Sabtu, 04 Juni 2016

MENAHAN MARAH LEBIH UTAMA



MENAHAN MARAH LEBIH UTAMA

Oleh : Azwir B. Chaniago

Sifat marah memang merupakan salah satu tabiat manusia. Cuma ada yang bisa menahan atau mengendalikan ada pula yang tidak mampu atau sulit mengendalikan diri ketika marah. Diantara pemicu seseorang marah adalah jika pada satu waktu dia tidak mendapatkan apa yang diinginkan sementara itu dia tidak mau bersabar dan memaafkan.  

Sungguh Rasulullah telah berwasiat dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah bahwa ada seseorang datang menemui Rasulullah Salallahu ‘alahi Wasallam seraya berkata : Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat. Rasulullah bersabda : “Laa taghdab”. Janganlah kamu marah !. Beliau mengulanginya berkali kali dengan berkata : “Jangan kamu marah”. (H.R Imam al Bukhari).

Syaikh Abdurrahman as Sa’di berkata : Jangan marah, mengandung dua makna : 

(1) Melatih diri untuk meredam emosi, berhias dengan akhlak mulia, sabar menghadapi gangguan dan provokasi orang lain. Bukan (maknanya) marah itu sendiri karena marah itu sulit untuk dihindarkan.

(2) Tidak melampiaskan konsekwensi marah seperti mencela, bertengkar, merusak bahkan sampai mentalak istri. Namun (jika terpicu untuk marah) dia bisa meredam dan mengendalikan marahnya agar tidak melampaui batas. (Bahjah Qulubil Abrar). 

Marah memang terkadang diperlukan, tapi haruslah pada saat yang tepat,  dengan cara yang tepat serta marah untuk keadaan yang tepat dan proporsional. Namun demikian menahan  atau mengendalikan marah serta memaafkan tentu jauh lebih baik meskipun berat untuk dilakukan.

Imam Ibnu Rajab al Hambali berkata : Yang wajib atas seorang mukmin adalah agar marahnya dalam rangka menolak gangguan dalam agama, baik untuknya maupun untuk orang lain dan membalas yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah sikap Rasulullah. Beliau tidak pernah membalas untuk kepentingan diri beliau. Akan tetapi apabila hal hal yang Allah haramkan dilanggar maka tidak ada sesuatupun yang dapat mencegah marah beliau.

Ketika Ibnu Mas’ud mengabarkan kepada beliau ucapan seseorang yang mengatakan : Ini adalah pembagian yang tidak bertujuan mencari Wajah Allah (cara Rasulullah dalam membagi harta ghanimah, pen.) hal itu membuat Rasulullah berat hati (karena dikatakan tidak adil) hingga wajah beliau berubah dan marah. Tetapi beliau tidak lebih dari sekedar bersabda : “Laqad uudziya muusa bi aktsara min haadzaa fashabara” Nabi Musa pun pernah disakiti lebih besar daripada ini, maka beliau bersabar. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Ketahuilah bahwa sungguh  sangatlah banyak keutamaan yang diperoleh seorang hamba yang terus berusaha dan mampu menahan marah, diantaranya adalah : 

Pertama : Mendapat kecintaan Allah dan terhindar dari murka-Nya. Sungguh hakikat hidup yang selalu kita cari dan  ingin kita dapatkan adalah mendapat kecintaan Allah dan jauh dari murka-Nya. Diantara cara untuk mendapatkannya adalah dengan menahan marah.

Allah berfirman : “Alladziina yunfiquuna fis sarraa-i wadh dharraa-i wal kaazhimiinal ghaizha wal ‘afiina ‘aninnaasi, wallahu yuhibbul muhsiniin”. (Orang yang bertakwa yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang orang yang berbuat kebaikan. (Q.S Ali Imran 134).

Dari Abdullah bin Amr : “Annahu sa-ala rasuulullahi salallahu ‘alaihi wasallam, maa yubaa’iduunii min ghadhabillahi ?.  Qaala, laa taghdhab”. Bahwasanya beliau bertanya kepada Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam, amalan apa yang dapat menjauhkan aku dari  murka Allah ?. Rasulullah menjawab : Jangan marah. (H.R Imam Ahmad, dihasankan oleh Syaikh al Albani, lihat Shahih at Targhib).  

Kedua : Allah Ta’ala  memberikan pujian terhadap seorang hamba yang bisa mengendalikan atau menahan marahnya. Rasulullah  bersabda : “Man kazhama ghaizhan wa huwa yastathi’u an yunfidzahu, da’aahullahu yaumal qiyaamati ‘alaa ru-uusil khalaa-iqi hatta yughaiyirahu fii ayyil huuri syaa-a”. Siapa yang menahan amarah padahal dia mampu untuk melampiaskannya, Allah akan memanggilnya pada hari Kiamat di hadapan semua makhluk, hingga memberikannya kesempatan untuk memilih bidadari yang dia inginkan. (H.R Imam Ahmad, Abu Dawud, at Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Ketiga : Ukuran kuat atau lemahnya seseorang bukan hanya dinilai dari segi fisik. Rasulullah telah mengabarkan kepada kita bahwa orang yang mampu menahan marahnya adalah juga termasuk orang yang kuat. Rasulullah bersabda : “Laisasy syadiidu bish shura’ati, wa innamaasy syadiidul ladzii yamliku nafsahu ‘indal ghadab”. Orang yang kuat itu bukanlah orang yang pandai bergulat, melainkan yang mampu menahan jiwanya  ketika marah. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Imam an Nawawi berkata : Ini adalah keutamaan yang terpuji. Sedikit sekali orang yang mampu berhias dengan akhlak yang terpuji ini. (Syarah Shahih Muslim). 
        
Keempat : Mendapatkan surga. Nikmat paling besar dan sangat didambakan oleh seorang hamba adalah mendapatkan surga-Nya. Diantaranya cara untuk mendapatnya adalah menahan marah yaitu sebagaimana sabda Rasulullah Salallahu ‘alaihi Wasallam dari Abu Darda’  “Qaala rajulun li rasulillahi salallahu ‘alaihi wasallam : Dullanii ‘ala ‘amalin yudkhilunil jannah ?. Qaala : Laa taghdhab wa lakal jannah”. Seorang laki laki datang menemui Rasulullah dan bertanya : Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku sebuah amalan yang dapat memasukkan aku kedalam surga. Rasulullah menjawab : Jangan marah !. Dan surga bagimu. (H.R ath Thabrani, shahih lighairihi, lihat Shahih at Targhib, Syaikh al Albani).

Kita bermohon kepada Allah Ta’ala agar diberi kemampuan untuk selalu menahan marah agar kita memperoleh banyak keutamaan. Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (690).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar