Kamis, 11 September 2014

SIKAP SETELAH IBADAH



EMPAT SIKAP SETELAH IBADAH
   
Oleh : Azwir B. Chaniago
Muqaddimah.
Seorang muslim tidaklah mencukupkan  diri dengan mengatakan  beriman saja tapi iman haruslah diisi dengan amal  shaleh. Tidaklah kebaikan di akhirat akan diperoleh dengan iman saja tapi haruslah juga dengan amal shalih. Allah berfirman : Wa basysyiril ladzi naamanu waamilush shalihati  Dan berilah kabar gembira untuk orang orang beriman dan beramal shalih (Q.S al Baqarah 25). 
Jadi kabar gembira (dengan surga) adalah untuk yang beriman dan beramal shalih. Amal shalih itu secara sederhana dapat dijelaskan yaitu melakukan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.

Rasulullah bersabda : Maa nahaitukumanhu  fajtanibuhu. Wamaa amartukum bihi faktu minhu mastata’tum. Apa yang aku larang kalian maka jauhilah dan apa yang aku suruh maka lakukanlah semampu kalian (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Alhamdulillah sebagai orang yang beriman, kita telah berusaha melakukan berbagai ibadah dan amal saleh sebagaimana yang disyari’atkan sesuai kemampuan kita.

Menjaga dan memelihara amal shalih.
Ketahuilah bahwa amal shalih yang telah kita lakukan haruslah dijaga dan dipelihara agar bermanfaat untuk akhirat kita karena ini bekal kita pada saat kembali ke kampung akhirat. Sungguh yang akan ditimbang dan dihisab nanti adalah amal shalih, tidak yang lain. Diantara cara menjaga amal shalih  adalah dengan empat sikap setelah selesai beribadah atau setelah melakukan amal kebaikan, yakni :

Pertama : Tetap  ikhlas sampai kapanpun.
Para ulama sepakat bahwa syarat diterimanya suatu ibadah pertama adalah ikhlas dan kedua adalah ittiba’ yaitu mengikuti cara yang diajarkan Rasulullah.
Setelah selesai ibadah, para ulama dan orang-orang saleh senantiasa menjaga keikhlasan terhadap ibadah yang telah dilakukannya, karena mereka yakin betul bahwa keikhlasan harus terus dijaga sampai kapanpun. Mereka berusaha untuk tidak menyebut-nyebut apalagi membanggakan ibadah atau kebaikan yang telah dilakukan karena berpotensi  akan menghapus pahalanya.

Sungguh tidaklah seseorang itu ingin, jika sudah berpayah-payah melakukan suatu amal kebaikan lalu hilang begitu saja karena tidak menjaga keikhlasan setelah melakukan  amal  tersebut.
Memang  kadang – kadang  ada diantara saudara kita yang pada saat akan beramal  sangat ikhlas, pada saat melaksanakannya tetap menjaga keikhlasan tapi beberapa tahun setelah amal kebaikan itu dilakukan timbul rasa riya dan ujub  antara lain dengan menyebut dan sampai membanggakannya dihadapan orang lain.

 Kedua : Sikap harap dan cemas.
Para ulama terdahulu dan orang-orang saleh, jika selesai beribadah, senantiasa merasa harap dan cemas. Harap ibadahnya diterima dan cemas dan khawatir  kalau  ditolak.
Ketahuilah, bahwa sungguh tidak semua ibadah kita diterima Allah. Bukan Allah tidak suka menerima tetapi  lebih kepada kesalahan dan kekurangan kita dalam melakukan amal.  Bisa jadi karena keikhlasan kita tidak penuh atau ittiba’ kita yang dipertanyakan. Sikap harap dan cemas ini akan menumbuhkan dorongan bagi setiap mukmin untuk terus menerus berusaha memperbaiki amalnya sehingga menjadi amal yang bernilai disisi Allah.

Diantara dalil yang menjelaskan bahwa  tidak semua amal ibadah  diterima  adalah :
Allah Ta’ala berfirman : “Walladzina yu’tuna maa ataw wa qulubuhum  wajilatun annahum ila rabbihim raaji’uun. Dan mereka yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka. Q.S. Al Mu’minun 60.

Syaikh as Sa’di dalam kitab Tafsirnya antara  lain menjelaskan makna “dengan hati yang takut” adalah mereka merasa takut saat amalan-amalannya ditampilkan kepada Allah dan berdiri dihadapanNya, sekiranya amalan mereka tidak bisa menyelamatkan mereka dari siksa Allah.

Rasulullah salallahi wasallam selesai shalat  subuh selalu berdzikir antara lain dengan  membaca doa :
“Allahumma inni  as’aluka ‘ilman nafi’an wa rizqan thaiyiban wa amalan mutaqabbalan”.  Ya Allah aku bermohon ilmu yang bermanfaat, rizki  yang  baik dan amalan yang diterima. (H.R. Imam Ahmad).
Rasulullah selalu berdoa antara lain meminta agar amalan diterima. Ini suatu indikasi bahwa ada kemungkinan amal seseorang ditolak.

Nabi Ibrahim alaihissalam, setelah melakukan amal yang besar, yang diperintahkan Allah, yaitu meninggikan fondasi bangunan Ka’bah  atau ada yang menyebut   membangun Ka’bah bersama anaknya  Ismail  alaihissalam beliau berdoa “Rabbana  taqabbal  minna innaka  antas sami’ul  alim”.  Ya Rabb kami terimaalah amal kami sesungguhnya Engkau Mahamendengar dan Mahamengetahui. Beliau berdoa seperti itu karena berharap amalnya diterima dan khawatir kalau ditolak.

Ketiga : Bersyukur kepada Allah.
Kita beribadah adalah atas hidayah dan taufik dari Allah. Sungguh tidak ada suatu ibadah sekecil apapun yang  mampu kita lakukan tanpa hidayah dan pertolongan Allah. Dan ganjaran  atas  ibadah itupun diberikan Allah buat  kita. Ini adalah nikmat  Allah yang harus kita syukuri.
Allah berfirman : “Wa litukmilul ‘iddata wa litukabbirullaha  ‘ala maa hadakum wa la’allakum tasykurun. Hendaklah kamu mencukupkan bilangan (puasamu) dan mengagungkan Allah atas petunjuk Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur (Q.S. Al Baqarah 185).

Syaikh as Sa’di dalam Kitab Tafsirnya antara lain menjelaskan bahwa Allah memerintahkan untuk menyempurnakan bilangan (ibadah) puasa. Kemudian bersyukur kepada Allah saat telah sempurna segala bimbingan, kemudahan dan penjelasanNya kepada hamba-hambaNya.

Keempat : Memperbanyak istighfar. 
Ada pertanyaan. Kenapa setelah selesai beribadah kita  masih harus banyak beristighfar. Bukankah istighfar itu diperuntukkan bagi orang-orang yang   berbuat dosa. Ya komentar ini shahih. Tapi begitulah ketajaman ulama kita dalam memberikan bimbingan. Sungguh bagi seorang muslim istighfar tidak hanya berkaitan dengan dosa dan maksiat tapi juga setelah beramal. Ini tentu bukan tanpa alasan. Kenapa, karena tidak ada jaminan bahwa selama  beribadah kita tidak melakukan dosa.Tidak ada jaminan bahwa ibadah yang kita lakukan telah sempurna.  Mengakulah kepada Allah bahwa ibadah kita banyak  kekurangan maka beristighfarlah. Mohon ampunlah.

Diantara dalil untuk menyuruh kita  beristighfar setelah beribadah adalah :
Allah berfirman : “Syumma afiidhuu min haisyu afadhannasu wastaghfirullah. Innallaha ghafuurur rahiim” Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang banyak (Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. (Q.S. Al Baqarah 199).

Syaikh as’Sa’di antara lain menjelaskan bahwa demikianlah seharusnya yang dilakukan seorang hamba setiap ia selesai dari suatu ibadah, sepatutnya ia beristighfar kepada Allah dari kelalaiannya dan bersyukur atas taufikNya.
    
Rasulullah setelah selesai  mengerjakan ibadah shalat, beliau selalu  membaca istighfar tiga kali. Padahal beliau baru saja selesai melakukan  suatu ibadah yang agung yaitu shalat. Ini termasuk pelajaran berharga bagi kita bahwa seharusnya seorang hamba memohon ampun pada setiap selesai ibadah. 
   
Sungguh kita mengetahui pula bahwa majelis ilmu adalah majelis yang sangat mulia, dan merupakan satu dari taman-taman surga. Seseorang yang duduk dimajelis ilmu akan mendapatkan kebaikan yang banyak dan ini merupakan ibadah.
Rasulullah mengajarkan bahwa jika seseorang duduk dalam suatu majelis maka sebelum dia bangkit dari majelis tersebut hendaklah dia membaca doa : “Subhanaka allahumma wabihamdika, asyhadu alla ilaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik”. Mahasuci Engkau, ya Allah, aku memujiMu. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak dibadahi dengan benar kecuali Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada Engkau. (H.R. At Tirmidzi dan al Hakim). 
    
Wallahu a’lam.  (055)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar