Jumat, 27 Juni 2014

MEMAAFKAN LEBIH UTAMA




MEMAAFKAN LEBIH UTAMA
Oleh: Azwir B. Chaniago

 Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S an Nuur 22 ).

Dalam kehidupan bermasyarakat, disengaja atau tidak setiap diri kita banyak berbuat salah. Jika seseorang yang bersalah kepada orang lain pastilah ingin agar kesalahannya dimaafkan. Begitu juga jika seseorang berbuat salah atau menzhalimi diri kita maka Islam mengajarkan untuk senantiasa memaafkan dan  ini adalah sikap yang mulia.

Makna memaafkan.
Makna memaafkan adalah engkau mempunyai hak untuk membalas terhadap orang lain yang menzhalimi dirimu tetapi engkau melepaskan (hakmu itu), tidak menuntut qishash atau denda kepadamya (Minhajul Qashidin, Imam Ibnu Qudamah). Orang bijak berkata bahwa implementasi dari memaafkan itu adalah engkau senantiasa, terus menerus mengosongkan hatimu dari semua kesalahan orang lain kepadamu. Ini sebenarnya mudah dilakukan jika engkau menyadari  dan juga sangat mengharapkan maaf dan ridhanya. Imam Raghib Ashbahani berkata : Suka memaafkan adalah bagian dari sikap santun. Orang yang santun adalah ketika dizhalimi dia bersikap santun dan ketika dia mampu membalasnya dia malah memaafkan.

Sunnatullah senantiasa berlaku.
Sungguh tidak  ada yang meragukan bahwa jika seseorang suka memaafkan akan mudah dimaafkan, suka menolong akan ditolong, suka menyayangi akan disayangi dan suka memberi akan diberi. Bukankah dalam kehidupan sehari hari, keadaan ini sangat lumrah dan sering kita saksikan. Misalkan ada seseorang  yang biasa memudahkan urusan orang lain maka selalu saja ada kemudahan dan jalan keluar baginya jika suatu waktu dia mendapat kesulitan atau menghadapi suatu masalah yang berat.
Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman : In ahsantum ahsantum li anfusikum. Jika kamu berbuat kebaikan maka (berarti) kamu berbuat kebaikan bagi dirimu sendiri. (Q.S al Israa’ 7). Allah Ta’ala juga berfirman : “Hal jazaa-ul ihsani illal ihsan” Balasan perbuatan baik adalah kebaikan pula (Q.S ar Rahman 60).
Sikap dalam memaafkan.
Tidak diragukan sedikitpun bahwa memberi maaf adalah sikap yang sangat terpuji dalam Islam. Oleh karenanya, memberi maaf, harus dilakukan dengan cara atau sikap yang terpuji pula agar mendatangkan manfaat yang lebih besar.  Ada beberapa sikap atau adab dalam memaafkan, diantaranya adalah (1) Berilah maaf dengan ikhlas dan mengharapkan ampunan Allah. (2) Berilah maaf diminta atau tidak. (3) Berilah maaf dengan menghadirkan hati, dan dengan cara yang baik, tidak sekenanya saja. (4) Berilah maaf kapanpun dan di manapun, dengan terang terangan atau sembunyi. (5) Berilah maaf sesegera mungkin, jangan menunggu waktu atau event tertentu. (6) Berilah maaf, lalu lupakan kesalahannya jangan diungkit ungkit lagi. Jangan pakai ungkapan forgiven but not forgotten, dimaafkan tapi tidak dilupakan (kesalahannya).

Keutamaan memaafkan.
Pertama : Seseorang yang suka memberi maaf akan senantiasa memperoleh ampunan Allah. Inilah puncak keutamaan dari sikap suka memaafkan. Allah berfirman : “Wal ya’fuu wal yashfahuu, alaa tuhibbuuna an yaghfirallaahu lakum wallaahu ghafuurur rahiim. Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak menginginkan Allah mengampunimu dan Allah Mahapengampun dan Mahapenyayang (Q.S an Nuur 22). Dalam kitab Tafsir al Mulyasar, tahqiq Syaikh Bakar Abu Zaid antara lain dijelaskan : Ayat ini turun berkenaan dengan sumpah Abu Bakar ash Shiddiq bahwa dia tidak akan memberi apa apa lagi (tidak akan membantu lagi) kepada kerabatnya (diantaranya adalah Misthah bin Utsasah) ataupun orang lain yang terlibat dalam menyiarkan dan menyebarkan berita bohong tentang fitnah yang keji yang ditujukan kepada Aisyah putri beliau. Maka turunlah ayat ini melarang beliau melaksanakan sumpahnya itu,  menyuruh memaafkan dan berlapang dada terhadap mereka. Syaikh as Sa’di  menjelaskan bahwa ketika Abu Bakar mendengar ayat ini, Abu Bakar berkata : Ya demi Allah, sungguh aku benar benar senang bila Allah mengampuni diriku. Selanjutnya Abu Bakar kembali memberikan nafkah kepada Misthah bin Utsasah (Lihat Tafsir Karimur Rahman). Oleh karena itu jika setiap saat kita mengharapkan ampunan Allah maka  seharusnya kita juga senantiasa memaafkan orang lain. Sungguh kita sangat senang dengan ampunan Allah dan tentu sepantasnya pula kita melazimkan sikap suka memaafkan
.        
Kedua : Sungguh suka memaafkan adalah salah satu tanda orang bertakwa. Setiap muslim tentu sangat ingin menjadi orang yang bertakwa karena main goal dari kehidupan seorang muslim adalah mendapat surga dan surga hanya disediakan buat orang orang yang bertakwa. Allah berfirman : “Alladzina yunfiquuna fissaraa-i wadhdharraa-i wal kaazhiminal ghaizha, wal ‘aafiina ‘aninnaasi wallaahu yuhibbul muhsiniin”. (Orang orang yang bertakwa adalah) Orang orang yang berinfak baik di waktu lapang maupun di waktu sempit dan orang orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) manusia. Dan Allah mencintai orang orang yang berbuat baik (Q.S Ali Imran 134). Syaikh as Sa’di dalam Kitab Tafsir beliau, antara lain menjelaskan : Bahwa termasuk dalam tindakan memaafkan orang lain adalah memaafkan segala hal yang terjadi dari orang yang berbuat buruk kepada kita baik dengan perkataan maupun perbuatan. Selanjutnya Syaikh as Sa’di menambahkan bahwa memaafkan itu sangat lebih baik daripada hanya sekedar menahan marah karena memaafkan itu adalah membalas dengan bentuk kelapangan dada terhadap orang orang yang berbuat buruk
.   
Ketiga : Memaafkan adalah perbuatan mulia. Pada asalnya semua orang ingin menjadi manusia yang mulia. Untuk mendapatkannya manusia  rela mengorbankan harta dan tenaga. Terkadang  dengan cara yang tercela. Sungguh dalam syari’at Islam sangatlah banyak jalan untuk mendapatkan kemuliaan.   Salah satunya adalah dengan senantiasa memaafkan kesalahan orang lain. Ini adalah sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat asy Syuura ayat 43 : Walaman shabara wa ghafara, inna dzaalika lamin ‘azmil umuur” Dan barangsiapa yang bersabar dan memaafkan sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan mulia. Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam bersabda : …Wama zadallahu ‘abdan bi’afwin illa ‘izza. Wama nawadha’a ahadun lillahi illa ra’ahullah… Allah tidak akan menambah untuk seorang hamba karena maafnya (suka memaafkan) kecuali kemuliaan. Dan tidaklah seorang merendahkan hatinya kecuali Allah akan meninggikan (derajat) nya. (H.R Imam Muslim).
 Sungguh ayat dan hadits ini merupakan kabar gembira bagi orang orang yang suka memaafkan yaitu berupa janji Allah dan Rasul-Nya bahwa orang yang suka memaafkan akan memperoleh sesuatu yang sangat berharga bagi dirinya yaitu kemuliaan. Kemuliaan di sisi Allah  kemulian di sisi manusia. Kemuliaan di dunia dan kemuliaan di akhirat
.
Satu hal yang kiranya perlu kita pahami adalah bahwa bersabar dan menjadi pemaaf tidaklah sesuatu yang mudah. Sungguh berat di hati. Betapa tidak karena seseorang yang dizhalimi orang lain, kecenderungannya adalah membalas kalau perlu dengan balasan yang lebih. Apalagi jika yang dizhalimi punya kemampuan untuk membalas. Biasanya yang dikedepankan adalah bagaimana membalas bukan bagaimana memaafkan. Tapi bagi orang orang yang Allah beri petunjuk tentu tidaklah merupakan suatu yang sulit baginya untuk memaafkan orang lain yang telah berbuat buruk kepadanya. Kita bermohon kiranya Allah akan membuka hati kita untuk selalu melazimkan sifat pemaaf dan kita bermohon pula agar dosa dosa kita diampuni-Nya.
Allahu a’lam. (002)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar