Selasa, 02 Juli 2019

HAKIM YANG MENYIMPANG DITEMANI SYAITHAN


HAKIM YANG MENYIMPANG DITEMANI SYAITHAN

Oleh : Azwir B. Chaniago

Kedudukan hakim dalam majlis persidangan adalah mulia. Perhatikanlah bahwa dalam suatu persidangan di pengadilan sangat sering kita mendengar perkataan : Bapak hakim yang mulia. Kenapa begitu, iya karena para hakim adalah penegak kebenaran dan keadilan. Ini adalah tugas mulia.

Orang orang yang dirampas haknya akan mendapatkan kembali hak hak mereka yaitu melalui keputusan yang adil dari para hakim. Hakikatnya para hakim menjadi tumpuan harapan orang banyak untuk mendapatkan hak haknya dengan adil. Ini termasuk hal penting  yang menjadikan para hakim menjadi mulia dan dihormati.

Tapi ketahuilah bahwa jabatan hakim adalah sangat berat. Para hakim dan orang yang pernah memiliki jabatan hakim sangat merasakan bagaimana  harus memutuskan suatu perkara dengan bijak dan dengan seadil adilnya. Selain  pertanggung jawaban kepada masyarakatnya para hakim pasti harus mempertanggung jawabkan keputusannya kepada Allah Ta’ala.

Itulah diantara penyebabnya, wallahu a’lam, mengapa para ulama terdahulu banyak yang menolak jabatan sebagai hakim atau qadhi meskipun mereka memiliki ilmu untuk jabatan itu. Bahkan diantara ulama terdahulu ada yang sampai dihukum  oleh penguasa karena menolak jabatan sebagai hakim.

Perhatikanlah salah satu kisah bagaimana Imam Abu Hanifah an Nu’man bin Tsabit dicambuk dan dipenjarakan oleh penguasa karena menolak  diangkat menjadi hakim.

Dalam Kitab Tarikh al Bagdadi, sebagaimana dinukil oleh Syaikh Ahmad Farid dalam kitabnya Min A’lam as Salaf, disebutkan : Dari Ubaidilah bin Amr, dia berkata : Ibnu Hubairah telah mencambuk Abu Hanifah dengan cemeti agar dia mau memegang jabatan sebagai hakim akan tetapi dia menolaknya. Ibnu Hubairah adalah salah seorang petinggi dalam pemerintahan Khalifah Marwan. Dia bertugas di Irak pada masa Bani Umaiyah.

Diriwayatkan pula bahwa Khalifah al Manshur berkata : Apakah engkau (Abu Hanifah)  mau pada jabatan hakim ?. Abu Hanifah menjawab : Aku tidak pantas memegang jabatan itu. Al Manshur berkata : Engkau berbohong. Abu Hanifah menjawab : Berapa banyak khalifah  memintaku untuk menjadi hakim dan aku tidak pantas. Terserah aku berbohong atau bukan, aku beritahukan kepada engkau bahwa aku tidak pantas.

Al Manshur berkata : Engkau berbohong, engkau adalah orang yang pantas menjadi hakim. Abu Hanifah menjawab : Bagaimana engkau menempatkan orang yang berbohong menjadi hakim. Setelah jawaban itulah lalu khalifah memenjarakan Abu Hanifah.

Lalu seberapa beratkah ancaman atau risiko yang akan didapat seorang hakim yang tak memenuhi tugasnya dengan lurus ?. Perhatikanlah hadits berikut ini :

Pertama : Hakim yang menyimpang akan ditemani syaithan.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, jika hakim menyimpang (dari  keadilan) maka syaithan akan menjadi temannya.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ مَعَ القَاضِي مَا لَمْ يَجُرْ، فَإِذَا جَارَ تَخَلَّى عَنْهُ وَلَزِمَهُ الشَّيْطَانُ

Sesungguhnya Allah bersama hakim selama dia tidak menyimpang, jika dia menyimpang Allah meninggalkannya, dan SYAITHAN MENEMANINYA. (H.R at Tirmizi no. 1331,  dihasankan oleh Syaikh al Albani).

Nah, ketika seseorang menjadi temannya syaithan maka tempat tinggalnya adalah di neraka bersama syaithan. Na’udzubillah.

Kedua : Dua golongan hakim di neraka dan satu golongan di surga.  

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ، اثْنَانِ فِي النَّارِ، وَوَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ: رَجُلٌ عَلِمَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ، وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ جَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ

Hakim-hakim itu ada tiga, dua di neraka dan satu di surga : Seorang hakim yang mengetahui kebenaran, lalu dia memutuskan hukum dengan kebenaran, maka dia di surga; Seseorang (hakim)  yang memutuskan hukum dengan kebodohan, maka dia di neraka; Dan seorang (hakim) YANG MENYIMPANG DI DALAM KEPUTUSAN, maka dia di neraka. (H.R Ibnu Majah, no. 2315, at Tirmidzi, no. 1322 dan  Abu Dawud, no. 3573).

Barangkali dua hadits ini yang telah membuat takut para ulama dan orang shalih terdahulu untuk memegang jabatan hakim. Meskipun menerima hukuman dari penguasa karena menolak permintaan penguasa dalam perkara ini. Bahkan adapula yang sengaja menghilang dan pindah ke negeri lain demi menghindari jabatan hakim di negerinya.

Lalu kemudian datang pertanyaan : ADAKAH HAKIM YANG MENYIMPANG DARI KEBENARAN DI NEGERI KITA INI. Wallahu A’lam. (1.678)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar