Senin, 11 April 2016

BERBICARA YANG BAIK ATAU DIAM SAJALAH



BERBICARA YANG BAIK ATAU DIAM SAJALAH

Oleh  : Azwir B. Chaniago

Sungguh sangatlah banyak dalil  yang menganjurkan bahkan mewajibkan kita untuk berbicara yang baik dan bermanfaat. Diantaranya adalah berupa peringatan bahwa semua perkataan dan perbuatan akan dicatat oleh malaikat yang mengawasi manusia :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Ma yalfizhu min qaulin illa ladaihi raqibun ‘atid.” Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada padanya malaikat pengawas yang selalu hadir. (Q.S. Qaaf 18).

Ayat ini antara lain menjelaskan bahwa setiap kata yang kita ucapkan akan dicatat dengan sangat lengkap oleh malaikat yang selalu berada dikiri kanan kita. Imam Hasan al Bashri dan Qatadah berpendapat bahwa jika melihat kepada zhahir ayat jelaslah bahwa malaikat akan mencatat setiap ucapan.

Ali bin Abi Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia (malaikat) akan menulis setiap kebaikan dan keburukan yang diucapkan. Bahkan ia akan mencatat ucapan aku makan, minum, datang , pergi, melihat dan sebagainya (Tafsir Ibnu Katsir).

Seorang ulama yaitu Abul Qashim berkata : “Andaikata engkau bisa membeli atau memperoleh buku catatan Malaikat (tentang dirimu), maka engkau akan trauma untuk berbicara”. Kenapa trauma, karena kita akan kaget berat melihat catatan ucapan lisan kita yang begitu lengkap dan tanpa kita sadari ternyata lebih banyak buruknya dari baiknya.  

Rasulullah salallahu alaihi wassalam bersabda: “Man kana yu’minu billahi wal yaumil akhiri fal yaqul khairan au liyasmut”. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berkata yang baik atau diam. (H.R. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah).

Tentang hadits ini pula, Ibnu Hajar Ashqalani antara lain menjelaskan : Perkataan itu jika tidak baik pasti jelek, atau bermuara kepada kepada salah satunya. Termasuk perkataan yang baik adalah segala perkataan yang dianjurkan dalam syari’at baik yang wajib maupun yang sunnah. Begitu pula semua perkataan yang mengarah kepadanya. Adapun perkataan yang buruk dan segala yang mengarah kepada keburukan, maka diperintahkan untuk diam. (Fath al Bari)

Imam asy Syafi’i berkata :  Jika seorang diantara kalian hendak berbicara maka hendaklah ia berfikir tentang pembicaraannya. Jika tampak mashlahatnya maka berbicaralah. Namun jika ragu akan kemashalahatannya maka hendaklah ia tidak berbicara. 

Imam an Nawawi berkata : Apabila salah seorang dari kalian hendak berbicara dan pembicaraan tersebut benar-benar baik dan berpahala, baik dalam membicarakan yang wajib maupun sunnah, silahkan ia mengatakannya. Jika belum jelas baginya, apakah perkataan itu baik dan berpahala atau perkataan itu tampak samar baginya antara haram, makruh dan mubah, hendaknya dia tidak mengucapkannya. Berdasarkan hal ini, maka perkataan yang mubah tetap dianjurkan untuk ditingggalkan dan disunnahkan menahan diri untuk tidak mengatakannya, karena khawatir akan terjerumus kepada perkataan yang haram dan makruh. Inilah yang sering terjadi (Syarah Shahih Muslim) 
 
Umar bin Khaththab berkata : “Semoga Allah merakhmati orang yang menahan diri dari banyak berbicara dan lebih mengutamakan banyak beramal”. (Uyun al Akhbar, Ibnu Taimiyah). Coba kita perhatikan kebanyakan manusia sekarang ini. Sungguh akan kita dapati sebaliknya. Mereka lebih mengutamakan banyak berbicara sementara amal mereka dipertanyakan.

Ibnu Mas’ud berkata : “Jauhilah oleh kalian sikap berlebihan dalam berbicara. Cukuplah bagi seseorang untuk berbicara seperlunya” (Jami’ul Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab al Hambali).

Abu Darda’ berkata : “Lebih berlaku adillah terhadap telingamu daripada lidahmu. Karena tidaklah diciptakan telinga itu dua kecuali agar kamu lebih banyak mendengar daripada berbicara”  (Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah).

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya Raudhah al ‘Uqala wa Nazhah al FudhalaFudhala : Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara. Hal itu karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara, dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan.

Beliau juga berkata : Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah dari pada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.

Beliau menambahkan : Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam. Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya.

Sungguh Rasulullah Salallahu ‘alaihi Wasallam telah mengajarkan kepada kita sebuah doa agar terjaga dari berbicara yang tidak baik. Ya Allah terimalah taubatku, terimalah doaku, kuatkanlah hujjahku, tunjukilah hatiku, jagalah lisanku dan hilangkan rasa dengki dari hatiku. (H.R Abu Dawud dan Imam Ahmad, dari Ibnu Abbas).

Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A'lam.  (632)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar