Minggu, 06 September 2015

SYARIAT ADALAH PATOKAN KEBAIKAN DAN KEBURUKAN



SYARIAT ADALAH PATOKAN KEBAIKAN DAN KEBURUKAN

Oleh : Azwir B. Chaniago

Dalam menimbang dan menetapkan suatu perbuatan atau keadaan, apakah baik atau buruk diperlukan batasan penilaian, patokan atau standar yang jelas. Dan sungguh tidaklah ada keraguan sedikitpun bahwa di dalam Islam syariatlah yang menjadi patokan atau standarnya. Jika syariat mengatakan baik maka itulah kebaikan yang hakiki. Begitu pula, jika syariat mengatakan sesuatu itu buruk maka itulah keburukan yang hakiki.

Di dalam Islam patokan atau standar tentang baik dan buruk adalah syariat yaitu dalil dalil dari al Qur-an dan as Sunnah dengan pemahaman shalafus shalih. Allah berfirman : “Wa anna haadzaa shirathii mustaqiiman fat tabi’us subula fa tafarraqa bikum ‘an sabiilihii, dzaalikum wash shaakum bihii la’allakum tattaquun”. Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah. Jangan kamu ikuti jalan jalan (yang lain) yang akan mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa. (Q.S al An’am 153). 
      
Sungguh Islam tidaklah menganggap bahwa hasil pemikiran manusia atau pendapat orang banyak sebagai suatu patokan kebaikan atau keburukan. Bahkan mengikuti orang banyak bisa menyesatkan.

Allah berfirman : Wain tuthi’ aktsara man fil ardhi yudhilluuka ‘an sabiilillahi, in yattabi’uuna illazh zhanna wain hum illaa yakhrushuun”. Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan. (Q.S al An’am 116).    
    
Ibnu Taimiyah berkata : Standar baik dan buruk adalah sesuai dengan timbangan syariat. Kapan saja ada dari nash al Qur-an dan Hadits Nabi maka ia tidak boleh diselisihi. Namun jika tidak ada nash atau dalil yang jelas dari syariat, maka dipersilahkan berijtihad dengan cara memahami persamaan dan perbandingan antara permasalahan hukum Islam yang dinamakan dengan asybah wa nazhaa-ir. (Ijtihad ini tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang, pen.) tapi hanya boleh dilakukan oleh para ahli dan orang yang mumpuni dalam hukum agama (Majmu’ Fatawa).  

Lalu bagaimana jika standar atau patokan kebaikan dan keburukan diserahkan kepada pemikiran, selera dan keinginan manusia ? Ini menimbulkan pertanyaan berikutnya yaitu pemikiran, selera dan keinginan siapa yang akan diikuti ?. Sebab manusia memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya dan juga memiliki kepentingan sendiri sendiri yang bisa saja berlawanan dengan kepentingan manusia  lainnya. Akibatnya akan mendatangkan konflik dan permusuhan serta kerusakan. Selain itu manusia juga memiliki hawa nafsu yang cenderung kepada keburukan. Pendapat seseorang atau sekelompok orang tidaklah bisa dijadikan sebagai patokan dalam menentukan sesuatu itu benar atau sesuatu itu salah. Bahkan bisa benar menurut seseorang tapi salah menurut yang lain. 

Allah telah berfirman : “Walawit taba’al haqqu ahwaa-ahum lafasadatis samaawaatu wal ardhu wa man fiihinna”  Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka pasti binasalah langit dan bumi ini dan semua yang ada di dalamnya. (Q.S al Mukminuun 71).

Bagaimana mungkin manusia akan menetapkan standar kebenaran dan keburukan dengan menggunakan pemikiran mereka karena Allah yang Maha Mengetahui sedangkan manusia hanya diberikan pengetahuan yang sangat sedikit. Allah berfirman : “Wamaa uutiitum minal ‘ilmi illaa qaliilaa” Sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit. (Q.S al Israa’ 85)   

Lalu Allah Ta’ala menurunkan syariat ini melalui Rasul-Nya yang  berperan sebagai al basyir yaitu pemberi kabar gembira yang diantaranya adalah mengajarkan dan mengajak kepada kebaikan yang hakiki. Dan juga berperan sebagai an nadzir yaitu pemberi peringatan yang diantaranya adalah mengingatkan tentang keburukan dan mengajak untuk menjauhinya. 

Allah berfirman : “Wamaa arsalnaaka illaa kaaffatal linnaasi basyiran wa nadziiraa, walaakinal aktsarannasi laa ya’lamuun”. Dan Kami tidak mengutus kamu melainkan sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui (Q.S Saba’ 28).

Oleh sebab itu manakala (1) Orang yang ingin mengetahui kebaikan dan mengetahui keburukan yang hakiki (2) Orang yang ingin melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan maka tiada cara baginya kecuali mempelajari, memahami dan mengamalkan serta mengajarkan al Qur-an dan as Sunnah sebagaimana pemahaman salafush shalih.   Inilah jalan yang paling baik dan paling utama untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sungguh tidaklah ada jalan yang lain.

Ya Allah, ya Rabb berilah kami kekuatan dan keteguhan hati untuk menempuh jalan kebaikan dan menghidar dari berbagai jalan keburukan.  

Wallahu A’lam. (391)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar