Rabu, 14 Januari 2015

HUJAN ADALAH RAHMAT



HUJAN ADALAH RAHMAT ALLAH

Oleh : Azwir B. Chaniago

Muqaddimah
 Allah menurunkan hujan kepada kita kapan saja dan dimana saja Dia berkehendak. Ketahuilah bahwa berbicara tentang hujan sebenarnya kta bicara tentang rahmat Allah yang diturunkan kepada kita berupa air yang mensucikan, sebagaimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya : Wahuwal ladzi arsalar riyaaha busyram baina yadai rahmatihii, wa anzalnaa minas samaa-i maa-an  thahuuraa. Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan). Dan kami turunkan dari langit air yang mensucikan (Q.S al Furqan 48).

Selain sebagai rahmat, Allah menjelaskan kepada kita bahwa hujan adalah salah satu tanda kebesaran Allah. Allah menjelaskan pula bahwa bumi ini gersang, tandus lalu disiram hujan menjadi subur. Allah berfirman : “Dan sebagian dari tanda tanda (kebesaran) Nya. Engkau melihat bumi itu kering dan tandus, tetapi apabila Kami turunkan hujan diatasnya, niscaya dia bergerak dan subur. Sesungguhnya (Allah) yang menghidupkannya pasti dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu” (Q.S Fusilat 39). 

Hujan bukan musibah.  
Kenyataan yang kita lihat disebagian negeri kita adalah bahwa hujan telah mendatangkan banjir, longsor, kemacetan dimana mana dan yang lainnya.
Ketahuilah bahwa hakikatnya hujan tidaklah mendatangkan musibah karena Allah yang berfirman bahwa hujan adalah rahmat. Jika Allah berfirman bahwa hujan adalah rahmat lalu sebagian manusia mengatakan musibah, maka yang benar pastilah apa yang difirmankan Allah.

Sungguh Allah tidak akan pernah menzhalimi hambanya karena Allah mengharamkan kezhaliman bagi diri-Nya. Dari Abu Dzarr al Ghifari, dari Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana beliau riwayatkan dari Allah, bahwa Dia berfirman :”Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku dan Aku telah mengharamkannya atas kalian, maka janganlah kalian saling menzhalimi” (Hadits Qudsi, diriwayatkan oleh Imam Muslim) 

Musibah tersebab dosa manusia
Sungguh Allah Ta’ala telah mengingatkan kita dalam firmanNya :“Wamaa ashaabakum min musiibatin fabima kasabat aidiikum wa ya’fuu ‘an kasyiir” Dan musibah apa saja yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan kesalahanmu). Q.S asy Syuura 30.
Para ulama menjelaskan bahwa kasabat aidiikum, perbuatan tanganmu dalam ayat ini maknanya adalah dosa dosa kalian. 

Ketahuilah bahwa umat terdahulu seperti kaum Nabi Nuh yang durhaka diadzab dengan banjir besar. Sungguh banjir itu datang bukan karena mereka membuang sampah sembarangan atau karena pengrusakan lingkungan, pembalakan liar dan penggundulan hutan tetapi mereka diadzab karena dosa dosa mereka terutama kesyirikan dan menolak ajaran Nabi Nuh.

Kita memahami bahwa merusak lingkungan, buang sampah sembarangan, penggundulan hutan memang salah satu pemicu musibah banjir. Tapi sekali lagi dikatakan bahwa penyebab paling utama adalah dosa dosa manusia yang belum bertaubat. 

Mari kita merenung sejenak sambil bertanya pada diri kita. Di negeri kita ini, khususnya di Jabodetabek, dosa apa yang belum pernah dilakukan manusia. Semua sudah dilakukan. Mulai dari dosa yang paling besar seperti mengolok olok ayat ayat Allah, melakukan kesyirikan, pembunuhan, perampokan, korupsi, perzinaan dan yang lainnya sudah sangat banyak terjadi. Juga termasuk kelalaian yang amat sangat dari sebagian kita untuk melaksanakan perintah Allah khususnya ibadah. 

Atas semua dosa ini sebagian besar kita belum betul betul bertaubat. Kalaupun ada mungkin belum memenuhi syarat syarat taubat yang syar’i. Bukankah ini berpotensi untuk menjadi penyebab datangnya murka Allah Subahanahu wa Ta’ala dan bermuara kepada musibah. 

Komentar buruk terhadap hujan.
Selain itu, secara khusus adalah juga dosa dosa tersebab kelakuan kita dalam menyikapi dan menerima rahmat Allah berupa hujan.
Perhatikanlah komentar sebagian manusia yang suka berburuk sangka kepada Allah. jika melihat hujan mau turun. Ada diantara kita  berkomentar sesukanya, seperti :

Pertama : Ini bakal banjir lagi, longsor lagi, macet lagi. Padahal belum tentu terjadi.

Kedua  : Kalau bisa jangan ada hujan hari ini. Makna dari komentar ini adalah kalau bisa jangan ada rahmat Allah hari ini. Jadi rahmat Allah ditolak.

Ketiga : Alhamdulillah hari ini tidak hujan, maknanya adalah alhamdulillah hari ini tidak ada rahmat Allah. Seolah olah mereka senang kalau rahmat Allah tidak datang . Ketahuilah bahwa rahmat Allah bermakna kasih sayang Allah. 
 
Komentar komentar buruk ini juga akan mendatangkan murka atau adzab Allah. Bukankah mencela hujan adalah sama dengan mencela perbuatan dan ketetapan dari Dzat yang menurunkan hujan yaitu Allah Ta’ala. Akibatnya, Allah mengalihkan hujan dari rahmat menjadi adzab.

Satu hal lagi yang juga akan mendatangkan murka Allah adalah kelakuan sebagian manusia yang suka menyelisihi Rasulullah termasuk dalam cara menyikapi hujan. Sungguh orang orang yang menyelisihi apa yang diajarkan Rasulullah maka Allah akan mendatangkan baginya cobaan bahkan adzab yang pedih.

Allah berfirman : “Falyahdzaril ladzina yukhaalifuuna ‘an amrihii an tushibahum fitnatun au yushibahum ‘adzabun aliim”.    Maka hendaklah orang orang yang menyelisihi perintahnya (perintah Rasulullah) takut akan mendapat cobaan atau adzab yang pedih. (Q.S an Nuur 63).

‘Adzabun alim atau adzab yang pedih bermakna adzab terhadap fisik seperti diri sendiri, keluarga, harta dan juga non fisik berupa ketakutan, kecemasan dan yang lainnya.

Diantara yang juga akan mendatangkan musibah adalah sangat sedikitnya syukur kita terhadap nikmat nikmat Allah. Allah berfirman : “Wala-in kafartum inna ‘adzaabii lasyadiid.” Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka  adzabku sangat pedih. (Q.S Ibrahim 7).

Mari kita periksa diri kita. Baru seberapa besar syukur kita kepada   nikmat nikmat Allah yang kita peroleh. Mungkin banyak lalai kita dalam bersyukur.

Bagaimana Rasulullah menyikapi hujan
Sungguh Rasulullah adalah uswah hasanah, contoh teladan yang baik, bagi kita dalam segala hal, baik dalam aqidah, ibadah, akhlak dan muamalah. Dalam menyikapi hujan beliau juga telah memberikan teladan bagi kita. Diantaranya adalah :

Pertama : Begitu melihat mendung, awan hitam pertanda akan turun hujan, beliau berobah wajahnya menunjukkan kecemasan. Ketika ditanya Aisyah kenapa beliau demikian cemas, beliau menjawab : Ya Aisyah tidak ada yang bisa menjamin bahwa dengan awan hitam ini Allah tidak akan menurunkan bala karena dosa dosa kita.

Lalu bandingkanlah sikap beliau dengan sikap kita saat ini jika melihat awan hitam. Hampir tidak ada diantara kita yang menunjukkan kecemasan. Manusia beranggap bahwa itu adalah fenomena alam biasa, yang dari dulu juga begitu.

Kedua : Begitu hujan mulai turun beliau berdoa yaitu sebagai konsekwensi dari kecemasan tadi. Kita umumnya tidak berdoa karena tidak memiliki rasa cemas apapun.
Doa yang beliau baca adalah : “Allahumma shaiyiban naafi’an”  Ya Allah jadikanlah hujan ini hujan yang bermanfaat.

Ketiga : Jika beliau di perjalanan lalu hujan turun, beliau tidak langsung berteduh tapi membuka tutup kepala atau sebagian dari penutup lengan atau bagian tubuh beliau untuk dibiarkan langsung kena hujan setelah itu baru berteduh. 

Melihat ini maka Anas bin Malik bertanya : Ya Rasulullah kenapa engkau melakukan seperti itu. Beliau bersabda : Bahwa hujan ini baru turun langsung dari Rabbnya. Belum ada yang menyentuh sehingga nikmatnya belum berkurang.  
  
Keempat : Pada saat hujan turun beliau banyak berdoa meminta apa saja yang beliau inginkan, karena pada saat hujan turun adalah salah satu waktu atau keadaan doa diijabah.

Kelima : Jika hujan telah berhenti maka beliau berdoa dan memuji Allah : “Muthirna bifadhlihi wa rakhmatihi” Kami telah (diberi hujan) dengan karunia dan rahmat-Nya. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Doa ini juga menjadi dalil bahwa hujan adalah karunia dan rahmat Allah.

Semoga tulisan ini  ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam.  (184)



  

 
 

1 komentar: