Minggu, 31 Juli 2016

MEMAHAMI MUSIBAH SECARA BENAR



MEMAHAMI MUSIBAH SECARA BENAR

Oleh : Azwir B. Chaniago

Muqaddimah.
Semua manusia pasti akan diuji. Ujian itu bisa terhadap dirinya, keluarganya, hartanya dan yang lainnya.  Allah berfirman : “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah buahan. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang orang yang sabar”.   (Q.S al Baqarah 155) 

Ketahuilah saudaraku bahwa semua keadaan yang diturunkan Allah  kepada seorang hamba, termasuk ujian dan cobaan, pastilah  memiliki hikmah yang sempurna. Bukan sesuatu yang sia sia. Allah berfirman : “Ya Rabb kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia sia. Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari adzab neraka” (Q.S Ali Imran 191)

Rasulullah bersabda :  “Matsalul mu’mini kamatsaliz zar’i, laatazaalur riihu tamiiluhu, walaa yazaalul mu’minu yushiibuhul bala’. Perumpamaan seorang mu’min tak ubahnya seperti tanaman, angin akan selalu meniupnya, ia akan selalu mendapat cobaan (H.R Imam Muslim).

Paling tidak ada tiga tujuan dari ujian, yaitu :
Pertama : Untuk diketahui apakah seseorang itu  benar benar beriman.
Allah berfirman : “Apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan beriman, dan mereka tidak diuji ? (Q.S al Ankabuut 2).

Syaikh as Sa’di dalam menafsirkan ayat ini, antara lain menjelaskan bahwa : Dia (Allah) akan menguji mereka dengan kesenangan dan kesengsaraan hidup, kesulitan dan kemudahan, hal hal yang membuat semangat dan yang membenci, kekayaan dan kefakiran, dengan penguasaan musuh musuh terhadap mereka pada saat tertentu serta berbagai cobaan lainnya. Sesungguhnya, kata beliau, ujian dan cobaan bagi jiwa tak obahnya seperti alat tempa besi yang memisahkan karat dan besi.  
  
Kedua : Untuk diketahui siapa yang paling baik amalnya.
Allah berfirman : “(Allah) yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa yang lebih baik amalnya.”  (Q.S al Mulk 2). 

Dalam surat al Mulk ayat 2 diatas disebutkan kalimat “ahsanu ‘amala” yaitu amalan atau ibadah yang lebih baik. Imam Qadhi Iyadh menjelaskan bahwa  makna ahsanu ‘amala dalam ayat ini adalah amalan yang ikhlas semata-mata karena Allah dan mengikuti contoh yang diajarkan oleh Rasulullah.

Ketiga : Untuk menghapus sebagian dosa.
Ini adalah berita gembira untuk seorang hamba yang sedang mendapat ujian dan mereka menerima dengan sabar. Rasulullah bersabda : “Tidaklah seorang Muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesedihan, gangguan, kegundah gulanaan hingga duri yang menusuknya melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dari kesalahan kesalahannya”  (H.R Imam Bukhari dari Abu Hurairah).

Jika kita lihat lebih jauh, maka ketiga tujuan maka tampak dengan jelas bahwa ujian tersebut sebenarnya adalah bagian dari kasih sayang Allah terhadap hambaNya. Sebab semua maksud ujian tersebut akan kembali kepada kebaikan bagi hamba-Nya.

Tingkatan manusia menghadapi musibah.
Dalam menerima musibah manusia berada pada beberapa keadaan atau tingkatan.  Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin menjelaskan tentang hal ini :

Tingkatan pertama : Manusia yang mengerutu, mendongkol,  tidak mau menerima. Ini direfleksikan dengan hati yang tidak menerima, dengan lisannya berupa umpatan dan dengan anggota badan seperti menampar nampar pipi sendiri, merobek robek baju dan yang lainnya. Semua ini haram hukumnya karena menafikan kewajiban dan perintah bersabar.

Tingkatan kedua : Bersabar atas musibah. Hal ini seperti ungkapan seorang penyair : “Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya. Akan tetapi hasilnya lebih manis daripada madu”.
Manusia dalam tingkatan ini beranggapan bahwa musibah tersebut sebenarnya berat baginya akan tetapi dia kuat menanggungnya. Dia tidak suka musibah itu terjadi tetapi iman yang ada di hatinya menjaganya dari menggerutu. Terjadi musibah atau tidak terjadinya musibah tidak sama baginya. Perbuatan atau sikap sabar seperti itu wajib hukumnya karena Allah Ta’ala memerintahkan untuk bersabar sebagaimana dalam firman-Nya : Washbiruu, innallaha ma’ash shaabiriin” Dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah bersama orang orang yang sabar. (Q.S al Anfal 46).

Tingkatan ketiga : Ridha terhadapnya seperti keridhaan seseorang terhadap musibah yang dialaminya dimana baginya sama saja, ada dan tidak musibah tersebut. Adanya musibah tidak membuatnya sesak dan tidak (merasa) berat menanggungnya.  Sikap seperti ini dianjurkan tapi bukan suatu kewajiban menurut pendapat yang raajih. 
  
Perbedaan antara tingkatan ini dan tingkatan kedua diatas amat jelas. Sebab dalam tingkatan ketiga ini ada dan tidak adanya musibah sama saja bagi orang yang mengalaminya sementara pada tingkatan kedua adanya musibah dirasakan sulit baginya tetapi dia bersabar.

Tingkatan keempat : Bersyukur terhadap musibah. Ini merupakan tingkatan paling tinggi. Hal ini dilazimkan oleh orang yang mengalaminya dengan bersyukur kepada Allah Ta’ala atas musibah apa saja yang dialami. 

Dalam hal ini dia mengetahui bahwa musibah ini merupakan sebab atau sarana untuk menghapus semua keburukannya (dosa dosa kecilnya) dan barangkali bisa menambah kebaikannya. Rasulullah bersabda : “Maa min mushiibatin tushiibul muslima illa kaffarallahu bihaa ‘anhu hattasy syaukati yusyaakuhaa” Tiada suatu musibah pun yang menimpa seorang muslim, melainkan dengannya Allah hapuskan (dosa dosa kecil) darinya sampai sampai sebatang duri pun yang menusuknya. (H.R Imam Bukhari no. 5640 dan Imam Muslim no. 2572).  
  
Sikap yang benar dan bermanfaat ketika ada musibah ataupun ujian.
Seorang hamba yang benar imannya maka dia akan menerima musibah dengan cara yang terpuji sehingga menuai kebaikan yang banyak dari ujian atau musibah yang mendatanginya.

Pertama :  Berbaik sangka kepada Allah.
Inilah sikap pertama yang harus dikedepankan  seorang yang mendapat musibah atau  ujian. Tidaklah menjadi sempurna imam seseorang jika tidak berbaik sangka kepada Allah dalam setiap keadaan.

Syaikh Muhammad Shalih al Utsaimin berkata : Engkau wajib husnuzhan atau berbaik sangka kepada Allah terhadap perbuatan Allah di alam ini. Engkau wajib meyakini bahwa apa yang Allah lakukan adalah untuk suatu hikmah yang sempurna. Terkadang akal manusia memahaminya, terkadang tidak. Maka janganlah ada yang menyangka bahwa jika Allah melakukan sesuatu di alam ini karena kehendak-Nya yang buruk.

Kedua : Menjaga sikap sabar
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam Kitab Madaarijus Saalikin, menjelaskan makna sabar ada empat,  yaitu : (1) Menahan diri  dari berputus asa. (2) Meredam amarah jiwa. (3) Mencegah lisan untuk mengeluh, dan (4)  Mencegah anggota badan untuk berbuat kemungkaran.

Sungguh sangatlah banyak keutamaan sabar. Diantaranya seperti yang dikatakan oleh Syaikh Sulaiman bin Qaashim : Setiap amalan dapat diketahui ganjarannya kecuali kesabaran yaitu seperti air yang mengalir deras. Lalu beliau membacakan al Qur an surat az Zumar 10 : Innamaa yuwaffash shabiruna ajrahum bighairi hisaab” Sesungguhnya hanyalah pahala orang-orang bersabarlah yang dicukupkan tanpa batas.
Syaikh Muhammad Shalih al Utsaimin dalam Kitab Syarah Riyadush Shalihin menjelaskan : Adapun kesabaran pahalanya berlipat ganda tidak terbatas. Ini menunjukkan bahwa ganjarannya sangat besar sekali hingga tidak mungkin bagi seorang insan untuk membayangkan pahalanya karena tidak bisa diukur dengan bilangan. 

Bahkan, pahala sabar termasuk perkara yang maklum disisi Allah tanpa bisa dibatasi. Tidak pula bisa disamakan dengan mengatakan satu kebaikan dilipat gandakan pahalanya sepuluh kali sampai tujuh ratus kali lipat. Kesabaran itu pahalanya tanpa batas. Demikian penjelasan Syaikh Utsaimin.

Ketiga : Banyak beristighfar.  
Seorang hamba yang mendapat musibah atau ujian dalam hidupnya hendaklah banyak beristighfar.
Imam al Qurthubi  dalam Kitab Tafsirnya menjebutkan tentang seseorang yang datang kepada Imam Hasan al Bashri mengadukan cobaan dirinya yaitu susah sekali 
mendapatkan rizki. Imam Hasan al Bashri memberi nasehat agar banyak beristighfar.
Yang lain datang  mengadukan musibah tentang tanamannya yang kekeringan karena hujan sudah lama tidak turun.  Imam Hasan al Bashri memberi nasehat agar banyak beristighfar.

Yang lain lagi datang mengadukan cobaan yang menimpa dirinya. Dia sudah lama menikah tapi belum mendapatkan keturunan.  Imam Hasan al Bashri memberi nasehat agar banyak beristighfar. 

Lalu ada seseorang yang bertanya kepada Imam Hasan al Bashri. Ya Syaikh kenapa setiap orang yang datang mengadukan keadaannya selalu engkau beri nasehat agar banyak beristighfar. 

Imam Hasan al Bashri menjelaskan : Aku mengatakan  (agar banyak beristighfar) itu bukan dari diriku. Lalu beliau membacakan surat Nuh 10 -12) : Faqultu astaghfiruu rabbukum innahu kaana ghafaaraa. Yursilis samaa-a ‘alaikum midraaraa. Wayumdidkum biamwaalin wa baniina wa yaj’allakum jannaatin wayaj’allakum anhaaraa.”    Maka aku katakan kepada mereka : Mohonlah ampun kepada Rabb-mu, sesungguhnya Dia Mahapengampun. Niscaya Dia akan menurunkan kepadamu hujan yang lebat dari langit. Dan Dia memberikan kepadamu anak-anak dan harta yang banyak, diadakan-Nya bagimu kebun-kebun dan sungai-sungai untukmu.

Keempat : Banyak berdoa.
Seorang hamba haruslah senantiasa berdoa kepada Allah agar diberi kekuatan dan kesabaran dalam menerima musibah. Juga bermohon untuk mendapatkan   kemudahan dalam hidupnya di dunia dan akhirat. Apalagi pada saat ada musibah atau ujian yang ringan maupun berat.

Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala  berjanji akan mengabulkan doa hamba hambaNya. Allah berfirman : “Wa qaala rabbukum ud’unii astajiblakum.” Dan Rabbmu berfirman  : Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku perkenankan bagimu. (Q.S al Mu’min 60). 

Rasulullah bersabda : “Innad du’a-a yanfa’u mimma nazala wa mimma lam yanzil, fa’alaikum ‘ibadallahi biddu’a-i”  Doa itu bermanfaat terhadap apa yang sudah maupun belum menimpa. Oleh karena itu wahai sekalian hamba Allah hendaklah kalian berdoa (H.R Imam at Tarmidzi dan al Hakim dari Ibnu Umar).

Rasulullah bersabda : “Laisa syai’un akrama ‘alallahi  Ta’ala minad dua’i” Tidak ada yang lebih mulia disisi Allah daripada doa (H.R Imam Ahmad, Imam at Tirmidzi dari Abu Hurairah

Rasulullah bersabda : “Innad du’a-u huwal ibadah”  Sesungguhnya doa itu ibadah. Suatu ibadah tentulah mendatangkan pahala dan kebaikan. Andaikata  seseorang merasa doanya belum dikabulkan maka melakukan doa sebagai ibadah saja insya Allah sudah memberi manfaat bagi yang berdoa tersebut.

Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (737).

1 komentar: