Rabu, 22 Juni 2016

MENGENDALIKAN PERASAAN MARAH



MENGENDALIKAN PERASAAN MARAH

Oleh : Azwir B. Chaniago

Dari Abu Hurairah : Anna rajulan qaala lin nabiyi  Salallahu ‘alaihi Wasallam : “Au-shinii, Qaala : Laa taghdhab, faraddada miraaran, Qaala : Laa taghdab.  Bahwa seorang laki laki berkata kepada Nabi : Berwasiatlah kepadaku. Beliau bersabda : Jangan engkau marah !. Orang itu terus mengulangi (meminta nasehat berkali kali) kepada beliau, lalu Nabi bersabda : Jangan engkau marah. (H.R Imam Bukhari). 

Demikianlah wasiat Nabi kepada laki laki itu berulang ulang dengan jawaban yang sama. Ini menunjukkan bahwasanya marah itu memang ada dalam diri manusia. Cuma saja diantara manusia ada yang memiliki sifat marah yang besar tapi ada pula yang tidak terlalu cepat marah. Tinggal menghitung stratanya. 

Rasulullah memberikan pujian terhadap seorang hamba yang bisa mengendalikan atau menahan marahnya. Beliau bersabda : “Man kazhama ghaizhan wa huwa yastathi’u an yunfidzahu, da’aahullahu yaumal qiyaamati ‘alaa ru-uusil khalaa-iqi hatta yughaiyirahu fii ayyil huuri syaa-a”. Siapa yang menahan amarah padahal dia mampu untuk melampiaskannya, Allah akan memanggilnya pada hari Kiamat di hadapan semua makhluk, hingga memberikannya kesempatan untuk memilih bidadari yang dia inginkan. (H.R Imam Ahmad, Abu Dawud, at Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Jadi sangatlah dianjurkan bagi setiap hamba untuk berusaha mengendalikan marahnya. Rasulullah bersabda : “Laisasy syadiidu bish shura’ati, wa innamaasy syadiidul ladzii yamliku nafsahu ‘indal ghadab”. Orang yang perkasa itu bukan orang yang jago bergulat, akan tetapi orang yang perkasa itu adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah. (H.R Imam Ahmad).  
      
Sungguh Rasulullah adalah uswah hasanah bagi umatnya.  Beliau memiliki pribadi yang lembut dan tidaklah pernah beliau marah kecuali ada yang melanggar  hal hal yang dilarang Allah Subhanahu wa Ta’ala.  

Imam Ibnu Rajab al Hambali berkata : Yang wajib atas seorang mukmin adalah agar marahnya dalam rangka menolak gangguan dalam agama, baik untuknya maupun untuk orang lain dan membalas yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah sikap Rasulullah. Beliau tidak pernah membalas (marah) untuk kepentingan diri beliau. Akan tetapi apabila hal hal yang Allah haramkan dilanggar maka tidak ada sesuatu pun yang dapat mencegah marah beliau.

Marah memang terkadang diperlukan, tapi haruslah pada saat yang tepat,  dengan cara yang tepat serta marah untuk keadaan yang tepat pula. Namun demikian menahan  atau mengendalikan marah tentu jauh lebih baik.

Diantara kisah tentang bagaimana seorang ulama salaf yang tidak memperturutkan kemarahannya tapi beralih kepada memaafkan demi mencari ridha Allah Ta’ala yaitu tentang Ja’far ash Shadiq sebagaimana disebutkan dalam Kitab al Mustathraf al Absyihi.
Pada suatu saat ada seorang budak yang hendak menuangkan air kepada Abu Ja’far ash Shadiq. Tetapi ternyata bejana yang berisi air tersebut jatuh sehingga mengenai wajah Ja’far. Ja’far melihat kepada budaknya dengan wajah marah.

Melihat wajah Ja’far yang sedang marah, lalu si budak  berkata dan membacakan ayat kepada Ja’far. Ya Tuan, Allah berfirman :  “Wal kaazhimiinal ghaizh”. Dan orang yang menahan marahnya. (Q.S Ali Imran 134).

Lalu Ja’far berkata : Ya, aku tahan marahku. Si budak berkata lagi, Allah berfirman selanjutnya : “Wal ‘aafiina ‘anin naas”. Dan suka memaafkan manusia.

Kemudian Ja’far berkata : Ya, sudah aku maafkan kesalahanmu. Si budak berkata lagi, Allah selanjutnya berfirman juga : “Wallahu yuhibbul muhsiniin”. Dan sesungguhnya Allah mencintai orang orang yang berbuat baik.

Ja’far berkata : Pergilah !. Sekarang engkau aku merdekakan. Aku bebaskan engkau karena mengharapkan ridha Allah Ta’ala. 

Kisah ini menunjukkan keindahan akhlak seorang ulama salaf. Dia memaafkan, tidak memperturutkan  marahnya karena memahami makna dan mengamalkan   ayat al Qur-an yang dibacakan kepadanya. 

Sebagai penutup, inilah berita gembira dari  Rasulullah bagi orang orang yang mampu menahan marahnya yaitu diriwayatkan dari Muadz bin Anas al Juhani, beliau bersabda : “Man kazhama ghaizhan wa huwa yastathi’u an yunfidzahu, da’aahullahu yaumal qiyaamati ‘alaa ru-uusil khalaa-iqi hatta yughaiyirahu fii ayyil huuri syaa-a”. Siapa yang menahan amarah padahal dia mampu untuk melampiaskannya, Allah akan memanggilnya pada hari Kiamat di hadapan semua makhluk, hingga memberikannya kesempatan untuk memilih bidadari yang dia inginkan. (H.R Imam Ahmad, Abu Dawud, at Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam (701)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar