BERUSAHA
SUPAYA TIDAK BERGANTUNG KEPADA MANUSIA
Oleh : Azwir B. Chaniago
Salah
satu sikap terpuji seorang hamba yang beriman adalah senantiasa menyibukkan
diri dengan sesuatu yang bermanfaat. Rasulullah bersabda : “Min husni islamil mar’i tarkuhu ma laya’niih” Paling baiknya Islam
seseorang (ialah) meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat. (H.R Ibnu Majah,
dalam Shahihul Jami’).
Jadi
seorang hamba tidak akan melakukan sesuatu yang
sia sia. Dengan memohon pertolongan Allah Ta’ala dia akan selalu
bersemangat melakukan yang bermanfaat bagi dunianya terlebih lagi bagi
akhiratnya. Ini adalah sebagaimana disabdakan Rasulullah : “Ahrish ‘ala maa
yanfa’uka, wasta’in billahi, walaa ta’jaz, wain ashabaka syai-un falaa taqul : Lau anni fa’altu kaana kadzaa wa
kadzaa. Walakin Qul : qadarullahi wa maa syaa-a fa’ala, fainna lau taftahu ‘amalasy
syaithaan”. Bersemangatlah untuk melakukan
apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan
bersikap lemah. Jika engkau ditimpa sesuatu janganlah berkata : Seandainya aku lakukan begini dan
begitu, akan tetapi katakanlah : Semuanya adalah ketentuan Allah yang melakukan
segala keinginan-Nya, karena kata seandainya
akan membuka tipu daya syaithan. (H.R Imam Muslim).
Ketahuilah
bahwa salah satu yang sangat bermanfaat bahkan menjadi kewajiban bagi seorang
hamba adalah berusaha atau bekerja mencari rizki yang halal terutama bagi laki
laki sebagai pemimpin dalam keluarganya. Sungguh ini adalah satu kemuliaan bagi
seorang hamba sehingga terhindar dari sesuatu yang hina yaitu menggantungkan
diri kepada kemurahan hati orang lain, meskipun
kepada orang tua ataupun saudara sendiri.
Rasulullah
telah mengingatkan umatnya untuk berusaha atau bekerja mencari rizki walaupun
dengan usaha yang mungkin dianggap rendah oleh sebagian manusia. Beliau bersabda : “Sungguh seorang dari kalian yang mengambil talinya lalu dia mencari
seikat kayu bakar dan dibawa dengan punggungnya kemudian dia menjualnya lalu
Allah mencukupkannya dengan kayu itu lebih baik baginya daripada dia
meminta-minta kepada manusia, baik manusia itu memberinya atau menolaknya”. (H.R
Imam Bukhari).
Rasulullah juga telah mengingatkan
tentang keutamaan memakan makanan dari hasil usaha sendiri. Dari al-Miqdam radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Tidaklah
seorang (hamba) memakan makanan yang lebih baik dari hasil usaha tangannya
(sendiri), dan sungguh Nabi Dawud ‘alaihissalam makan dari hasil usaha
tangannya (sendiri)” H.R
Imam Bukhari.
Hadits
yang agung ini menunjukkan keutamaan bekerja mencari nafkah yang halal dan
berusaha memenuhi kebutuhan diri dan keluarga dengan usaha sendiri. Bahkan ini
termasuk sifat-sifat yang dimiliki oleh para Nabi ‘alaihimussalam dan orang-orang
yang shalih. Dalam sebuah hadits disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Nabi Zakariya
‘alaihissalam adalah seorang tukang kayu” (H.R Imam Muslim)
Dalam
biografi imam besar Ahlussunnah dari generasi Tabi’ut tabi’in disebutkan bahwa Abdullah bin al-Mubarak pernah ditanya :
Engkau mengekspor barang-barang dagangan dari negeri Khurasan ke Tanah Haram/Makkah
(untuk dijual), bagaimana ini?”. Maka Abdullah bin al-Mubarak menjawab :
“Sesungguhnya aku melakukan (semua) itu hanya untuk menjaga mukaku (dari
kehinaan meminta-minta), memuliakan kehormatanku (agar tidak menjadi beban bagi
orang lain), dan menggunakannya untuk membantuku dalam ketaatan kepada Allah”.
Lalu Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata: Wahai Abdullah, alangkah mulianya tujuanmu
itu jika semuanya benar-benar terbukti” (Siyaru
A’laamin Nubala).
Syaikh
Abdurrahman as Sa’di berkata bahwa keinginan untuk bisa memenuhi kebutuhan
keuangan sendiri merupakan salah satu cita cita yang mulia yang ingin dicapai
oleh seorang Muslim saat dia bekerja dan berusaha. Beliau menyebutkan tentang
perkara yang bermanfaat di dunia
(diantaranya) adalah seseorang harus mencari rizki. Oleh sebab itu sepatutnya ia menempuh cara
terbaik yang sesuai dengan keadaannya.
Dengan
adanya sumber penghasilan meskipun belum mencukupi akan menghindarkan seorang
hamba menggantungkan diri kepada manusia.
Rasulullah bersabda : “Dan
sesungguhnya barangsiapa tidak mengharapkan dari orang lain, maka Allah
memberinya kecukupan. Dan barang siapa menjaga dirinya niscaya Allah akan
menjaga kehormatannya. Dan barangsiapa yang berusaha untuk bersabar maka Allah
akan menjadikannya penyabar” (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim, dari Abi
Sa’id al Khudri).
Hadits
yang mulia ini ternyata telah menggugah hati Abu Sa’id al Khudri untuk menjaga diri
dari meminta minta dan berharap kemurahan orang lain meskipun dia dalam keadaan
sangat kekurangan. Setelah mendengar hadits ini dari Rasulullah, Abu Sa’id berkata dalam hatinya : Demi Dzat yang
mengutusmu dengan al haq, aku tidak akan meminta kepadamu apapun. Akupun
kembali. Lalu Allah Ta’ala memberikan kecukupan
kecukupan dan mendatangkan kebaikan (bagiku).
Disebutkan
pula dalam hadits dari Sahl bin Sa’id bahwa ‘izzah (kewibawan, harga diri)
seorang yang beriman tampak kokoh jika dia tidak membutuhkan orang lain. Pada
suatu kali Jibril datang kepada Rasulullah dan berkata kepada beliau : “Yaa Muhammad … wa’lam anna syarafal mu’mini
qiyaamuhu bil laili wa ‘izzuhu istighna-uhu ‘aninnaas”. Wahai Muhammad … dan ketahuilah, sesungguhnya kemuliaan
seorang mukmin itu karena ia mengerjakan shalat malam dan izzah (kewibawaannya)
ialah dengan tidak butuh kepada orang lain. (H.R ath Thabrani, Abu Na’im, al Hakim dan
al Baihaqi, dishahihkan oleh Syaik al Albani).
Salafush
shalih mengambil pelajaran yang berharga dari pesan Rasulullah dalam hadits ini
sehingga mereka bekerja dan berusaha dalam berbagai kegiatan untuk mendapatkan
nafkah demi menjaga wibawa dan kehormatan diri. Mereka terus berusaha dan hanya
mau meminta kepada Allah Dzat Yang Mahamulia, Maha Pemberi rizki lagi Mahakuasa
atas segala sesuatu. Sungguh meminta kepada manusia akan menyebabkan kehinaan
dihadapan orang lain. Membuat kehinaan terhadap diri berarti berlaku zhalim
kepada diri sendiri.
Diriwayatkan
bahwa Abu Qilabah (wafat 104 H) yang berpesan kepada Ayyub as Sakhtiyani :
Tetaplah kamu bekerja di pasar karena sesungguhnya pekerjaanmu itu akan membuat
kamu tidak bergantung kepada orang lain dan akan mendatangkan kebaikan bagi
agamamu. (Abu Nu’aim dalam al Hilyah).
Demikianlah
salah satu pelajaran berharga dari
syariat Islam yang mulia ini untuk menjaga
wibawa dan harga diri umatnya yaitu berusaha dan bekerja dan tidak
menggantungkan kebutuhan dirinya kepada orang lain.
Insya
Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam (740)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar