir Kariimur Rahman)

Rasulullah Salallahu ’alaihi wassallam bersabda : ”Man ra-aa minkum munkaran fal yughaiyir-hu biyadihi, fain lam yasthati’ fa bilisaanihi fain lam yasthati’ fa biqalbihi wa dzaalika adh’aful iimaan” Barang siapa diantara kalian melihat suatu kemungkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak bisa maka dengan lisannya dan jika tidak bisa juga maka dengan hatinya dan itulah selemah lemahnya iman. (H.R. Muslim).

Jika kita perhatikan hadits di atas, maka setiap kita  diwajibkan untuk melakukan perbaikan dan mencegah kemungkaran sesuai dengan kekuatan, ilmu dan kemampuan yang kita miliki.

Diantara ulama menjelaskan bahwa untuk mencegah kemungkaran atau kerusakan berkaitan dengan hadits diatas adalah dengan tahapan sebagai berikut:

Pertama : Dengan kekuatan, ini adalah tugas penguasa yang mempunyai wewenang.

Kedua : Dengan lisan, ini adalah tugas ulama atau orang yang berilmu dengan memberikan peringatan atau nasihat.

Ketiga : Dengan hati dan doa, ini adalah tugas dan bisa dilakukan orang awam.

Dalam mencegah kemungkaran maka para ulama mengajarkan pula kepada kita beberapa cara yang bermanfaat, diantaranya :

Pertama : Dengan ilmu, yaitu untuk memastikan apakah sesuatu itu betul-betul bisa disebut kemungkaran, dalam timbangan syar’i, sehingga memang perlu dicegah atau diingkari.
 
Jangan sembarang memberi nasehat untuk perbaikan apalagi menyalahkan. Bisa jadi nasehat kita salah bila ditimbang dengan dalil syar’i. Jadi haruslah berilmu dulu sebelum berkata, sebelum berbuat apalagi dalam beramar makruf dan mencegah kemungkaran. Tidak cukup dengan niat baik saja.

Allah berfirman : “Walaa taqfu maa laisa laka bihii ‘ilmun. Innas sam’a wal bashara wal  fu-aada kullu ulaa-ika kaana ‘anhu mas-uulaa. Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kami ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati nurani , semua itu akan diminta pertanggung jawabannya. (Q.al Isra 36)

Kedua : Dengan lemah lembut agar lebih bisa diterima dan tidak menimbulkan kemudharatan yang lebih besar.  Rasulullah bersabda : “Innar rifqa laa yakuunuu fi syai-in illa zanalu walaa yunza’u min syai’in illah syanah”  Sesungguhnya lemah lembut itu tidaklah ada pada sesuatu kecuali menghiasinya dan tidaklah dia dicabut dari sesuatu itu kecuali akan memburukkannya. (H.R Imam Muslim)

Rasulullah juga bersabda : “ Innallaha yuhibbu rifqa fil amri kullih”  Sesungguhnya Allah mencintai lemah lembut dalam segala perkara. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh seorang ulama besar Saudi, dalam kitab beliau tentang bagaimana menyikapi fitnah, berkata : Maka wajib bagi kalian untuk berlemah lembut atau berhati hati. Jangan cepat marah atau berlaku kasar. Kalian tidak akan menyesal selama lamanya bila berlemah lembut.

 Ketiga : Dengan sabar, dalam arti tidak putus asa dan dilakukan secara terus menerus. Jangan bosan memberi nasehat untuk perbaikan apalagi putus asa. Apakah nasehat untuk perbaikan yang kita sampaikan diterima dan diamalkan, jangan terlalu dipermasalahkan. Allah berfirman : “Wa dzakkir fainna dzikraa tanfa’ul mu’miniin” Dan tetaplah (terus menerus) memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang orang yang beriman. (Q.S adz Dzaariyaat 55).  
Dari mana perbaikan terhadap kerusakan harus dimulai.

Perbaikan bisa di mulai dengan empat tahap secara berjenjang antara lain sebagai berikut:

Pertama :  Mulailah dari diri sendiri
Perbaikan haruslah dimulai dari diri sendiri sebelum yang memperbaiki yang lainnya. Orang bijak berkata : Air yang kotor tidak bisa membersihkan barang yang kotor. Orang yang tidak bisa berenang tidak bisa menyelamatkan orang yang tenggelam.

Perhatikanlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memberikan peringatan kepada orang yang menyuruh seseorang berbuat baik. ”Atakmurunan naasa bil birri wa tansauna anfusakum wa antum tatluunal kitaab, afalaa ta’qiluun” Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab, maka tidakkah kamu berfikir (Q.S. Al-Baqarah: 44).

Ayat ini secara tekstual ditujukan kepada Bani Israil, namun yang dimaksud bukan untuk mereka semata, tetapi ditujukan secara umum baik kepada mereka maupun selain mereka.  (Kitab Tafsir Ibnu Katsir).

Memulai perbaikan dari diri sendiri wajib untuk diutamakan bahkan dalam berdoa pun kita diajarkan untuk diri sendiri dulu baru mendoakan yang diluar diri kita.
Kedua : Keluarga paling dekat

Setelah seorang hamba bersungguh sungguh memperbaiki diri, maka selanjutnya dia berkewajiban memperbaiki  keluarganya yang  paling dekat. Yang dimaksud adalah istri dan anak.

Allah berfirman: Ya aiyuhalladziina aamanuu quu anfusakum wa ahliikum naaraa wa quuduhan naasu wa hijaaratu, ’alaihaa malaaikatun ghilaazhun syidaadun laa ya’shuunallaha maa amrahum wa yaf’aluuna maa yukmaruun”    Wahai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang di perintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang di perintahkan”(QS. At Tahrim 6).

Imam Ibnu Katsir, dalam kitab tafsirnya menukil perkataan Qathadah tentang makna  ayat ini, yaitu : Hendaklah engkau menyuruh mereka berbuat taat kepada Allah dan mencegah mereka durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menjalankan perintah Allah kepada mereka dan perintahkan mereka untuk menjalankannya. Jika engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, maka peringatkan dan cegah mereka.

Ada pertanyaan mana yang lebih utama atau prioritas untuk diperbaiki apakah istri dan kemudian baru anak. Dalam kondisi umum, bisa dilakukan sejalan namun memperhatikan keterangan yang akan disebutkan di bawah ini, maka prioritas utama untuk diperbaiki dan  diajarkan  kebaikan setelah diri sendiri, adalah anak

(1) Anak harus diajar dan dididik terutama untuk takut dan taat kepada Allah.   Ini adalah kewajiban orang tua. Istri, sebenarnya dia sudah tahu yang baik, untuk taat kepada Allah karena seyogyanya sudah diajarkan oleh orang tuanya sejak kecil sampai sebelum dia menikah.   Suaminya berkewajiban mengingatkan, meskipun dalam kondisi tertentu perlu diajarkan disamping diingatkan.

 (2) Anak yang shaleh dan shalehah adalah investasi yang sangat agung. Sebagaimana dijelaskan dalam suatu hadits yang maknanya, bahwa doa anak yang shaleh akan terus mengalir kepada orang tuanya, meskipun dia sudah meninggal dunia. 

(3) Dalam kisa Nabi Nuh disebutkan bahwa dia memanggil anaknya untuk kembali kepadanya dan tidak mengikuti orang-orang kafir. Allah berfirman : Dan berlayarlah bahtera itu untuk membawa mereka mengarungi gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya yang terpisah dari dia. Wahai anakku, naiklah kekapal bersama kami dan janganlah kamu bersama orang-orang kafir” (QS. Huud: 42). 

(4) Nabi Ibrahim, berdoa untuk anak-anak keturunannya sebagaimana disebutkan dalam firman Allah : ”Rabbij’alnii muqimash shalaati wa min dzurriyatii, rabbanaa taqabbal du’aa’”  Ya Rabbku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan shalat, ya Rabbku perkenankanlah doaku. (QS. Ibrahim: 40).
(5)Rasulullah Salallahu ’alaihi wassalam, bersabda: ”Maa min mauluudin illaa yuladu ’alal fithrah, fa abawaahu yuhawwidaanihi wa yunashshiranihi wa yumajjisaanih”. Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang Majusi. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Dalam hadits ini terdapat kewajiban yang besar bagi orang tua mendidik anak-anak agar tidak terjerumus menjadi Yahudi, Nasrani, dan Majusi. 

(6) Imam Ibnul Qayyim, berkata: Allah akan meminta terlebih dahulu pertanggung jawaban kewajiban orang tua terhadap anaknya, sebelum pertanggung jawaban kewajiban anak terhadap orang tuanya.

Ketiga : Keluarga dekat
Setelah memperbaiki diri sendiri, kemudian keluarga paling dekat yaitu istri dan  anak, maka perlu diusahakan memperbaiki keluarga dekat. Keluarga dekat adalah seperti kakak, adik, paman, keponakan dan yang lainnya.

Untuk keluarga dekat ini minimal kita harus berusaha mengingatkan dan menasehati kalau dia berbuat kerusakan atau kemungkaran.Tehadap keluarga dekat ini tidak ada kewajiban kita mendidik dan mengajarnya seperti terhadap anak, meskipun dalam kondisi tertentu ada baiknya dilakukan. Allah berfirman : ”Wa andzir ’asyiiratakal aqrabiin” Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat” (QS. Asy Syu’ara: 214).

Kalau ada keluarga dekat yang perlu diingatkan dan diberi nasihat, maka sangatlah baik jika  diingatkan dan dinasehati. Kita tidak akan diminta pertanggung jawaban kalau mereka tidak mau diingatkan atau tidak mengindahkan nasihat yang baik.

Keempat : Masyarakat dan orang sekitar
Perbaikan juga perlu dilakukan terhadap masyarakat sekitar ataupun masyarakat umumnya. Namun ini hanya sebatas menyeru dan tidak memaksa

Allah berfirman : ”Waltakun minkum ummatun yad’uuna ilal khairi wa yakmuruuna bil ma’ruufi wa yanhauna ’anil munkari, wa ulaaika humul muflihuun”   Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar. Dan itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran: 104). 

Kalau sudah diseru, belum ada hasil maka bersabarlah dan jangan  berputus asa. Cari kesempatan pada waktu yang lain untuk menyeru lagi kepada kebaikan. Allah berfirman : ”Wa dzakkir fainnadz dzikra tanfa’ul mu’miniin” Dan tetaplah (teruslah) memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang orang mukmin. (Q.S adz Dzaariat 55).  

Penutup
Setiap diri haruslah berusaha untuk memperbaiki keadaan atau kerusakan yang ada di tengah masyarakat. Namun upaya perbaikan perlu dilakukan secara berjenjang dan dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu, keluarga paling dekat, keluarga dekat, dan masyarakat sekitar serta masyarakat umumnya. Adapun sasaran perbaikan  adalah dalam hal aqidah, ibadah, akhlak dan muamalah.

Sekiranya setiap diri dan setiap keluarga sudah menjadi baik maka berarti masyarakat luas sudah menjadi baik pula. Insya Allah.

Mudah mudahan bermanfaat bagi kita semua. Wallahu A’lam. (310)




































































Mudah mudahan bermanfaat bagi kita semua. Wallahu A’lam





Tidak ada komentar:

Posting Komentar