Jumat, 17 Oktober 2014

MAKNA AL MUTHAFFIFIN



MAKNA AL MUTHAFFIFIN

Oleh : Azwir B. Chaniago

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Wailul lilmuthaffifin. Alladziina idzaktaaluu ‘alannaasi yastaufun. Waidzaa kaaluu hum au wazanuuhum yukhsiruun. Celakalah bagi orang orang yang curang. (Yaitu) orang orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan. Dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain) mereka mengurangi. (Q.S al Muthaffifin 1-3).

Kata ath thathfif bermakna pengurangan. Al muthaffifin bermakna orang yang mengurangi takaran dan timbangan. Tidak memenuhi dan menyempurnakannya, sehingga mereka disebut orang orang yang curang.

Syaikh Muhammad Shalih al Utsaimin menjelaskan bahwa orang orang yang apabila mereka menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, yakni apabila mereka membeli barang yang ditakar mereka meminta takarannya dipenuhi dengan sempurna, tanpa kekurangan. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi.

Mereka minta hak mereka dipenuhi dengan sempurna tapi mereka sendiri mengurangi hak orang lain. Orang ini, kata Syaikh Utsaimin, telah mengumpulkan dua sifat (yang buruk) yaitu asy syuhh atau tamak dan al bukhl atau bakhil. Disebut tamak karena mereka menuntut hak mereka dipenuhi dengan sempurna tanpa peduli dan toleransi. Disebut bakhil karena mereka tidak menyempurnakan kewajiban yang seharusnya mereka penuhi yaitu memenuhi takaran dan timbangan.

Keadaan yang Allah firmankan dalam ayat ini tentang takaran dan timbangan adalah permisalan. Termasuk didalamnya semua bentuk kecurangan yang sejenis. Siapa saja yang menuntut haknya dipenuhi dengan sempurna dan mengurangi  hak orang lain maka termasuk (yang diancam) dalam ayat tersebut. Misalnya, seorang suami minta haknya dipenuhi oleh istrinya dengan sempurna dan supaya istrinya tidak melalaikan sedikitpun haknya sebagai suami. Namun giliran si suami harus memenuhi hak istrinya dia melalaikan dan tidak menyempurnakannya. (Lihat Kitab Tafsir Juz ‘Amma, Syaikh Utsaimin).

Selain itu, Syaikh Utsaimin juga mengingatkan : Ayat ini meskipun berkaitan erat dengan takaran dan timbangan, hanya saja seorang buruh atau pegawai jika ia menginginkan gajinya utuh namun dia datang kerja terlambat atau pulang lebih awal, ia termasuk muthaffifin yang diancam dengan neraka wail. Sebab jika gajinya dikurangi satu rial saja pasti dia akan berkata : Kok gaji saya dikurangi ?.

Berkenaan dengan kewajiban memenuhi takaran dan timbangan, Allah juga telah mengingatkan manusia dalam firman-Nya : “Wa auful kaila idzaa kiltum wazinuu bil qisthaasil mustaqiim, dzaalika khairuun wa  ahsanu takwiilaa” Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S al Isra’ 35).

Tentang ayat ini, Syaikh as Sa’di berkata : Ini adalah perintah untuk berlaku adil dan menyempurnakan takaran timbangan dengan adil tanpa memangkas ataupun menguranginya. Dari konteks umum ayat tersebut dapat diambil faidah, adanya larangan dari berbagi bentuk penipuan dalam masalah harga, barang dan obyek yang sudah disepakati, dan (kandungan) perintah untuk tulus dan jujur dalam bermuamalah. (Tafsir Karimir Rahman).

Semoga Allah menjauhkan diri kita dari berbagai sifat curang dalam menjalani kehidupan yang fana ini.
Wallahu A'lam (090)
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar