Jumat, 23 Januari 2015

LARANGAN MEMINTA JABATAN



LARANGAN MEMINTA JABATAN

Oleh : Azwir B. Chaniago



Hukum asal  meminta jabatan.
Hukum asal meminta jabatan didalam syari’at Islam adalah tidak dibolehkan atau dilarang. Jabatan hanya boleh diterima jika diberikan dan tidak dengan diminta.
Dari Abdurrahman bin Samurah, dia berkata bahwa Rasulullah telah bersabda : “Ya ‘abdarrahmani laa tas-al imaarata, fa innnaka in u’thiitahaa ‘an mas-alatin wukilta ilaihaa wa-in u’thitahaa ‘an ghairi mas-alatin u’inta ‘alaihaa”  Wahai Abdurrahman, janganlah kamu meminta pangkat kedudukan. Apabila kamu diberi karena kamu memintanya maka hal itu akan menjadi suatu beban yang berat bagimu. Lain halnya apabila kamu diberi dengan tidak adanya permintaan darimu, maka kamu akan ditolong (H.R Imam Muslim).

Imam an Nawawi berkata : Hadits ini memberikan faedah bahwa kita dilarang meminta jabatan, meminta jadi hakim dan mengatur urusan keuangan dan yang lainnya. Barangsiapa memaksakan diri meminta, dia tidak akan ditolong oleh Allah dan tidak mungkin beres urusannya. Maka janganlah meminta jabatan (Lihat Syarah Shahih Muslim). 

Imam al Bukhari dalam Kitab Shahihnya membuat satu judul bab “Larangan mencari dan memburu Kedudukan” dan dalam bab ini beliau membawakan hadits dari Abu Musa.
Abu Musa berkata : “Aku menemui Nabi bersama dua orang dari kaumku. Lantas satu diantara kedua orang itu mengatakan : Jadikanlah kami pejabat wahai Rasulullah. Orang kedua juga mengatakan permintaan yang sama. Spontan Rasulullah bersabda : Kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada orang yang memintanya. Tidak juga kepada orang yang memilki ambisi terhadapnya”. (H.R Imam Bukhari). 

Dari Abu Dzar bahwasanya ia berkata : “Saya pernah bertanya kepada Rasulullah Salalllahu ‘alaihi wasallam : Wahai rasulullah, mengapa engkau tidak memberikan tugas (jabatan) kepadaku ?. Sambil menepuk pundakku, beliau bersabda : Wahai Abu Dzar sesungguhnya kamu ini orang yang lemah sedangkan tugas yang kamu minta itu merupakan sebuah amanah. Ketahuilah bahwasanya pada hari Kiamat kelak, amanah tersebut merupakan sesuatu yang akan mendatangkan kenistaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengembannya dengan benar serta memenuhi segala kewajiban amanah yang telah dibebankan kepadanya (H.R Imam Muslim).

Kenapa dilarang meminta jabatan.

Pertama : Memang Rasulullah, dalam banyak hadits melarang umatnya untuk meminta jabatan dan kedudukan. Jika Rasulullah melarang sesuatu pastilah disitu ada mudharat padanya. Dalam hal ini posisi kita adalah : Sami’na wa ata’na. Kami dengar dan kami patuh. Tidaklah boleh kita mencari cari alasan dengan menggunakan akal dan ilmu kita yang sangat sedikit untuk menyelisihi Rasulullah.

Kedua : Para ulama menjelaskan diantara sebab sebab pelarangan meminta jabatan dalam Islam.
1.  Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata : Meminta jabatan boleh jadi niatnya agar bisa menguasai manusia, membanggakan diri (dengan jabatannya, pen.) Menguasai hak hak mereka, memerintah dan melarang, sehingga niatnya tidak baik, maka dia tidak mendapatkan kenikmatan di akhirat. Oleh karena itu kita berlindung kepada Allah dari fitnah ambisi kepemimpinan (Syarah Riyadush Shalihin)

2.     Syaikh Salim bin Id al Hilali berkata : Islam tidak memberikan jabatan kepada orang yang memintanya, karena kepemimpinan  adalah amanah yang cukup besar. Dan tanggung jawabnya cukup besar bahayanya. Maka orang yang jadi pemimpin hendaknya benar benar menjaga amanah dan tidak mengkhianati hukum Allah (Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadush Shalihin).

Ketahuilah bahwa para sahabat adalah orang orang yang dipilih Allah mendampingi Nabi-Nya untuk menegakkan Islam. Sahabat adalah orang orang yang Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah. Mereka adalah orang orang yang lurus akidahnya, sangat baik amalnya, mulia akhlaknya dan sangat baik dalam bermuamalah. Rasulullah bersabda : “Khairunnas qarni” Sebaik baik manusia adalah pada masa ku ini. (Mutafaq ‘alahi)
Dengan keadaan yang demikian Rasulullah tetap melarang para sahabat meminta jabatan, kecuali jika diberi atau ditugaskan.

Ulama ulama terdahulu berebut menolak jabatan.
Pada suatu kali, Khalifah Umar bin Abdul Aziz akan mengangkat seseorang untuk menjadi Qadhi (Kepala Pengadilan) di Bashrah. Pada zaman itu jabatan sebagai qadhi adalah suatu jabatan yang sangat bergengsi di masyarakat.

Khalifah menugaskan seorang kepercayaannya setingkat mentri yaitu Adi bin Arthas, untuk memilih satu diantara dua orang yang sangat berilmu dan pantas menduduki jabatan Qadhi,  yaitu : Iyas bin Muawiyah al Muzani atau al Qasim bin Rabi’ah al Haritsi. Kedua orang ini adalah ulama besar di zamannya.

Kedua ulama ini yaitu  Iyas dan al Qasim diundang untuk bertemu Adi bin Arthas. Membuka pertemuan tersebut Adi bin Arthas berkata : Saya ditugaskan Khalifah untuk mengangkat satu diantara anda berdua untuk menjadi Qadhi di Bashrah. Bagaimana pendapat anda.

Calon pertama : Iyas bin Muawiyah al Muzani.
 Iyas berkata : Saya tidak pantas menjadi Qadhi karena sungguh saya melihat ada yang lebih cocok dan lebih baik daripada saya untuk menduduki jabatan itu,  yakni al Qasim. Untuk mendukung pendapatnya, Iyas menceritakan  kebaikan dan keutamaan yang banyak tentang al Qasim dibanding dirinya.

Calon kedua : Al Qasim bin Rabi’ah al Haritsi.
Giliran al Qasim berbicara : Sungguh saya tidak pantas menjadi Qadhi karena ada yang lebih baik  dan lebih mampu daripada saya  untuk memegang jabatan ini  yaitu Iyas bin Muawiyah. Lalu al Qasim menguraikan panjang lebar tentang kelebihan dan keutamaan Iyas dibanding dirinya.

Tidak  ada diantara dua calon ini yang menyebutkan secuilpun tentang keutamaan dirinya apalagi  berpromosi untuk bisa diangkat menjadi Qadhi. Sebenarnya kedua calon ini tidak menolak tapi mereka beranggapan bahwa dia tidak lebih baik dari calon yang lain. Begitulah gambaran ketawadhu’ an orang shalih dan berilmu saat itu. 

Akhirnya setelah diskusi yang panjang dan mendengarkan berbagai argumentasi diantara dua calon untuk tidak memilih dirinya, maka Adi bin Arthas berkata : Kita tidak boleh keluar dari ruangan ini sebelum diputuskan siapa yang akan menjadi Qadhi karena ini adalah amanah dari Khalifah kepada saya. Untuk itu izinkan saya mengambil keputusan dan harap anda menerimanya. Saya memutuskan untuk mengangkat Iyas bin Muawiyah sebagai Qadhi. (Kitab Jejak Tabi’in, DR. Abdurrahman Basya)

Lalu bagaimana jika dibandingkan dengan keadaan kita saat ini. Masih adakah orang orang yang merasa bahwa dirinya tidak pantas untuk menduduki suatu jabatan ? Ataukah masih banyak yang meminta bahkan berebut jabatan. Kita boleh berprasangka baik, mudah mudahan semua itu dilakukan dengan niat ikhlas dalam rangka mencari ridha Allah semata. 

Lalu bagaimana jika dibandingkan dengan keadaan manusia di zaman ini dalam hal jabatan ?

Allahu A’lam.  (188)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar