JAUHKANLAH AMALAN DARI RIYA’
Oleh : Azwir B. Chaniago
Menurut istilah riya’ adalah
: Memperlihatkan suatu ibadah atau amal shalih kepada orang lain, bukan karena
Allah tetapi karena sesuatu selain Allah, dengan keinginan untuk mendapat pujian atau penghargaan dari orang
lain.
Syaikh Muhammad Shalih al Utsaimin berkata :
Ia melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala hanya ingin mengambil perhatian orang
lain dan agar mendapat nama di tengah tengah masyarakat, bukan untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Ia bersedekah karena ingin dikatakan dermawan,
menyempunakan shalatnya agar orang mengatakan shalatnya bagus dan lain lain.
Seharusnya ibadah hanya untuk Allah akan tetapi menginginkan dengan itu pujian
dari orang lain. Mereka mendekatkan diri kepada manusia dengan cara
melaksanakan ibadah kepada Allah Ta’ala. Seperti inilah yang disebut riya’.
(Tafsir Juz ‘Amma).
Riya’
dalam beramal shalih adalah kerugian besar karena bisa menghapus amal. Allah
berfirman : “Wahai orang-orang yang
beriman !. Janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang
menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di
atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia
bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka
usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”.
(Q.S al Baqarah 264).
Oleh
karena itu seorang hamba haruslah menjaga dirinya dari perbuatan riya’ yang
akan merusak bahkan bisa menghapus nilai ibadahnya. Lalu apakah kita bisa
mengetahui bahwa seseorang telah berlaku riya’ ?. Tidak, karena ini berkaitan dengan
amalan hati atau niatnya masing masing orang.
Namun
demikian kita bisa mendeteksi diri kita sendiri dalam beramal apakah ada riya’-nya
atau terjauh dari riya’ karena kita
mengetahui keadaan hati dan niat kita dalam melakukan amal shalih.
Untuk
mengetahui atau mendeteksi apakah kita sudah jauh dari riya’ dalam beribadah
maka bisa dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan terhadap diri sendiri
tentang ibadah yang kita lakukan,
diantaranya :
Pertama : Apakah saya selalu berusaha
menyembunyikan amal shalih yang saya lakukan, kecuali yang memang tidak bisa
disembunyikan.
Ini
memang perkara yang sulit kecuali bgi orang orang yang diberi petunjuk, karena
ada kecenderungan dalam diri manusia untuk senang jika amalnya diketahui orang
banyak. Hatinya akan sangat gembira jika banyak orang mengetahui dan membicarakan amalnya sehingga
jadi tersohor kemana mana.
Kita
mengetahui bahwa sebagian manusia terkadang tertipu dengan amal shalihnya,
diantaranya adalah orang orang yang bersemangat membelanjakan hartanya di
jalan Allah seperti membangun masjid, membangun gedung gedung pesantren dan apa
saja yang secara fisik terlihat dengan jelas dimata orang banyak.
Selain itu dia juga sangat suka menafkahkan hartanya untuk
membantu orang orang miskin, anak anak yatim dan orang yang kesulitan. Dia
infakkan hartanya berupa uang, membeli
makanan, pakayan dan yang lainnya untuk orang orang yang membutuhkan. Ini tentu
suatu yang sangat baik.
Cuma sayangnya pada waktu menyerahkan santunan itu dia undang
orang orang yang akan mendapat santunan itu beramai ramai datang kerumahnya
atau kesuatu gedung pertemuan. Dibuatlah acara yang cukup meriah dalam rangka
menyerahkan santunan tersebut. Padahal jika dia mau tentu amalan ini bisa
disembunyikan atau paling tidak hanya diketahui oleh segelintir orang saja.
Kedua : Apakah dalam beramal saya tidak terpengaruh
oleh pujian manusia.
Ketahuilah orang yang jauh dari riya’ dalam beribadah hanya berharap penilaian
Allah Ta’ala dan tidak terpengaruh dengan penilaian manusia. Dia selalu sibuk
menjaga hatinya agar mendapatkan ridha Allah dalam semua amal shalihnya.
Sungguh pujian dan sanjungan manusia tidaklah akan merubah hakikat kita di
hadapan Allah Yang Maha Mengetahui apa yang nampak dan tersembunyi. Orang lain
boleh terpedaya dengan penampilan kita… dengan indahnya perkataan kita… ta'jubnya dengan tulisan-tulisan kita… akan
tetapi kitalah yang lebih tahu tentang hakikat diri kita yang penuh dosa dan
sangat sedikit melakukan amal shalih.
Selain
itu perlu diketahui bahwa kemuliaan seorang hamba tidak
datang bersama pujian tapi kemuliaan itu datang dengan ketakwaan. Allah
berfirman : “Inna akramakum ‘indallahi atqaakum” Sesungguhnya yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. (Q.S
al Hujurat 13).
Ali bin Abi Thalib ketika dipuji seseorang beliau berdoa : Ya
Allah, ampunilah diriku karena sesuatu yang tidak mereka ketahui. Jadikanlah
diriku lebih baik daripada yang mereka sangka.
Ketiga : Apakah saya suka berhenti sejenak sebelum melakukan
amal shalih untuk memeriksa keikhlasan saya.
Ini perkara yang sangat penting
untuk menjauhkan amal dari riya’. Berhentilah barang sejenak untuk memeriksa dan
meluruskan niat sebelum melakukan amal apapun seperti
berjalan menuju masjid untuk shalat, membaca
al Qur an, bersedekah, menyusun tulisan ilmiah, memberi komentar di WA,
menjawab pertanyaan dan yang lainnya.
Tanyakan kepada diri kenapa saya
melakukan ini kenapa saya tidak melakukan itu dan lain sebagainya. Apakah semua
karena Allah Ta’ala dan dalam rangka mencari ridha-Nya saja atau ada tujuan
lain yang tampak dan tersembunyi.
Agaknya kita perlu merenungkan
atsar berikut ini. Ada seseorang yang berkata kepada Nafi’ bin Jubair : Apakah
engkau tidak menghadiri janazah ?. Maka beliau menjawab : Tetaplah di tempat mu
hingga aku berniat. Lalu beliau berfikir sejenak dan berkata, mari kita jalan
(untuk menghadiri janazah). Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam.
Keempat : Apakah saya melakukan amal shalih untuk tujuan
harta, jabatan atau popularitas yang sifatnya duniawi.
Ketahuilah bahwa jika seseorang
melakukan amal shalih untuk tujuan yang sifatnya duniawi maka dia akan sulit untuk
menjauh dari perbuatan riya’. Kalau
seseorang beramal dengan tujuan duniawi seperti harta, jabatan popularitas dan yang lainnya maka dia akan memperolehnya
tapi dia kehilangan bagiannya di akhirat.
Allah berfirman : “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan
dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan (balasan) dengan sempurna atas
pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan
dirugikan. Itulah orang orang yang tidak mempeoleh (sesuatu) di akhirat kecuali
neraka dan sia sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan
terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S Huud 15-16).
Syaikh
as Sa’di berkata : Orang yang sengsara ini, yang sepertinya hanya dia diciptakan untuk dunia saja, “niscaya Kami berikan (balasan) dengan
sempurna atas pekerjaan mereka di dunia” maksudnya Allah memberi mereka sesuatu yang telah dibagikan kepada mereka di
Ummul Kitab berupa balasan dunianya. “Dan
mereka di dunia tidak akan dirugikan”. (maknanya adalah) tidak sedikitpun
dari sesuatu yang telah ditakdirkan untuknya akan dikurangi. Akan tetapi
(dunia) ini adalah puncak nikmat mereka. (Tafsir Taisir Karimir Rahman).
Itulah diantara pertanyaan yang
bisa diajukan kepada diri sendiri agar bisa jauh dari riya’ dalam melakukan
amalan shalih. Wallahu A’lam. (770).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar