Sabtu, 04 Oktober 2014

KEWAJIBAN MENJAGA LISAN



KEWAJIBAN MENJAGA  LISAN

Oleh : Azwir B. Chaniago

Muqaddimah
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan berbagai kenikmatan yang sangat banyak jumlah dan jenisnya kepada manusia. Jika kita mencoba menghitung nikmat Allah sudah pasti kita  tidak mampu. Allah berfirman : Wain ta’uddu ni’matallahi laa tuhsuuha” Dan jika kalian menghitung nikmat Allah pastilah tidak bisa menghitungnya. (Q.S Ibrahim 34)

Salah satu diantara demikian banyak nikmat Allah yang kita peroleh adalah kemampuan berbicara atau berkomunikasi dengan sesama. Sungguh sangatlah sulit kehidupan kita ini sekiranya Allah tidak memberi kita nikmat bisa berbicara.

Ketahuilah bahwa setiap nikmat  Allah haruslah diterima dengan rasa syukur diantaranya adalah dengan menggunakan nikmat itu sebagai sarana untuk mengabdikan diri dan beribadah  kepada Allah. Sungguh, setiap kenikmatan yang kita peroleh pasti akan kita pertanggung jawabkan kelak dihadapan Allah.

Salah menggunakan nikmat bicara  
Sungguh sangat banyak manusia di zaman sekarang tidak menggunakan nikmat bicara ini sebagai sarana untuk mengabdi kepada Allah, bahkan ada yang digunakan untuk bermaksiat kepada Allah.  Perhatikanlah diantara manusia zaman sekarang yang dengan enteng, bicara sesuka-sukanya seolah-olah tidak akan dipertanggung jawabkan kelak dihadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. 

Jika melihat suatu masalah, banyak orang senang menanggapi semaunya. Berkomentar sesukanya. Berbicara sesukanya. Tidak ada keinginan sedikitpun untuk menjaga lisannya. Diantaranya adalah :

Pertama : Berapa banyak orang  berbicara tentang sesuatu yang sebenarnya dia tidak tahu, karena bukan bidangnya. Akibatnya, keluar perkataan yang aneh, lucu bahkan tidak masuk akal. 
 
Kedua : Berapa banyak orang berbicara tentang sesuatu pada hal pembicaraan atau komentarnya tidak diperlukan. Kenapa tidak diperlukan. Ya karena tidak ada hubungan sedikitpun antara masalah yang dikomentari dengan yang memberi komentar. Abdullah bin Amr berkata : Tinggalkanlah segala sesuatu yang tidak ada hubungannya denganmu. Jangan engkau berbicara yang tidak bermanfaat bagimu. Jagalah lidahmu seperti engkau menjaga hartamu.
   
Ketiga : Berapa banyak orang berbicara bohong, tidak objektif ada kepentingan pribadi atau kelompok yang tersembunyi ataupun yang  tampak.  Terkadang pesan sponsor juga berperan. Lalu merasa enteng untuk berbicara tidak jujur.

Keempat : Berapa banyak orang berbicara tapi tidak mampu berbuat. Kalaupun mampu tapi  tidak mau berbuat. Maunya sebatas berbicara atau berkomentar saja.

Kelima : Berbicara pada suasana yang sangat dianjurkan untuk tidak berbicara. Kita masih sangat sering  melihat sebagian saudara kita yang pada saat duduk di masjid mendengar adzan tapi tidak menyahuti adzan bahkan masih ngobrol dengan jamaah yang duduk didekatnya. 
  
Menjaga lisan
Sungguh sangatlah banyak dalil  yang menganjurkan bahkan mewajibkan kita untuk menjaga lisan :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Ma yalfizhu min qaulin illa ladaihi raqibun ‘atid.” Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada padanya malaikat pengawas yang selalu hadir. (Q.S. Qaaf 18).

Ayat ini antara lain menjelaskan bahwa setiap kata yang kita ucapkan akan dicatat dengan sangat lengkap oleh malaikat yang selalu berada dikiri kanan kita. Imam Hasan al Bashri dan Qatadah berpendapat bahwa jika melihat kepada zhahir ayat jelaslah bahwa Malaikat akan mencatat setiap ucapan.

Ali bin Abi Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia (Malaikat) akan menulis setiap kebaikan dan keburukan yang diucapkan. Bahkan ia akan mencatat ucapan aku makan, minum, datang , pergi, melihat dan sebagainya (Tafsir Ibnu Katsir).

Seorang ulama yaitu Abul Qashim berkata : “Andaikata engkau bisa membeli atau memperoleh buku catatan Malaikat (tentang dirimu), maka engkau akan trauma untuk berbicara”. Kenapa trauma, karena kita akan kaget berat melihat catatan ucapan lisan kita yang begitu lengkap dan tanpa kita sadari ternyata lebih banyak buruknya dari baiknya. 
Rasulullah salallahu alaihi wassalam bersabda: “Man kana yu’minu billahi wal yaumil akhiri fal yaqul khairan au liyasmut”. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berkata yang baik atau diam. (H.R. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah).

Hadits ini menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara aqidah yang shahih dengan berkata yang baik. Disini Rasulullah mengkaitkan antara beriman kepada Allah dan hari Akhir dengan berbicara yang baik. Ketahuilah bahwa beriman kepada Allah dan hari Akhir adalah aqidah  yang lurus sedangkan berbicara yang baik adalah sesuatu yang sangat dianjurkan. Dapat diambil pemahaman bahwa orang yang aqidahnya lurus maka tentu seharusnya dia akan berbicara yang baik atau diam.

Tentang hadits ini pula, Ibnu Hajar Ashqalani antara lain menjelaskan : Perkataan itu jika tidak baik pasti jelek, atau bermuara kepada kepada salah satunya. Termasuk perkataan yang baik adalah segala perkataan yang dianjurkan dalam syari’at baik yang wajib maupun yang sunnah. Begitu pula semua perkataan yang mengarah kepadanya. Adapun perkataan yang buruk dan segala yang mengarah kepada keburukan, maka diperintahkan untuk diam. (Fathul Bari).

Imam asy Syafi’i berkata : Jika seorang diantara kalian hendak berbicara maka hendaklah ia berfikir tentang pembicaraannya. Jika tampak mashlahatnya maka berbicaralah. Namun jika ragu akan kemashalahatannya maka hendaklah ia tidak berbicara.
Imam an Nawawi berkata : Apabila salah seorang dari kalian hendak berbicara dan pembicaraan tersebut benar-benar baik dan berpahala, baik dalam membicarakan yang wajib maupun sunnah, silahkan ia mengatakannya. Jika belum jelas baginya, apakah perkataan itu baik dan berpahala atau perkataan itu tampak samar baginya antara haram, makruh dan mubah, hendaknya dia tidak mengucapkannya. Berdasarkan hal ini, maka perkataan yang mubah tetap dianjurkan untuk ditingggalkan dan disunnahkan menahan diri untuk tidak mengatakannya, karena khawatir akan terjerumus kepada perkataan yang haram dan makruh. Inilah yang sering terjadi (Syarah Shahih Muslim) 
  
Umar bin Khaththab berkata : “Semoga Allah merakhmati orang yang menahan diri dari banyak berbicara dan lebih mengutamakan banyak beramal”. (Uyun al Akhbar, Ibnu Taimiyah).
Coba kita perhatikan kebanyakan manusia sekarang ini. Sungguh akan kita dapati sebaliknya. Mereka lebih mengutamakan banyak berbicara sementara amal mereka mungkin dipertanyakan.

Ibnu Mas’ud berkata : “Jauhilah oleh kalian sikap berlebihan dalam berbicara. Cukuplah bagi seseorang untuk berbicara seperlunya” (Jami’ul Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab al Hambali).

Abu Darda’ berkata : “Lebih berlaku adillah terhadap telingamu daripada lidahmu. Karena tidaklah diciptakan telinga itu dua kecuali agar kamu lebih banyak mendengar daripada berbicara”  (Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah).

Ya Allah terimalah taubatku, terimalah doaku, kuatkanlah hujjahku, tunjukilah hatiku, jagalah lisanku dan hilangkan rasa dengki dari hatiku. (H.R bu Dawud dan Imam Ahmad, dari Ibnu Abbas).
Allahu a’lam.  (075)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar