Rabu, 11 Februari 2015

TERTIPU DENGAN HARTA



TERTIPU DENGAN HARTA SENDIRI

Oleh : Azwir B. Chaniago

Diantara nikmat yang Allah berikan kepada hamba hamba-Nya adalah rizki berupa harta. Ada yang mendapat sedikit, ada yang mendapat banyak bahkan berlimpah, lebih dari cukup. Ketahuilah bahwa Allah melebihkan seseorang dari yang lain dengan hikmah-Nya yang sempurna.

Terhadap rizki yang diberikan Allah wajiblah bagi seorang hamba untuk bersyukur. Ibnu Mas’ud, seorang sahabat yang mulia, pernah mengingatkan bahwa bersyukur akan mendatangkan minimal dua manfaat : Pertama untuk mempertahankan nikmat yang telah ada pada kita. Kedua : Untuk mengundang datangnya nikmat nikmat yang baru  sebagai tambahan. Tambahan yang dimaksud bisa berupa jumlahnya, jenisnya dan juga berkahnya.  Allah Ta’ala  berfirman : “Sesungguhnya, jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat-Ku) kepadamu” (Q.S Ibrahim ayat 7).

Salah satu tanda bersyukur atas harta adalah dengan menggunakannya untuk ketaatan kepada Allah yaitu dengan menggunakannya untuk segala sesuatu  yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ridha.

Sungguh sangatlah banyak hamba hamba Allah yang telah berusaha membelanjakan hartanya di jalan  Allah.  Dan semuanya tentu akan menjadi amal shalih baginya jika dia membelanjakan dengan ikhlas untuk mencari ridha Allah semata. 

Allah berfirman : “Innamaa nut’imukum li wajhillahi, Laa nuriidu minkum jazaa-an walaa syukuuraa”. Sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu hanyalah karena mengharap keridhaan Allah. Kami tidak mengharapkan balasan dan terima kasih dari kamu. (Q.S al Insaan 9).

Namun demikian adapula yang mendapat nikmat rizki berupa harta tapi terkadang disadari atau tidak dia tertipu dengan harta, diantaranya adalah :

Pertama :  Orang yang hartanya membuat dia lelah dan kepayahan. Dia sibuk mengumpulkan harta. Sibuk memelihara, menjaga dan menghitung hitung harta. Sibuk dan kepayahan dalam berusaha bagaimana agar hartanya selalu bisa berkembang dan beranak pinak. Orang seperti ini telah tertipu dengan harta karena sebenarnya bukan dia yang mengendalikan hartanya tapi hartanya yang mengendalikan dia. Disebabkan harta telah mengendalikan dirinya maka sering dia terlalai dari memenuhi hak Allah, memenuhi hak dirinya, hak istri dan anaknya serta hak yang lainnya. 

Kedua :  Diantara manusia yang tertipu dengan hartanya adalah orang sangat pelit untuk membelajakan hartanya dijalan Allah padahal itu adalah  amal shalih dan bekalnya baginya di yaumil akhir nanti. Dia mungkin menyadari bahwa seorang hamba butuh bekal untuk menghadapi hari akhir yang pasti datang tapi dia tetap berat untuk mengeluarkan hartanya di jalan Allah. Dia merasa tidak nyaman kalau hartanya secara fisik berkurang jumlahnya. 

Lalu dia rajin melakukan amal amalan shalih yang lainnya. Dia  melakukan shalat wajib dan melengkapinya dengan shalat sunat, rajin berpuasa, berdoa, berdzikir bahkan mengkhatamkan al Qur an. Mungkin orang ini beranggapan bahwa dengan banyak melakukan amal shalih tanpa harus mengeluarkan harta di jalan Allah itu sudah cukup sebagai bekalnya. 

Orang ini sebenarnya telah tertipu dengan harta. Dia sepertinya tidak atau belum mengetahui bahwa hartanya akan ditanya dari mana dia mendapatkan dan kemana telah dibelanjakan.

Ketiga : Diantara manusia yang tertipu dengan harta adalah orang yang bersemangat membelanjakan hartanya di jalan Allah seperti membangun masjid, membangun gedung gedung pesantren dan apa saja yang secara fisik terlihat dengan jelas dimata orang banyak.

Selain itu dia juga sangat suka menafkahkan hartanya untuk membantu orang orang miskin, anak anak yatim dan orang yang kesulitan. Dia infakkan hartanya  berupa uang, membeli makanan, pakayan dan yang lainnya untuk orang orang yang membutuhkan. Ini tentu suatu yang sangat baik. Cuma sayangnya pada waktu menyerahkan santunan itu dia undang orang orang yang akan mendapat santunan itu beramai ramai datang kerumahnya atau kesuatu gedung pertemuan. Dibuatlah acara yang cukup meriah dalam rangka menyerahkan santunan tersebut. 
        
Jika berita tentang usahanya membangun masjid atau gedung pesantren dan menyantuni orang orang dhu’afa yang membutuhkan,  diketahui oleh orang banyak, tersiar kemana mana maka itulah yang sangat diharapkannya. Itulah yang dicarinya. Dia sangat bahagia dan hatinya sangat puas. Lebih labih lagi jika dia mendengar banyak orang membicarakan dan memuji kedermawanannya. Lalu keikhlasannya menjadi sirna tertutupi oleh kebanggaannya karena mendapat pujian yang banyak dari manusia.  
            
Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar tidak tertipu dengan rizki berupa harta yang telah dianugerahkan kepada kita semua.

Wallahu A’lam.  (206)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar