MUSIBAH YANG
BERAT TERASA RINGAN KARENA IMAN
Oleh : Azwir B. Chaniago
Semua
manusia pasti pada waktunya akan diuji dengan berbagai musibah. Ketahuilah
bahwa apapun ujian, cobaan dan musibah yang menimpa seorang hamba maka itu
adalah merupakan ketetapan Allah dan telah tertulis di Lauh Mahfudz.
Allah
berfirman : “Maa ashaaba min mushibatin
fil ardhi wa laa fii anfusikum illaa fii kitaabin min qabli an tabra-ahaa, inna
dzaalika ‘alallahi yasiir”. Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang
menimpa dirimu sendiri semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuuzh)
sebelum Kami mewujud.Sungguh yang demikian itu mudah bagi Allah. (Q.S al Hadid
22).
Rasulullah bersabda : “Matsalul mu’mini kamatsaliz zar’i,
laatazaalur riihu tamiiluhu, walaa yazaalul mu’minu yushiibuhul bala’.
Perumpamaan seorang mu’min tak ubahnya seperti tanaman, angin akan selalu
menerpanya, ia akan selalu mendapat cobaan (H.R Imam Muslim).
Kalau
kita perhatikan ternyata ada berbagai keadaan manusia ketika didatangi musibah. Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin
menyebutkan empat keadaan manusia dalam menerima musibah yaitu : (1)
Menggerutu, mengeluh dan mendongkol, tidak mau menerima. (2) Bersabar atas
musibah. (3) Ridha menerima musibah. (4) Bersyukur dengan musibah, ini adalah
tingkat tertinggi.
Orang
orang yang tidak kuat menerima ujian atau musibah umumnya adalah orang orang
yang imannya masih lemah. Musibah sedikit saja baginya terasa sangat berat. Dia
bukan hanya tidak bisa bersabar tapi menggerutu, mendongkol. Terkadang
mengeluarkan kalimat yang tercela : Kenapa musibah datang kepada saya. Apa
salah saya dan kalimat kalimat lain yang semisal. Bahkan bisa jadi larut dalam
kesedihan. Menampar nampar muka dan merobek robek baju dan yang lainnya.
Sementara itu orang orang yang
memiliki iman yang kokoh dan kuat biasanya dia akan menerima ujian yang lebih
berat. Cuma saja dia mampu menerima
musibah berat karena iman yang ada pada
dirinya. Dia bisa bersabar, ridha bahkan bersyukur dengan ujian yang
menimpanya. Imannya telah memberikan sinyal yang kuat kepadanya bahwa semua
adalah ketetapan Allah Ta’ala. Lalu dia ingat akan
firman Allah : Qul lan yushiibanaa illaa maa kataballahu lanaa huwa maulanaa wa
‘alallahi fal yatawakkalil mu’miniin”. Katakanlah (Muhammad), Tidak akan
menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah
pelindung kami dan hanya kepada Allah bertawakkal
orang orang yang beriman. (Q.S at Taubah 51)
Ketahuilah, kalau iman itu diibaratkan
air dan cobaan itu diiibaratkan garam maka orang yang airnya ( baca : imannya) cuma segelas jika kemasukan garam dua sendok (baca
: musibah yang sedikit) maka air itu
akan berasa pahit. Sebaliknya jika airnya (imannya) satu telaga maka jika
kemasukan garam satu karung (musibah yang besar) maka air itu tetap akan berasa
tawar, tidak berubah rasa.
Jadi,
kewajiban terdepan seorang hamba
adalah menjaga, merawat dan meningkatkan imannya di setiap waktu, tempat dan
keadaan. Bukankah para ulama telah mengingatkan bahwa iman itu bisa bertambah
dan bisa berkurang.
Pernah
ditanyakan kepada Imam Sufyaan bin ‘Uyainah rahimahullah, “Apakah iman itu bertambah atau berkurang?”
Beliau rahimahullah menjawab, “Tidakkah kalian mendengar firman Allah Ta’ala
: “Fazaadahum iimaanaa”. Maka perkataan itu menambah keimanan mereka.
(Q.S Ali Imran 173) dan firman Allah Ta’ala
: Wa zidnaa hum hudaa”. Dan Kami
tambah pula untuk mereka petunjuk (Q.S al Kahfi 13).
Sufyaan
bin Uyainah menambahkan : Jika sesuatu bisa bertambah, pasti ia juga bisa berkurang.
(Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Aljurri, Kitab asy Syari’at)
Oleh
karena itu maka seorang hamba wajiblah berusaha untuk meningkatkan imannya.
Sungguh iman bertambah dengan ketaatan dan iman berkurang dengan kemaksiatan.
Sungguh jika iman seseorang semakin bertambah maka akan semakin ringan baginya menghadapi ujian
yang berat.
Insya
Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (758).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar