Minggu, 13 Maret 2016

ORANG BERIMAN TIDAK DILALAIKAN OLEH HARTA DAN ANAK



ORANG BERIMAN TIDAK DILALAIKAN 
OLEH HARTA DAN ANAK

Oleh : Azwir B. Chaniago

Ketahuilah saudaraku, bahwa diantara bentuk fitnah atau ujian dari harta dan anak adalah bisa melalaikan seseorang mengingat dan memenuhi hak hak Allah. Memang seseorang tidaklah boleh menyia nyiakan rizki yang diperolehnya berupa harta dan tidak pula boleh melalaikan hak anak anaknya.

Namun demikian jika urusan harta dan urusan anak berhadapan dengan melaksanakan ketaatan dalam arti memenuhi hak hak Allah maka  pastilah tidak ada pilihan bagi seorang hamba kecuali mendahulukan hak hak Allah Ta’ala. Lalai terhadap hak Allah tentulah akan mendatangkan penyesalan dan kerugian yang amat besar.

Sungguh Allah Ta’ala telah mengingatkan dalam firman-Nya : “Yaa aiyuhal ladziina aamanuu laa tulhikum amwaalukum wa laa aulaadukum ‘an dzikrillah, wa man yaf’al dzaalika fa ulaa-ika humul khaasiruun”. Wahai orang orang yang beriman !. Janganlah harta bendamu dan anak anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barangsiapa berbuat demikian maka mereka itulah orang orang yang rugi. (Q. S al Munaafiquun 9).

Imam Ibnu Katsir berkata : Allah Ta’ala berfirman memerintahkan hamba hamba-Nya yang beriman supaya berdzikir kepada-Nya. Sekaligus melarang mereka supaya tidak melupakan dzikir yaitu mengingat Allah karena disibukkan oleh harta kekayaan dan anak. Selain itu Dia juga memberitahukan bahwa barangsiapa yang terpedaya oleh kenikmatan dunia dan perhiasannya dengan melupakan diri untuk berbuat taat dan berdzikir kepada-Nya maka dia termasuk orang orang yang benar benar merugi. Dia merugikan dirinya sendiri dan juga keluarganya pada hari Kiamat kelak. (Tafsir Ibnu Katsir) 
  
Syaikh as Sa’di berkata : Allah (juga) melarang hamba hamba-Nya yang beriman agar tidak dipersibuk oleh harta dan anak sehingga lalai untuk mengingat Allah. Karena memang kebanyakan manusia itu terbentuk untuk mencintai harta dan anak sehingga lebih dikedepankan daripada mengingat Allah, yang akan menimbulkan kerugian besar. (Tafsir Taisir Karimir Rahman) 

Prof DR Hamka  berkata : (Diujung ayat 9 surat al Munaafiquun ini) Allah Ta’ala  memberi ingat : “Dan barangsiapa yang berbuat demikian  maka itulah orang orang yang rugi” Mengapa jadi rugi ?. Karena mereka menyangka yang kekayaan itu adalah harta yang bertumpuk. Mereka lupa bahwa kekayaan benda akan kosong artinya, kalau tidak ada kekayaan jiwa dengan senantiasa ingat kepada Allah Ta’ala. Orang yang demikian bagaimanapun banyak hartanya dan  berkembang biak keturunannya, dia adalah rugi. 

Sebab kekayaan harta tanpa kekayaan bathin (hakikatnya) adalah kemiskinan, adalah siksa yang tidak berkeputusan. Dia hanya mengumpulkan harta itu untuk dilicin tandaskan kelak oleh anak anaknya dan dia sendiri tidak merasakan nikmat bathin dari harta itu.

Kalau dia sendiri tidak lagi banyak mengingat Allah tentu begitu pulalah anak anak keturunannya kelak. Tidaklah ada diantara anak dan keturunan itu yang akan mendoakannya, sehingga penderitaannya di alam barzakh tidak dapat diringankan. (Kitab Tafsir al Azhar) 
  
Allah berfirman : “Wa’lamuu annamaa amwaalukum wa aulaadukum fitnatun, wa annallaha ‘indahuu ajrun ‘azhiimaa”. Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak anakmu itu hanya sebagai fitnah atau cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (Q.S al Anfal 28). 

Ada satu riwayat tentang  Umar bin Khaththab. Pada suatu kali beliau  keluar pergi ke kebun miliknya. Lalu dia pulang dan mendapati orang orang telah selesai melakukan shalat ‘ashar secara berjamaah. Beliau menganggap ini adalah musibah  besar bagi dirinya. Lalu beliau mengucapkan : “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, aku telah ketinggalan shalat ‘ashar berjamaah, maka aku meminta kalian jadi saksi bahwa kebunku tersebut aku sedekahkan kepada orang-orang miskin” Maksudnya adalah agar menjadi kafarah atas perbuatannya yang lalai terhadap shalat berjamaah.

Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam (601)




 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar