Jumat, 30 April 2021

JANGAN BERMUDAH MUDAH MENYAMPAIKAN HADITS SEBELUM TAHU KEDUDUKANNYA

 

JANGAN BERMUDAH MUDAH MENYAMPAIKAN HADITS SEBELUM TAHU KEDUDUKANNYA

Disusun oleh : Azwir B. Chaniago

Pada sebelum dan juga dalam bulan Ramadhan kita sering mendengar hadits lemah, palsu bahkan tak jelas asal usulnya. Dan sangat banyak pula kita membaca hadits seperti itu melalui media sosial. Terutama sekali dalam bentuk tulisan dengan mengutip hadits hadits yang tak jelas kedudukannya.

Salah satu contoh hadits lemah sekali tentang tidur orang berpuasa adalah ibadah, yaitu : Keterangan ini disandarkan pada suatu hadits (?) yang cukup masyhur yaitu : “Shamtush shaa-imi tasbiihun. Wa nuumuhu ‘ibaadatun, wa du‘aa-uhu mustajabun, wa ‘amaluhu mudhaa-‘afun” Diamnya orang yang berpuasa adalah tasbih, TIDURNYA ADALAH IBADAH, doanya mustajab dan amal dilipat gandakan. (H.R ad Dailami dari Ibnu Umar).

Tapi ketahuilah bahwa para ahli hadits menilai  sanad hadits ini adalah dha’if jiddan atau LEMAH SEKALI. Jadi tidaklah bisa dijadikan hujjah. Syaikh al Albani dalam Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’ nomor 3784 menjelaskan bahwa kelemahannya ada pada seorang diantara perawinya yaitu Rabi’ bin Badr. Dia adalah seorang rawi yang ditinggalkan.   

Oleh karena itu, ketika mendengar atau membaca satu hadits, maka seorang hamba hendaklah menahan diri untuk TIDAK SERTA MERTA  menyampaikan kepada orang lain. SUNGGUH SANGAT PENTING untuk mengetahui lebih dahulu tentang kedudukan suatu hadits sebelum disampaikan atau disebarkan.  Dalam perkara ini paling tidak ada tiga hal yang  patut menjadi perhatian kita.

Pertama : Jika seseorang belum mengetahui kedudukan suatu hadits lalu disebarkan kan  kepada orang lain dengan lisan maupun tulisan maka ini suatu yang tercela. Bukankah semua yang kita ucapkan dan kita lakukan harus dipertanggung jawabkan dihadapan Allah Ta’ala. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala : 

 وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggung jawabannya.  (Q.S al Isra’ 36).

Kedua : Jika seseorang belum mengetahui kedudukan suatu hadits maka sangatlah terpuji jika dia mencari tahu kepada yang lebih mengetahui sebelum menyampaikan secara lisan ataupun tertulis melalui media sosial dan yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman : 

                                                                                                فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُون 

Maka bertanyalah kepada orang orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui. (Q.S al Anbiyaa 7).

Jikalau seseorang belum mengetahui kedudukan suatu hadits lalu disebarkan dan ternyata derajat hadits itu tidak shahih dan tidak hasan  maka jika diamalkan oleh yang mendengarkannya maka bisa jadi mendatangkan kekeliruan.

Ketiga : Jika seseorang sudah mengetahui kedudukan suatu hadits itu dha’if  ataupun maudhu’  lalu disampaikan kepada orang banyak tanpa menjelaskan derajat atau kedudukan hadits maka ini suatu yang lebih tercela lagi  yaitu berdusta atas nama Rasulullah Salallahu ‘alaihi Wasallam. Beliau  telah mengingatkan perkara ini :

إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Oleh karena itu seorang hamba hendaklah berhati hati untuk menyebutkan, menulis, menyebarkan suatu hadits lewat medsos ataupun yang lainnya. Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (2.298)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar