Senin, 30 Mei 2016

HADITS DHA'IF DAN MAUDHU TENTANG RAMADHAN



 HADITS DHA’IF DAN MAUDHU’ TENTANG RAMADHAN

Oleh : Azwir B. Chaniago

Beberapa waktu menjelang  Ramadhan atau pada bulan Ramadhan sering kali kita mendengarkan  hadits hadits dha’if (lemah), dha’if jiddan (lemah sekali) bahkan ada juga yang maudhu’ (palsu) ataupun laa ashlalahu (tidak jelas asal usulnya).

Hadits hadits yang demikian biasanya dibawakan oleh beberapa guru kita dalam ceramah atau kajian tentang ramadhan dan keutamaannya. Kita berprasangka baik, karena (1)  Barangkali tujuannya untuk memotivasi jamaah agar lebih bersemangat dalam beribadah dalam bulan Ramadhan. (2) Mungkin juga, ustadz ini karena  kesibukannya sehingga belum sempat meneliti derajat hadits yang dibawakannya. (3) Bisa jadi juga itu hadits diterima dari guru yang  dikaguminya dan sangat dipercaya sehingga dia tidak lagi berusaha  mencari kejelasan bagaimana kedudukan hadits yang dibawakannya.

Seharusnya, seseorang yang akan membawakan apalagi mendakwahkan suatu hadits harus mencari tahu dulu kedudukan atau derajat hadits itu sebelum didakwahkan. Dalam hal ini paling tidak ada tiga hal yang  patut kita khawatirkan :

Pertama : Jika seseorang belum mengetahui kedudukan suatu hadits lalu di dakwahkan kepada orang lain maka ini suatu yang tercela. Bukankah semua yang kita ucapkan dan kita lakukan harus dipertanggung jawabkan dihadapan Allah Ta’ala. Perhatikanlah firman-Nya : 

Wa laa taqfu maa laisa laka bihii ‘ilmun, innas sam’a wal bashara wal fu-aada kullu ulaa-ika kaanaa ‘anhu mas-uulaa”. Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggung jawabannya.  (Q.S al Isra’ 36).

Kedua : Jika seseorang belum mengetahui kedudukan suatu hadits maka sangatlah terpuji jika dia mencari tahu kepada yang lebih ‘alim sebelum mendakwahkan. Allah berfirman :  “Fas’aluu ahladz dzikri inkuntum laa ta’lamuun” Maka bertanyalah kepada orang orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui. (Q.S al Anbiyaa 7).

Selanjutnya jikalau seseorang belum mengetahui kedudukan suatu hadits lalu didakwahkan dan ternyata derajat hadits itu tidak shahih maka sekiranya diamalkan oleh yang mendengarkan bisa jadi menyesatkan.

Ketiga : Jika seseorang sudah mengetahui kedudukan suatu hadits itu dhaif  ataupun maudhu’  lalu disampaikan kepada orang banyak tanpa menjelaskan derajat hadits maka ini suatu yang lebih tercela lagi.  Rasulullah telah mengingatkan dalam sabda beliau dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda : “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia mempersiapkan tempatnya di neraka. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).   

Kalau kita perhatikan memang ada  beberapa hadits yang tidak shahih tentang shiyam dan Ramadhan, diantaranya adalah :

Pertama : Tidur orang berpuasa ibadah
Keterangan ini disandarkan pada sebuah hadits yang cukup masyhur yaitu : “Shamtush shaa-imi tasbiihun. Wa nuumuhu ‘ibaadatun, wa du‘aa-uhu mustajabun, wa ‘amaluhu mudhaa-‘afun” Diamnya orang yang berpuasa adalah tasbih, tidurnya adalah ibadah, doanya mustajab dan amal dilipat gandakan. (H.R ad Dailami dari Ibnu Umar).

Tapi ketahuilah bahwa para ahli hadits menilai  sanad hadits ini adalah dha’if jiddan atau lemah sekali. Jadi tidaklah bisa dijadikan hujjah. Syaikh al Albani dalam Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’ nomor 3784 menjelaskan bahwa kelemahannya ada pada seorang diantara perawinya yaitu Rabi’ bin Badr. Dia adalah seorang rawi yang ditinggalkan.

Melihat kepada matan atau redaksi hadits ini, bisa jadi membuat sebagian orang yang berpuasa menjadi kurang semangat untuk melakukan suatu aktivitas dan memperbanyak tidur. Bukankah tidurnya orang berpuasa adalah ibadah yaitu dengan bersandar pada hadits ini. Tapi hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah atau sandaran karena sangat lemah.

Kedua : Doa berbuka puasa.
Derajat hadits ini lemah. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Baihaqi dan yang selainnya. Dari Mu’adz bin Zahrah bahwasanya sampai kepadanya apabila Rasulullah berbuka beliau berdoa dengan doa : “Allahumma laka shumtu (wa bika amantu) wa ‘ala razqika afthartu” Ya Allah untuk Engkaulah aku berpuasa (dan kepada Engkau aku beriman) dan atas rizki Engkaulah aku berpuasa.

Ada tiga cacat dalam hadits ini sehingga dihukumi sebagai hadits lemah, yaitu : (1) Mua’dz bin Zahrah adalah perawi majhul, tidak dikenal. (2) Hadits ini mursal dhaif karena Muadz bin Zahrah seorang tabi’in tapi meriwayatkan langsung dari Nabi. (3) Sanad nya mudhtharib, daya ingatnya lemah.

Hadits ini dilemahkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar (lihat Takhrij al Adzkar dan juga dilemahkan oleh Syaikh al Albani dalam al Irwa’.

Doa berbuka puasa yang shahih adalah : “Dzahabazh zhamaa-u, wabtalatil ‘uruuqu, wa tsabatil ajru in syaa-Allah”. Telah hilang rasa haus dan telah basah kerongkongan serta telah tetaplah pahala, insya Allah. (H.R Abu Dawud, lihat al Irwa’ dan Shahih Jami’ Syaikh al Albani).  

 Ketiga : Berpuasa supaya sehat.
“Shuumuu tashihuu” Berpuasalah niscaya engkau akan sehat.
Diriwayatkan ath Thabrani dalam al Ausath, Abu Nu’aim dalam ath Thibun Nabawi dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abu Dawud berkata : Telah mengabarkan kepada kami Zuhair bin Muhammad dari Suhail bin Abi Shalih dari bapaknya darii Abu Hurairah secara marfu’. Sisi cacatnya ada pada Zubair bin Muhammad. Dia orang yang lemah.

Imam al Iraqi berkata dalam Takhrij Kitab al Ihya’ : Diriwayatkan oleh ath Thabrani dalam al Ausath dan Abu Nu’aim dalam ath Thibun Nabawi, dengan sanad lemah. Dengan agak berlebihan ash Shaghani dalam Maudhu’at menyatakan bahwa ini adalah hadits palsu. (Lihat adh Dhaifah) 

Secara lafazh memang benar karena berpuasa akan membuat seseorang menjadi lebih sehat. Insya Allah. 

Keempat : Berharap satu tahun Ramadhan terus.
“Seandainya umatku mengetahui apa yang terdapat dalam satu bulan Ramadhan maka sungguh mereka akan berharap satu tahun itu Ramadhan penuh…”
Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Abu Ya’la, Ibnul Jauzi dalam al Maudhu’at : Dari jalan Jarir bin Ayyub al Ghifari secara marfu’. Sisi cacatnya ada pada Jarir bin Ayyub al Ghifari. Derajat hadits ini palsu.

Diantara ahli hadits yang memberi komentar adalah : (1) Abu Nu’aim berkata : Dia (Jarir bin Ayyub) memalsukan hadits. (2) Imam Bukhari berkata : Munkarul hadits. (3) Abu Zur’ah berkata : Munkarul Hadits. (4) An Nasa’i berkata : (Jarir) ditinggalkan haditsnya. (5) Ibnul Jauzi berkata : Hadits ini palsu (6) Imam asy Syaukani berkata : Hadits ini palsu. (Lihat al Ahaditsul Maudhu’ah, Ustadz Ahmad Said Sabiq).

 Kelima : Berbuka puasa tanpa udzur.
“Barangsiapa yang tidak puasa satu hari pada bulan Ramadhan tanpa ada udzur yang diringankan oleh Allah maka tidak akan bisa diganti oleh puasa satu tahun penuh seandainya dia melakukannya”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, at Tirmidzi, Abu Dawud dan selainnya dari jalan Abu Muthawwis, dari bapaknya dari Abu Hurairah secara marfu’.
Ibnu Hajar al Hafizh, berkata : hadits ini diperselisihkan pada Habib bin Abu Tsabit yang ternyata memiliki tiga cacat. (1) Mudhtharib atau goncang. (2) Abu Muthawwis adalah majhul atau tidak dikenal. (3) Dan diragukan apakah bapaknya mendengar dari Abu Hurairah (Fathul Bari).

Syaikh al Albani berkata : Diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara  mu’allaq yaitu terputus sanadnya dan hanya disebut awal sanad saja.  Imam Bukhari mengisyaratkan kelemahan hadits ini.

Keenam : Puasa Ramadhan tergantung zakat fithri.
“Bulan Ramadhan itu tergantung antara langit dan bumi dan tidak diangkat (pahala puasa seseorang) kepada Allah kecuali dengan zakat fithri”.
Ibnul Jauzi membawakannya dalam al-Wahiyat seraya mengatakan: Tidak shahih, di dalamnya terdapat Muhammad bin Ubaid al-Bashri. Dia adalah seorang majhul (perawi yang tidak dikenal).

Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani berkata : Seandainya hadits ini shahih maka zhahirnya menunjukkan bahwa diterimanya puasa Ramadhan tergantung dengan mengeluarkan zakat fithri. (Seakan akan) barangsiapa yang tidak mengeluarkan zakat fithri maka puasanya tidak diterima. Dan saya tidak mengetahui seorang ulama pun yang berpendapat demikian. (Lihat Silsilah Hadits Dhaif)   

Ketujuh : Ramadhan dibagi tiga fase.
 “Syahrun auwaluhu rahmatun, wa auwasathuhu maghfiratun, wa aakhirahu ‘itqun minannar”.  (Bulan Ramadhan adalah) bulan yang awalnya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka.

Hadits ini adalah penggalan dari suatu hadits yang cukup panjang.  Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dalam Kitab Shahihnya. 

Hadits ini juga diriwayatkan dari Abu Hurairah dengan redaksi sedikit berbeda yaitu : “Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah maghfirah dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.”

Hadits dengan matan ini dikeluarkan oleh al Uqaili, Ibnu ‘Adi, al Khatib , ad Dailami dan Ibnu Asakir. Kedudukan hadits ini telah dijelaskan oleh para ahli hadits, diantaranya : (1)  Dalam sanadnya ada Salam bin Sulaiman bin Siwar. Ibnu Adi berkata : Menurutku , haditsnya mungkar. (2) Juga terdapat Maslamah bin Shalt dan Maslamah itu tidak dikenal. Abu Hatim mengomentarinya : Haditsnya ditinggalkan.  (3) Syaikh  Muhammad Nashiruddin al Albani, seorang ahli hadits abad ini,  menyebutkan bahwa : Hadits ini mungkar. (Lihat Kitab Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’ jilid 4/1571)

Demikianlah sebagian dari hadits hadits  tidak shahih yang berhubungan dengan shaum dan Ramadhan. (Penulis banyak mengambil manfaat dari Kitab Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’, Syaikh al Albani dan juga dari tulisan Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif dan juga tulisan  Ustadz Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi)

Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam (684)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar