Jumat, 19 Mei 2017

ORANG BERIMAN BERKEWAJIBAN MENJAGA SIFAT MALU



ORANG BERIMAN BERKEWAJIBAN MENJAGA SIFAT MALU

Oleh : Azwir B. Chaniago

Muqaddimah.
Salah satu kewajiban yang harus terus menerus dipelihara oleh setiap hamba Allah adalah sifat  malu. Malu kepada Allah dan malu kepada manusia. Sifat malu haruslah mewarnai  perkataan dan perbuatannya.

Sifat malu hakikatnya adalah baik dan  mendatangkan kebaikan. Rasa malu akan senantiasa mengajak pemiliknya untuk berhias dengannya dan menjauhkan dari sifat sifat rendah dan hina. Rasulullah bersabda : “Al hayaa’u laa ya’ti illa bi khairin”. Malu itu tidak mendatangkan (sesuatu) kecuali kebaikan (Mutafaq ‘alaihi).

Imam Muslim meriwayatkan : “Al hayaa-u khairun kulluhu”. Malu itu seluruhnya baik.
Seorang sahabat pernah mengecam saudaranya dalam hal malu, seolah olah ia berkata kepada saudaranya : Sungguh malu telah merugikanmu. Lalu Rasulullah bersabda : Da’huu fa innal hayaa’a minal iman”. Biarkan dia, karena malu termasuk iman. (H.R Imam Bukhari).

Syaikh Salim bin ‘Ied al Hilaly berkata : (1)  Malu adalah akhlak yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan buruk dan tercela. (2) Menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat. (3) Mencegahnya dari sikap melalaikan hak orang lain.

Jika tidak malu berbuatlah sesukamu
Rasulullah mengingatkan kita bahwa rasa malu adalah perkara yang termasuk dalam kalimat kenabian dari dahulu. Rasulullah bersabda : “Inna mimma adrakan naassu min kalaamin nubuwatil uula. Idzaa lam tastahyi fashna’ ma syi’ta. Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui manusia (secara turun temurun) dari kalimat kenabian terdahulu adalah : Jika engkau tidak malu maka berbuatlah sesukamu.(H.R Imam Bukahri dan juga diriwayatkan oleh 9 ahli hadits selainnya).

Inti pokok hadits ini adalah : Jika engkau tidak malu maka berbuatlah sesukamu. Lalu apa makna kata malu.  Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci. (Ibnu Hibban al Busti).

Rasulullah mengingatkan bahwa terdapat keterkaitan yang kuat antara malu dengan iman yaitu merupakan salah satu cabangnya. Rasulullah bersabda : “Al iimaan bidh’un wa sab’uun au sittuuna syu’bah. Fa afdhaluha qaulu lailaha ilallah wa adnaahaa imaathtul adza ‘anith thaariq. Wal hayaa’u syu’batun minal iimaan”.

Iman memiliki lebih dari 70 atau 60 cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan Laa ilaaha ilallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang iman. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Rasulullah bersabda : Al hayaa-u wal iimaanu qurinaa jamii’aa. Fa idza rufi’a ahaduhumaa rufi’al akharu. Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut maka hilanglah yang lainnya. (H.R al Hakim dan ath Thabrani).

Rasa malu membuat seseorang berprilaku terpuji
Ketahuilah bahwa sifat atau perasaan malu akan mendatangkan ‘iffah yaitu  terjaganya kehormatan diri. Bukankah banyak manusia jatuh harga diri dan kehormatannya bahkan menjadi hina karena tidak memelihara sifat malu.

Oleh karena itu al Imam Ibnu Hibban mengingatkan bahwa : (1) Wajib bagi orang orang yang berakal untuk bersikap malu terhadap sesama manusia. Diantara berkah mulia yang didapat dari membiasakan diri bersikap malu adalah terbiasa berprilaku terpuji dan menjauhi sikap tercela. (2) Bila rasa malunya lebih dominan maka semakin kuat pula prilaku baiknya sedangkan prilaku buruknya akan melemah. Tapi sebaliknya, jika rasa malunya melemah maka sikap buruknya menguat dan kebaikannya meredup.

Ibnu Hibban juga mengingatkan : (1) Siapa yang hilang rasa malunya pasti hilang pula kebahagiaannya. (2) Siapa yang hilang kebahagiaannya pasti akan hina dan dibenci manusia. (3) Siapa yang dibenci manusia pasti disakiti (4) Siapa yang disakiti pasti akan bersedih. (5) Siapa yang bersedih pasti akan memikirkannya. (6) Siapa yang pikirannya tertimpa ujian maka sebagian besar ucapannya menjadi dosa dan tidak mendatangkan pahala baginya. (7) Siapa yang sedikit rasa malunya ia akan berbuat sekehendaknya dan berucap apa yang disukainya.

Syaikh Salim bin ‘Ied al Hilaly berkata : (1)  Malu adalah akhlak yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan buruk dan tercela. (2) Menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat. (3) Mencegahnya dari sikap melalaikan hak orang lain.

Adakah sifat malu yang tercela ?.
Malu pada haikatnya adalah baik. Namun jika ada perasaan yang membuat seseorang sungkan melakukan ketaatan maka itu tidak disebut dengan malu. Ini bukan malu yang bermakna kebaikan. Ini adalah kelemahan atau perasaan rendah diri dan masuk kategori malu yang tercela karena perasaan malu telah menghalanginya untuk memperoleh kebaikan.

Jika seseorang merasa malu belajar ilmu syar’i seperti belajar al Qur-an, tata cara shalat yang benar karena umur sudah lanjut, malu menampilkan keislaman, malu shalat ke masjid karena tidak pernah dan yang lainnya, maka ini tercela. Sungguh tidak ada istilah malu dalam ketaatan selama perbuatan itu sesuai dengan syariat.

Imam Mujahid mengingatkan : Tidak akan mendapat ilmu orang yang malu dan orang yang sombong. (Atsar shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari).

Al Qadhi Iyadh berkata : Malu yang menyebabkan seseorang menyia nyiakan berbagai hak bukanlah malu yang disyariatkan. Bahkan ini sebagai ketidak mampuan atau kelemahan (Fathul Bari).

Tidak punya malu berarti lebih buruk dari manusia zaman Jahiliyah.

Di zaman ini ada manusia yang tidak memiliki rasa malu sehingga mereka berbuat sesukanya berbicara seenaknya. Memalukan dalam ucapan dan perbuatan. Sebagian manusia di zaman ini tidak malu berbohong, tidak malu memberikan kesaksian palsu. Tidak malu membela kemungkaran bahkan kekufuran juga dibela.

Mereka tidak malu melakukan berbagai perbuatan tercela  bukan hanya di kala sendirian. Tidak diketahui orang lain, tapi juga dihadapan orang banyak.   Mereka berbuat maksiat tanpa malu. Ini adalah  sikap yang lebih buruk dari kafir Quraisy di zaman Jahiliah yang masih musyrik.

Ketahuilah bahwa ternyata bagi kafir Quraisy adalah  aib  untuk melakukan sesuatu yang memalukan. Rasa malu telah mencegahnya dari perbuatan bohong meskipun untuk menceritakan sesuatu tentang keburukan musuh di mata mereka. Mereka sangat malu dan khawatir kalau sampai dicap sebagai pembohong.

Dalam sebuah hadits yang cukup panjang disebutkan oleh Imam Bukhari yaitu ketika Abu Sufyan, pemuka kafir Quraisy diajak berdialog dan ditanya oleh Hiraklius pembesar Rumawi tentang Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam. Abu Sufyan tidaklah mengatakan suatu kebohongan tentang Rasulullah meskipun Abu Sufyan masih kafir dan sangat membenci serta memusuhi Islam.

Abu Sufyan berkata tentang dialognya dengan Hiraklius : Demi Allah, kalau bukan karena malu yang aku khawatirkan dan dituduhkan oleh mereka sebagai pembohong, niscaya aku berbohong kepadanya (maksudnya berbohong kepada Hiraklius tentang Rasulullah, pen.).

Oleh karena itu seorang hamba Allah selalu akan menjaga rasa malunya terutama kepada Allah Ta’ala dan juga terhadap manusia. Dengan demikian insya Allah dirinya akan terpelihara dari keburukan dan kehinaan. Wallahu A’lam. (1.041).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar