Rabu, 27 Agustus 2014

TAFAKUR DAN MERENUNGLAH



BERHENTILAH SEJENAK UNTUK BERTAFAKUR  
 |
Oleh : Azwir B. Chaniago

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
  (Orang yang berakal adalah) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka bertafakur,  memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Rabb kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. “(Q.S Ali Imran 191)

Muqaddimah.
Tafakur secara bahasa berarti berarti berfikir, memikirkan atau merenungkan. Hakikat dari tafakur adalah seperti yang diungkapkan orang orang bijak : Berhentilah barang sejenak, bertafakurlah, berfikirlah, merenunglah, lalu berjalanlah kembali. Jadi dalam hidup ini bukan tafakur atau merenung terus tapi berjalanlah, bergeraklah dan melangkahlah mencari karunia Allah.

Amat disayangkan, disebabkan perlombaan dalam berbagai bidang kehidupan yang serba modern dan serba cepat, adu cepat bahkan rebutan dalam urusan dunia maka kebanyakan manusia hampir tidak punya waktu sedikitpun untuk bertafakur. Sungguh Allah telah mengingatkan kita untuk senantiasa bertafakur dalam berbagai keadaaan, baik ketika berdiri, duduk ataupun berbaring. Disebutkan bertafakur dalam setiap keadaan karena keadaan atau posisi manusia memang hanya pada tiga keadaan. Kalau tidak berdiri, duduk. Kalau tidak duduk berbaring. Tidak ada posisi keempat. Allah juga mengingatkan bahwa bertafakur, memikirkan ciptaan ciptaan Allah  sebagai salah satu tanda orang yang berakal.
Imam Hasan al Bashri berkata : “Tafakur atau renungan adalah ibarat cermin yang menampakkan kepadamu kebaikan kebaikanmu dan keburukan keburukanmu.”  Memang setiap saat kita bercermin untuk melihat kebaikan dan kekurangan diri kita secara fisik. Tapi Imam Hasan al Bashri telah memberikan nasehat agar senantiasa bertafakur yaitu antara lain  untuk bercermin melihat perbuatan perbuatan baik  dan juga perbuatan perbuatan buruk  yang telah kita lakukan. 
Tafakur dalam hal apa saja.
Sungguh sangatlah banyak hal yang seharusnya kita bertafakur atau merenung atasnya. Diantaranya adalah :
Pertama : Tafakur terhadap tanda tanda kebesaran Allah Ta’ala.
 Allah berfirman : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi  dan silir bergantinya malam dan siang terdapat tanda tanda bagi orang orang yang berakal (Q.S Ali Imran 190). Sungguh penciptaan langit dan bumi beserta segala isinya ini haruslah menjadi renungan bagi kita. Inilah yang disebut ayat ayat kauniyah yang seharusnya menjadi  pelajaran. Semuanya kalau kita renungkan dengan sungguh sungguh pastilah akan menambah rasa takut dan ketundukkan kita kepada kekuasaan dan kebesaran Allah Ta’ala.
Kedua : Tafakur terhadap keajaiban alam dan diri kita.
Sungguh alam semesta ini bahkan pada diri kita terdapat keajaiban yang sangatlah banyak. Semuanya adalah memberikan pelajaran kepada kita tentang Maha Perkasanya Allah. Kita disuruh untuk memperhatikan dan merenungkannya.  Allah berfirman : “Dan di bumi itu terdapat tanda tanda (kekuasaan Allah) bagi orang orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan ? (Q.S adz Dzaariat 20-21).

Ketiga : Tafakur terhadap nikmat Allah yang tidak putus putusnya.
Sangatlah banyak nikmat Allah bagi kita. Demikian banyaknya sampai sampai ada diantara nikmat Allah yang tidak kita sadari tapi Allah dengan kasih sayangnya memberikan kepada kita karena semuanya itu adalah kebutuhan dan kebaikan bagi kita. Bahkan untuk menghitungnyapun kita tidak mampu.
Allah berfirman : “Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Esungguhnya manusia itu sangat dzalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah) Q.S Ibrahim 34.
   
Keempat : Tafakur terhadap kekurangan kita dalam beribadah.
Kita sebagai hamba, diciptakan Allah adalah hanya untuk beribadah dan mengabdi kepada-Nya. Prof DR. Hamka pernah berkata : “Tidak ada kegunaan manusia diciptakan Allah selain untuk beribadah kepada-Nya”
Jadi andaikata ada diantara kita yang ditakdirkan Allah jadi penguasa, maka haruslah berkuasa dalam rangka pengabdian kepada Allah, jika memiliki harta haruslah dalam rangka pengabdian kepada Allah, punya jabatan, haruslah dalam rangka pengabdian kepada Allah. Bahkan yang tidak berharta dan tidak punya kedudukan atau pangkat apapun, haruslah menjaga diri agar tetap menjalani hidupnya secara keseluruhan dalam rangka pengabdian kepada Allah.   
Allah berfirman : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (Q.S adz Dzaariat 56).   
   
Mari kita renungkan pula bahwa seorang hamba yang diperintahkan Allah untuk beribadah tentulah  ingin  mempersembahkan yang terbaik dari ibadah ibadahnya kepada Allah. Insya Allah, kita berusaha melakukan ibadah dengan baik.
Lalu ada yang bertanya : Apakah yang dimaksud dengan ibadah yang baik itu. Qadhi bin Iyadh menjelaskan tentang makna ibadah yang baik sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat al Mulk ayat 2 :  “(Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya dan Dia Mahaperkasa lagi Mahapengampun.
Ahsanu ‘amala (amal yang baik), dalam ayat ini, kata Qadhi Iyadh bermakna : Ibadah yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan yang diajarkan atau dicontohkan oleh Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam.
Para ulama tidak berbeda pendapat bahwa dua hal  ini adalah syarat diterimanya ibadah seorang hamba. Ini adalah bagian yang harus menjadi renungan kita. Kita bertafakur, kita merenung apakah amal amal kita yang kita lakukan betul betul telah ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah.
Sungguh apa yang kami uraikan diatas hanyalah sebagian kecil dari penjelasan tentang tafakur. Semoga yang sedikit ini akan memberi manfaat bagi kita semua.
 Alahamdulillahi rabbil ‘alamiin.  



   



Tidak ada komentar:

Posting Komentar