Rabu, 29 Juni 2016

BERLOMBA MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH



BERLOMBA MEMBELANJAKAN HARTA DI JALAN ALLAH

Oleh : Azwir B. Chaniago

Harta dan perhiasan dunia memang menggiurkan bagi banyak orang. Sungguh Allah Ta’ala telah berfirman : “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”. (Q.S  Ali Imran 14).

Ketahuilah bahwa dunia hanyalah tempat singgah sementara bukan akhir kehidupan. Akhir kehidupan manusia adalah negeri akhirat yang hanya memiliki dua tempat yaitu tempat yang berbahagia atau tempat yang sengsara. Surga atau neraka, tidak ada tempat yang lain. 

Didalam Islam tidak ada larangan untuk memiliki harta yang banyak. Yang tidak boleh adalah jika seseorang  tertipu dengan hartanya sehingga lalai dalam mengingat Allah. Tentang hal ini Allah Ta’ala telah mengingatkan dalam firman-Nya :Wahai orang orang yang beriman !. Janganlah harta bendamu dan anak anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barangsiapa berbuat demikian maka mereka itulah orang orang yang rugi”. (Q. al Munafiquun 9).

Syaikh as Sa’di berkata : Allah Ta’ala memerintahkan hamba hamba-Nya yang beriman agar banyak banyak mengingat-Nya. Didalam berdzikir itu terdapat keberuntungan, laba dan kebaikan yang banyak. Allah melarang hamba hamba-Nya yang beriman agar tidak dipersibuk oleh harta dan anak sehingga lalai untuk berdzikir kepada Allah. 

Selanjutnya beliau berkata : Kebanyakan jiwa manusia itu terbentuk untuk mencintai harta dan anak sehingga lebih dikedepankan daripada mengingat Allah dan itu akan menimbulkan kerugian yang besar. (Tafsir Karimir Rahman) 
 
Imam asy-Syaukani berkata : Bahwa harta dan anak-anak yang melalaikan dari berdzikir kepada Allah Ta’ala merupakan salah satu akhlak kaum munaafiqin. (Fathul Qadir).

Sungguh harta dunia dibanding dengan keutamaan akhirat adalah amat jauh dan sulit dibandingkan. Rasulullah bersabda  : “Raka’atal fajri khairum minad dun-ya wamaa fiih”. Dua rakaat shalat sunnah fajar lebih baik dari pada dunia dan apa yang ada didalamnya. (H.R Imam Muslim).

Dunia dan segala isinya yang dimaksud adalah seluruh harta dunia dan perhiasannya. Jadi ternyata  shalat sunnah Fajr yang cuma dua rakaat telah mengalahkan semua harta dunia.
Kenapa demikian ?. Yak arena harta dunia akan punah sedangkan pahala shalat sunnah dua rakaat akan terus ada, tidak akan pernah punah dan  dibawa mendampingi seorang hamba nanti di akhirat.

Ketahuilah bahwa seharusnya orang yang beriman tidak akan pernah meletakkan harta dunia dihatinya tapi meletakkan harta dunia hanya di tangannya saja. Dengan demikian akan mudah baginya untuk membelanjakan hartanya pada jalan yang diridhai Allah yaitu sebagai bekal menuju negeri akhirat.

Para sahabat dahulu sangat mencintai hartanya sehingga tidak mau berpisah dengan harta kekayaannya di negeri akhirat nanti. Lalu mereka berlomba lomba membelanjakannya di jalan Allah  agar tidak berpisah dengan hartanya sampai ke akhirat. Lihatlah dua kisah tentang sahabat berikut ini.

Pertama :  Abu Bakar ash Shiddiq dan Umar bin Kahththab

Rasulullah memerintahkan kami untuk bersedekah. Kebetulan saat ini aku mempunyai harta. Umar bin Khaththab berkata : Hari ini aku akan mengungguli Abu Bakar. Maka aku memberikan separuh hartaku. Rasulullah bertanya kepadaku : Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu ?. Aku menjawab : Separuhnya yang lain, ya Rasulullah.

Kemudian datang Abu Bakar dengan membawa semua harta yang dimiliki. Maka Rasulullah bertanya kepadanya : Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu ?. Abu Bakar menjawab : Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya. Lalu Umar berkata : Demi Allah, aku tidak bisa mengungguli Abu Bakar dengan apapun selamanya. (H.R at Tirmidzi, Abu Dawud dan al Hakim).    

Kedua : Usman bin Affan

Usman bin Affan adalah termasuk orang yang suka berinfak di jalan Allah. Abdurrahman bin Khabbab berkata : Aku melihat Nabi menganjurkan kami agar bersedekah kepada pasukan perang yang kesusahan. Maka tampillah Usman seraya berkata : Wahai Rasulullah aku sedekahkan seratus ekor onta lengkap dengan pelana dan tali kekangnya di jalan Allah.
Rasulullah kembali menganjurkan kami agar bersedekah kepada pasukan perang yang sedang kesusahan. Maka Usman kembali tampil dan berkata : Wahai Rasulullah aku sedekahkan dua ratus ekor onta lengkap dengan pelana dan tali kekangnya di jalan Allah.
Kemudian Rasulullah kembali menganjurkan sedekah. Maka lagi lagi Usman yang tampil seraya berkata : Wahai Rasulullah aku sedekahkan tiga ratus ekor onta lengkap dengan pelana dan tali kekangnya di jalan Allah.

Abdurrahman bin Khabbab berkata  bahwa dia  melihat Rasulullah turun dari mimbar seraya berkata : Tidak ada yang menandingi apa yang dilakukan Usman setelah hari ini. Beliau mengucapkannya berkali kali. (H.R at Tirmidzi dan al Hakim). 

Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (707)

BERTAUBAT HARUS TERUS MENERUS



BERTAUBAT HARUS TERUS MENERUS

Oleh : Azwir B. Chaniago

Muqaddimah.
Tidak ada manusia yang terbebas dari dosa dan kesalahan.  Dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa Allah berfirman : “Ya ‘ibaadi, innakum tukhti-una bil laili wan nahar”. Wahai hamba hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat dosa (kesalahan)  malam dan siang.

Rasulullah menjelaskan pula dalam  sabda beliau  : “Kullubni aadam  khaththa’un, wa khairul khaththainat tauwabun” Setiap Bani Adam banyak berbuat salah dan sebaik baik orang yang berbuat salah adalah yang bertaubat. (H.R at Tirmidzi).

Makna dan hakikat taubat.
Prof. DR Shalih Ghanim as Sadlan menjelaskan : Secara syar’i  taubat adalah meninggalkan dosa karena takut kepada Allah, menganggapnya buruk, menyesali perbuatan maksiatnya, bertekad kuat untuk tidak mengulanginya dan terus memperbaiki apa yang bisa diperbaiki dari amalnya.

DR Shalih menjelaskan lebih lanjut bahwa hakikat taubat adalah perasaan hati yang menyesali perbuatan maksiat yang sudah terjadi. Lalu mengarahkan hati kepada Allah Ta’ala pada sisa usianya serta (selanjutnya) menahan diri dari dosa. Berbuat dosa. Melakukan amal shalih dan meninggalkan larangan adalah wujud nyata dari taubat. 

Taubat mencakup penyerahan diri seorang hamba kepada Rabb-nya, inabah yaitu kembali kepada Allah Ta’ala dan konsisten menjalankan ketaatan. Jadi, sekedar meninggalkan perbuatan dosa namun tidak melaksanakan amalan yang dicintai Allah Ta’ala maka itu belum dianggap bertaubat. (Kitab At Taubatu Ilallah)

Tidak bertaubat adalah zhalim.
Allah Ta’ala berfirman : “Wa man lam yatub fa ulaa-ika humuzh zhaalimuun”.  Dan barangsiapa yang tidak bertaubat maka mereka itulah orang orang yang zhalim. (Q.S al Hujuraat 11).

Imam Ibnul Qayyim berkata : Dalam ayat ini Allah Ta’ala membagi para hamba-Nya menjadi dua yaitu : (1) Golongan  orang yang bertaubat dan (2) Golongan  orang yang zhalim. Tidak ada golongan yang ketiga sama sekali. 

Allah Ta’ala menyematkan sebutan zhalim pada diri orang yang tidak (mau) bertaubat. Dan tidak ada orang yang lebih zhalim daripada orang yang tidak bertaubat. Hal itu lantaran kebodohan atau ketidaktahuannya terhadap Allah dan hak Allah. Juga lantaran kebodohannya terhadap aib dirinya dan terhadap cacat amal perbuatannya. (Madaarijus Saalikin).

Tidak boleh berhenti bertaubat selagi masih hidup.
Imam Ibnul Qayyim mengatakan bahwa :  Posisi taubat (bagi kehidupan manusia)  merupakan : (1) Permulaan langkah. (2) Tengah tengahnya dan (3) Akhir atau penutupnya. Seorang manusia tidak boleh berpisah dengan taubat. Ia harus senantiasa dalam keadaan beratubat sampai kematiannya. 

Kalau ia berpindah dari suatu keadaan ia harus berpindah dengan membawa taubat. Taubat harus selalu menemaninya. Maka taubat haruslah menjadi permulaan kehidupan manusia dan harus menjadi penutup bagi akhir kehidupannya. Kebutuhan seseorang terhadap taubat dipenghujung hidupnya amat sangat darurat, tetapi kebutuhannya terhadap taubat pada awal kehidupannya juga amat sangat darurat pula. 
  
Allah Ta’ala berfirman :  “Wa tuubuu ilallahi jamiian aiyuhal mu’minuuna, la’allakum tuflihuun”. Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang orang yang beriman, agar kamu beruntung.  (Q.S an Nuur 31).

Ayat ini termasuk surat Madaniyah, yaitu turun setelah Rasulullah berhijrah ke Madinah. Allah berbicara kepada kelompok orang orang beriman yang paling pilihan yaitu para sahabat Nabi. Allah Ta’ala memerintahkan mereka supaya bertaubat kepada-Nya sesudah mereka beriman, bersabar, berhijrah dan berjihad. 

Kemudian Allah Ta’ala mengaitkan antara taubat dan hasilnya sebagaimana kaitan antara sebab dan akibatnya. Dalam menghubungkan antara taubat dan hasilnya itu Allah menggunakan kata la’alla yang bermakna harapan, sebagai bentuk pemberitahuan dari Allah bahwa : Apabila anda bertaubat berarti anda mengharapkan keberuntungan. Tidak ada yang bisa mengharapkan keberuntungan kecuali orang orang yang bertaubat.   
    
Syarat bertaubat yang sebenar benarnya.
Lalu bagaimana cara bertaubat yang sebenar benarnya atau dalam syariat disebut taubat nashuha. Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin memberikan penjelasan  tentang syarat bertaubat  yang sebenar benarnya  yaitu sebagaimana yang ditulis pada Kitab beliau, Tafsir Juz ‘Amma pada Tafsir surat al Buruj, sebagai berikut : 

Pertama : Ikhlas karena Allah semata.
Yaitu yang mendorong seseorang untuk bertaubat adalah rasa takutnya kepada Allah dan mengharap pahala dari-Nya. Terkadang ada orang yang bertaubat karena ingin dipuji manusia atau menghindari celaan manusia terhadapnya. Atau untuk mencapai kedudukan tertentu atau karena ingin mendapatkan harta dengan taubatnya.
Orang yang bertaubat dengan motivasi seperti itu tidak diterima taubatnya, karena syarat taubat harus ikhlas.

Kedua : Menyesali kesalahan yang telah dilakukan.
 Janganlah ia merasa seolah olah tidak bersalah, tidak menyesal, tidak bersedih dengan kesalahan dan dosanya. Jika disebutkan keagungan Allah tumbuhlah rasa penyesalam dalam dirinya. Dia akan berkata : Mengapa aku (selama ini) mendurhakai Rabb-ku, padahal Dia-lah yang menciptakan aku, memberi rizki dan hidayah kepadaku. 

Ketiga : Berhenti atau tidak meneruskan kesalahan tersebut.
Tidak sah taubat bila ia masih terus melakukan kesalahan yang sama karena orang yang bertaubat adalah orang yang kembali. Syaikh Utsaimin memberi contoh dalam hal ini diantaranya adalah, jika seseorang berucap : Astaghfirullaha wa atuubu ilaihi. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Nya dari memakan riba. Namun dia masih terus memakan riba, tentu taubatnya tidak sah. Seandainya seseorang berkata : Astaghfirullah, aku tidak akan berkata ghibah yaitu menyebut seseorang tentang sesuatu yang dia tidak suka. 

Namun dalam setiap majlis ia terus menggunjing orang lain, tentu taubatnya tidak sah. Bagaimana dikatakan sah sementara ia terus melakukan kesalahan yang sama. Jika seseorang bertaubat dari memakan harta orang lain, namun ia tetap mengambil harta si Fulan dengan cara menipu atau berbohong maka tidak sah taubatnya hingga ia mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya.

Keempat : Berazam atau bertekad bulat untuk tidak mengulangi lagi.
 Jika seseorang bertaubat sedangkan  dalam hatinya mengatakan kalau ada kesempatan niscaya dia akan mengulangi kesalahan tersebut, ini berarti taubatnya tidak diterima. Ia harus sungguh sungguh berazam dengan tekad yang kuat untuk tidak mengulanginya lagi.

Kelima :  Harus dilakukan pada saat pintu taubat masih terbuka. 
Ketahuilah bahwa ada saatnya dimana pintu taubat sudah tertutup dan taubat saat itu tidak diterima lagi. Yaitu ada pada dua waktu berikut :

 (1) Jika ajal sudah datang. Pada saat itu taubat tidak diterima. Allah berfirman : “Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang dari mereka, (barulah) ia mengatakan, sesungguhnya aku bertaubat sekarang. (Q.S an Nisaa’ 18).

Setelah menyaksikan kematian dan adzab, barulah ia berkata : Aku taubat. Taubat pada saat itu tidak lagi berguna. Jadi jika maut telah datang, taubat tidak diterima lagi. Oleh sebab itu segeralah bertaubat karena kita tidak tahu kapan kematian menjemput.

 (2) Jika matahari telah terbit dari sebelah barat. Pada saat itu taubat tidak lagi diterima. Sebab jika melihat matahari sudah terbit dari barat maka semua manusia akan beriman.

Jadi merupakan  kewajiban bagi setiap hamba untuk terus menerus memohon ampun dan bertaubat dan kita sangat berharap kiranya Allah Ta’ala mengampuni dosa dosa kita. 

Sebagai penutup tulisan ini dinukilkan satu doa yang diajarkan Rasulullah. Yaitu : “Allahummaghfirlii, watub ‘alaiyaa, innaka antal tawwabur rahiim”. Ya Allah, ampunilah dosaku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Menerima Taubat dan Maha Kasih Sayang. (H.R Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad, dishahihkan oleh Syaikh al Albani). 

Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (706)

Minggu, 26 Juni 2016

MERAIH KECINTAN ALLAH MELALUI AMALAN SUNNAH



MERAIH KECINTAAN ALLAH MELALUI  AMALAN SUNNAH

Oleh : Azwir B. Chaniago

Wajib bagi seorang hamba untuk senantiasa mencintai Allah Ta’ala, karena Allah  telah banyak berbuat baik dan memberi nikmat kepadanya. Allah berfirman : Wa maa bikum min ni’matin fa munallahi”... Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu maka dari Allah-lah (datangnya)… (Q.S an Nahal 53).

Syaikh Abdul Aziz bin Fathi as Sayyid Nada berkata : Sudah seharusnya cinta kepada Allah mengalahkan seluruh cinta (kepada) yang lain dan menjadi asal dari semua cinta sehingga seluruh cinta kepada selain Allah merupakan cabang darinya. (Kitab Ensiklopedi Adab Islam).

Allah Ta'ala telah memuji orang beriman yang mencintai-Nya. Allah berfirman : … “Walladziina aamanuu asyaddu hubban lillahi” ...…Adapun orang orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah .. (Q.S al Baqarah 165).
Ketahuilah saudaraku bahwa :  Mencintai Allah adalah wajib tetapi bagaimana seorang hamba bisa mendapat kecintaan Allah, adalah juga sangat penting. Seorang hamba haruslah berusaha mencari dan melaksanakan segala sesuatu agar  mendapatkan kecintaan Allah bagi dirinya.

Sungguh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya telah menjelaskan bahwa sangatlah banyak jalan untuk mendapatkan kecintaan Allah. Satu  diantaranya  adalah  sebagaimana hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahualaihi wa sallam bersabda : “Allah Ta’ala berfirman: Barangsiapa memerangi wali (kekasih)-Ku, maka Aku akan memeranginya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Kucintai. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.

Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku melindunginya.” (H.R Imam Bukhari)

Oleh karena itu tidaklah patut bagi seorang hamba untuk meninggalkan amalan amalan sunnah atau amalan amalan yang tidak wajib. Mungkin sementara manusia ada yang berkata : Ah itukan  amalan sunnah tidak dikerjakan toh juga tidak mendatangkan dosa. Benar demikian karena  ulama ahli fikih menjelaskan bahwa  amalan sunnah apabila ditinggalkan tidak berdosa dan jika dikerjakan mendapat pahala. 

Lalu datang pertanyaan : Jika Rasulullah telah menjelaskan bahwa salah satu keutamaan amalan sunnah adalah mendatangkan kecintaan Allah sebagaimana disebutkan pada hadits diatas, maka masihkah kita akan mengabaikan amalan amalan sunnah ?. Jawabannya adalah bahwa : Orang yang berakal (sehat) pastilah berusaha melakukan amalan amalan sunnah untuk meraih kecintaan Allah Ta’ala.

 Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (705)

Jumat, 24 Juni 2016

BERSEDEKAH BUKAN HANYA DENGAN HARTA



BERSEDEKAH BUKAN HANYA DENGAN HARTA

Oleh : Azwir B. Chaniago

Bersedekah untuk membantu orang lain yang membutuhkan, sangatlah dianjurkan dalam syariat Islam. Sungguh sangatlah banyak keutamaan bersedekah, diantaranya adalah bahwa Allah Ta’ala akan mengganti dengan berlipat ganda sampai 700 kali bahkan bisa lebih dari itu.

Allah Ta’ala berfirman :  “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui”. (Q.S al Baqarah 261).

Rasulullah bersabda : Abu Mas’ud berkata bahwa ada seseorang yang membawa seekor onta yang terikat ke hadapan Rasulullah seraya berkata : Onta ini saya sedekahkan di jalan Allah. Mendengar hal itu Rasulullah bersabda : “Laka bihaa yaumal qiyaamati sab’umi-ati naaqatii kulluhaa makhthuumah”. Balasan bagimu nanti di Hari Kiamat tujuh ratus onta yang seluruhnya terikat. (H.R Imam Muslim). 

Demikian hebatnya keutamaan sedekah maka sangat dianjurkan untuk bersedekah dalam keadaan sempit ataupun dalam keadaan lapang dan itulah salah satu tanda orang orang  yang bertakwa. Allah berfirman : “Alladziina yunfiquuna fissarraa-i wadhdharra-i” (Orang yang bertakwa yaitu) orang yang berinfak baik di waktu lapang maupun diwaktu sempit. (Q.S Ali Imran 134). 

Lalu ada yang bertanya : Bagaimana dengan orang orang yang tidak memiliki harta untuk disedekahkan ?. Ketahuilah bahwa pertanyaan semisal ini juga pernah diajukan para sahabat kepada Rasulullah Salallahu ‘alahi Wasallam. Beliau telah menjelaskan hal ini dalam sabda beliau dari Abu Hurairah dia berkata bahwa orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin mendatangi Rasulullah  dan berkata  : Orang-orang yang memiliki harta berlomba-lomba menggapai derajat yang tinggi dan nikmat yang kekal. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka puasa sebagaimana kami puasa.  Dan mereka memiliki kelebihan harta hingga mereka (bisa) berhaji, umrah, jihad dan bersedekah. 

Lalu Rasulullah bersabda : “Maukah aku beritahukan kepada kalian sesuatu untuk mengejar orang-orang yang telah mendahului kalian dalam beramal dan meninggalkan orang-orang yang ada di belakang kalian.  Dan tidak ada orang yang lebih baik dari kalian kecuali jika ia melakukan seperti yang kalian lakukan?, Para sahabat menjawab : Mau, wahai Rasulullah!, Maka Rasulullah bersabda : Kalian ber-tasbih, ber-tahmid, ber-takbir setiap selesai shalat sebanyak 33 kali.”

Abu Sholeh yang meriwayatkan dari Abu Hurairah  berkata : Ketika Rasulullah ditanya tentang bagaimana cara menyebutkannya, maka beliau  bersabda : Mengatakan subhaanallaah wal hamdulillaah wallaahu akbar, hingga setiap kalimat diucapkan sebanyak 33 kali. (Muttafaq ‘alaih).

Bahkan Rasulullah telah menjelaskan pula bahwa semua kebaikan adalah bernilai sedekah. Beliau bersabda :  “Kullu ma’ruufin shadaqatun” Setiap kebaikan adalah sedekah. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim, dari Abu Ayyub).

Imam an Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim antara lain menyebutkan  maksudnya adalah bahwa setiap kebaikan memiliki hukum yang sama dengan sedekah dalam hal pahala.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar, Rasulullah bersabda : “(1) Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah. (2) Engkau menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran adalah sedekah. (3) Engkau menunjuki orang yang tersesat adalah sedekah. (4) Engkau menuntun atau menunjuki orang yang lemah penglihatannya adalah sedekah. (5)  Engkau menyingkirkan batu, duri dan tulang dari jalan adalah sedekah (6) Dan engkau menuangkan air dari embermu (dan diberikan) ke ember saudaramu adalah saudaramu adalah sedekah”. (H.R Imam at Tirmidzi dan Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad).

Syaikh Atiyah Muhammad Salim berkata : Sedekah itu tidak sebatas pada harta atau senilai harta saja akan tetapi mencakup semua amalan shalih. Termasuk berupa ucapan yang baik, bermanis muka, menolong orang lain dengan membawakan barangnya ke kendaraan atau memberi keringanan kepada orang yang kesulitan. Bahkan ibadah kepada Allah bisa jadi sedekah seorang Muslim kepada saudaranya. 

Seperti diriwayatkan dalam satu hadits ketika ada orang yang datang saat para sahabat telah selesai shalat ashar, Rasulullah bersabda : “Siapakah yang mau bersedekah kepada orang ini dengan shalat bersamanya ?”. (H.R at Tirmidzi, Abu Dawud dan yang selainnya, dishahihkan oleh Syaikh al Albani). Maka Abu Bakar bersedekah dengan menemani shalat bersamanya. (Fi Zhilali Arsy Rahman).

Al Hafizh Ibnu Rajab al Hambali berkata : Sedekah dengan selain harta ada dua macam, yaitu :

Pertama : Segala sesuatu yang ada didalamnya manfaat kebaikan untuk orang lain maka hal itu sama dengan sedekah kepada mereka. Bahkan bisa lebih afdhal dari sedekah dengan harta. Misalnya memerintahkan yang baik dan mencegah dari kemungkaran, mengajarkan ilmu yang bermanfaat dan mengajarkan al Qur an kepada yang belum bisa, menghilangkan gangguan dari jalan, mendoakan kaum muslimin dan memintakan ampun bagi mereka.

Kedua : Segala sesuatu yang manfaatnya hanya terbatas bagi pelakunya sendiri. Seperti macam macam dzikir berupa takbir, tasbih, tahmid, tahlil dan istighfar, berjalan menuju masjid semuanya adalah sedekah. (Jami’ul Ulum wal Hikam)

Oleh karena itu jika memiliki harta meskipun sedikit tetaplah bersedekah apalagi memiliki harta yang banyak. Selain itu berusahalah  pula agar senantiasa melakukan kebaikan kebaikan yang insya Allah juga bernilai sedekah.

Wallahu A’lam (704)