Sabtu, 24 Februari 2018

MUBAHALAH DIBOLEHKAN DALAM SYARIAT ISLAM



MUBAHALAH DIBOLEHKAN DALAM SYARIAT ISLAM

Oleh : Azwir B. Chaniago

Mubahalah (malediction, imprecation)  bermakna  melaknat atau mengutuk. Mubahalah menurut istilah adalah dua pihak yang saling memohon dan berdoa kepada Allah supaya Allah melaknat dan membinasakan pihak yang bathil atau pihak menyalahi  kebenaran.

Mubahalah adalah salah satu cara syar’i yang digunakan untuk menghadapi lawan yang ba­til dan menentang kebenaran setelah segala daya dan upaya mengalami jalan buntu untuk menasi­hatinya, mendebatnya, serta berdialog dengannya. 

Sama saja apakah ini dilakukan dengan orang kafir atau pun sesama muslim yang tak mau menerima kebenaran. Ini adalah satu cara untuk menunjuk­kan kebatilan apa yang diyakini oleh lawan. Harus di­lakukan dengan  bersungguh-sungguh dalam berdoa kepada Allah Ta’ala dan agar Allah Ta’ala menampakkan mana di antara keduan­ya yang berada di atas kebatilan dan semoga Allah Ta’ala menyegerakan hukuman-Nya kepada pihak yang tidak benar.

Diantara dalil yang membolehkan mubahalah adalah kisah  mubahalah pernah dilakukan oleh Rasulullah Salallahu ‘alaihi wsallam terhadap pendeta Kristen dari Najran pada tahun ke-9 Hijriah, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah : 

فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ
Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta. (Q.S Ali Imran 61)

Ayat ini berhubungan dengan perdebatan an­tara orang-orang Nasrani dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Nabi Isa ‘alaihissalam. Mereka mengatakan bahwa Isa ‘alaihis salam adalah Tuhan atau anak Allah Ta’ala. Dan Ra­sulullah    Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada mereka aqidah yang benar, namun mereka tidak mau tunduk ke­pada kebenaran. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak mereka mubahalah.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: Di sini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak utusan orang-orang Nasrani dari Najran setelah tegak hujjah atas mereka dalam perdebatan dan mereka tetap bersikeras (pada ke­batilannva), maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak mereka untuk mubahalah. Allah Ta’ala berfirman dalam surat Ali Imran ayat 61. 

Saat mereka mengetahui hal tersebut, maka seba­gian di antara mereka berbicara pada sebagian lain­nya : Demi Allah, seandainya kalian bermubahalah dengan nabi ini tidak akan ada satu pun di antara kalian yang hidup. Maka saat itulah mereka akhir­nya mau menyerah dengan cara membayar jizyah (semacam upeti) dalam keadaan hina. Maka Rasu­lullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kepada mereka seorang yang terpercava yaitu Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu untuk mengurusi hal tersebut.

Tentang ayat dalam surat Ali Imran 61 ini, Syaikh as Sa’di berkata : Datang kepada Nabi delegasi Nasrani daerah Najran. Mereka bersikeras dalam kebathilan mereka setelah Nabi menegakkan atas hujjah hujjah dan keterangan yang jelas bahwasanya Isa alaihi salam itu adalah hamba Allah dan Rasul-Nya dimana mereka meyakini ketuhanan Nabi Isa. 

Sikap keras kepala mereka telah sampai pada titik di mana Allah Ta’ala memerintahkan kepada Rasulullah agar menantang mereka untuk ber-MUBAHALAH karena sesungguhnya kebenaran itu telah jelas bagi mereka. Akan tetapi kedurhakaan dan fanaisme telah menghalangi mereka menerima kebenaran. Maka Rasulullah menantang mereka untuk bermubahalah dimana mereka menghadirkan keluarga dan anak anak mereka. Rasulullah pun menghadirkan keluarga dan anak anaknya. Kemudia mereka semua berdoa kepada Allah Ta’ala agar menurunkan siksa dan laknat-Nya atas orang orang yang berdusta. 

Kemudian mereka mengadakan musyawarah lebih dahulu apakah mereka menerima tantangan itu. Akhirnya keputusan mereka. Akhirnya didapat keputusan bahwa mereka sepakat untuk tidak menerima tantangan tersebut karena (sebenarnya) mereka yakin bahwa beliau adalah benar benar Nabi Allah dan sekiranya mereka menerima tantangan itu pastilah mereka berserta keluarga dan anak anak mereka akan celaka. Selanjutnya mereka meminta perjanjian damai dengan memberikan jizyah. Lalu Rasulullah menerima kesepakatan mereka tersebut dan tidak mengusir mereka karena maksud yang diinginkan telah terpenuhi yaitu jelasnya kebenaran. (Tafsir Taisir Karimir Rahman).  
   
Kisah mubahalah Nabi dengan orang orang Nasrani ini dijelaskan pula dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari.

حَدَّثَنِي عَبَّاسُ بْنُ الْحُسَيْنِ ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ عَنْ إِسْرَائِيلَ ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ صِلَةَ بْنِ زُفَرَ عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ جَاءَ الْعَاقِبُ وَالسَّيِّدُ صَاحِبَا نَجْرَانَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُرِيدَانِ أَنْ يُلاَعِنَاهُ قَالَ فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ لاَ تَفْعَلْ فَوَاللَّهِ لَئِنْ كَانَ نَبِيًّا فَلاَعَنَّا لاَ نُفْلِحُ نَحْنُ ، وَلاَ عَقِبُنَا مِنْ بَعْدِنَا قَالاَ إِنَّا نُعْطِيكَ مَا سَأَلْتَنَا وَابْعَثْ مَعَنَا رَجُلاً أَمِينًا ، وَلاَ تَبْعَثْ مَعَنَا إِلاَّ أَمِينًا فَقَالَ لأَبْعَثَنَّ مَعَكُمْ رَجُلاً أَمِينًا حَقَّ أَمِينٍ فَاسْتَشْرَفَ لَهُ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ قُمْ يَا أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ فَلَمَّا قَامَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : هَذَا أَمِينُ هَذِهِ الأُمَّة

 Dari Ishaq dari Shilah bin Shaqar dari Hudzaifah berkata, datang dua orang kepada dari Najran kepada Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam, mereka berdua mengingingkan mubahalah dengan Nabi shallahu ‘alahi wasallam. Berkata di antara mereka jangan kamu lakukan demi Allah, jika dia benar seorang nabi, maka mubahalah kita tidak akan berhasil dan tidak ada setelah kita, mereka berdua berkata sesungguhnya kita akan memberikanmu apa yang kamu minta, utuslah bersama bersama kami seorang yang dapat dipercaya, dan jangan engkau mengutus orang yang tidak dapat dipercaya (tidak amanat), maka Rasulullah bersabda : Sungguh aku akan mengutus seorang yang dapat dipercaya, maka sahabat nabi menginginkan dirinya siapa yang di maksud oleh beliau, Rasulullah bersabda berdirilah wahai Ubaidah bin Jarrah dan ketika Abu Ubaidah berdiri beliau bersabda : “Ini orang paling dipercaya dalam umat ini”

Lalu kapan mubahalah bisa dilakukan.  Mubahalah tidaklah dilakukan pada setiap saat dan waktu yang mendadak. Mubahalah dilakukan  (1) Apabila tidak lagi terdapat titik temu antara pihak kebenaran dengan pihak yang batil sementara pihak yang batil ini masih bersikeras menyebarkan pemahamannya yang batil itu ditengah umat Islam yang haq. (2) Dilakukan tidak dengan serta merta atau seketika,  tetapi ada waktu untuk saling berfikir sebelum pelaksanaan mubahalah. (3) Tidak dilakukan sembunyi sembunyi tetapi harus ada yang menyaksikan. 

Diantara mubahalah yang pernah dilakukan oleh ulama Islam, melawan orang orang yang menyimpang dari kebenaran al Qur an dan as Sunnah adalah :  

Pertama : Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah dengan salah seorang pengikut Ibnu Arobi  yaitu pelopor keyakinan wihdatul wujud (bersatunya makhluk dengan Tuhan pada sebagian makhluk dalam Bahasa jawa disebut manunggaling kawula lan gusti, pen.) Muaranya adalah segala yang ada merupakan penjelmaan dari Allah Azza wa Jalla)

Imam as-Sakhawi dalam kitab al Jawahir wad Durar menceritakan tentang guru beliau  al-Hafizh Ibnu Hajar : Meskipun beliau meru­pakan lautan ilmu dan tidak cepat marah, namun beliau akan sangat cepat marah kalau dalam mem­bela agama Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.

Pernah suatu ke­tika terjadi peristiwa antara beliau dengan sebagian penga­gung Ibnu Arobi, dia berdoa : Ya Allah, jika Ibnu Arobi berada di atas kesesatan, maka laknatlah aku dengan laknat-Mu. Lalu Imam Ibnu Hajar pun berdoa pula : “Ya Allah, jika Ibnu Arobi di atas kebenaran, maka laknatlah aku dengan laknat-Mu.”

Lalu apa yang terjadi ?. Hanya selang dua bulan, tepatnya muba­halah tersebut terjadi pada bulan Ramadhan tahun 797 H.  Dan ternyata pada bulan Dzulqa’dah orang tersebut (Ibnu Arobi) buta lalu mati.

Kedua : Seorang ahli hadits dari India, Syaikh Tsana’ullah al­-Amritsari (wafat 1367 H) pernah bermubahalah dengan Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani, tokoh utama, dari Ahmadiyah yang juga mengaku dirinya Nabi. Mubahalah ini terjadi pada
 tahun 1326 H. 

Inti dari mubahalah ini adalah bahwa barang siapa di antara keduanya yang ber­dusta dan berada di atas kebatilan, maka dia akan mati duluan dan terkena penyakit kolera.
Akhirnya, belum lewat waktu  14 bulan setelah bermubahalah Mirza ter­kena penyakit kolera yang sangat parah. Kemudian meninggal dunia, sedangkan Syaikh Tsana’ullah, beliau hidup setelah itu empat puluh tahun lamanya.

Syaikh A. Hassan, beliau disebut juga A. Hassan Bandung.  (w. 1984) yakni   SEORANG ULAMA YANG GIGIH MEMBELA ISLAM,  beliau pernah beberapa kali menantang kaum Ahmadiyah untuk melakukan mubahalah. Tapi  pihak Ahmadiyah selalu menolak ataupun tidak hadir dalam mubahalah tersebut.
Demikian sedikit uraian tentang mubahalah. Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (1.234).





Tidak ada komentar:

Posting Komentar