Jumat, 30 September 2016

AL 'ALIM SALAH SATU NAMA ALLAH YANG MAHAINDAH



AL ‘ALIM ADALAH SALAH SATU
 NAMA ALLAH YANG MAHAINDAH

Oleh : Azwir B. Chaniago

Setiap hamba wajib meyakini bahwa salah satu nama Allah Yang Mahaindah adalah : Al ‘Alim yakni Yang Maha Mengetahui. Al ‘Alim ini disebut dalam al Qur an pada lebih dari 150 tempat, diantaranya adalah pada : 

Pertama : “Innallaha samii’un ‘aliim”. Sungguh Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (Q.S al Baqarah 181)

Kedua : “Yakhluqu maa yasyaa-u wa huwal ‘aliimul qadiir”. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa. (Q.S ar Ruum 54)

Ketiga : “Dzalika taqdiirul ‘aziizil ‘aliim”. Demikianlah ketetapan Yang maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (Q.S Yaasiin 38).

Syaikh Prof. DR Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al Badr berkata : Makna (al ‘Alim) adalah bahwa ilmu-Nya meliputi yang zahir dan yang bathin. Yang Nampak maupun yang tersembunyi, yang diatas yang dibawah. Yang telah berlalu, yang sekarang dan yang akan datang
Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya sesuatu apapun. Dia mengetahui apa yang terjadi. Apa yang akan terjadi dan apa yang tidak terjadi.  Seandainya terjadi bagaimana terjadinya.  Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu dan Dia menghitung segala galanya. (Kitab Fikih Asma’ul Husna).

Nah, kalau kita bertanya kepada orang orang (kecuali atheis atau yang semisalnya)  apakah engkau paham dan membenarkan bahwa Allah Maha Mengetahui tentang segala sesuatu ?. Mereka   akan menjawab : Ya kami paham bahwa memang Allah Ta’ala Maha Mengetahui segala sesuatu baik yang nampak maupun yang tersembunyi.

Namun demikian ternyata bahwa dalam kehidupan sehari hari kita melihat  sebagian orang seperti tidak tahu, tidak paham atau pura pura tidak paham tentang Ilmu Allah yang Maha Mengetahui. Sekiranya mereka betul betul paham bahwa Allah Maha Mengetahui tentulah akan menghambat mereka untuk bermaksiat baik di keramaian maupun di kesendiriannya. Tidak ada yang berani melakukan perbuatan tercela. Kenyataannya sebagian manusia melakukan perbuatan tercela berupa  maksiat bahkan ada yang terus menerus bermaksiat.

Padahal mereka juga tahu bahwa Allah Ta’ala melarang perbuatan tercela  dan mungkar.  Maksiat yang mereka lakukan pasti akan mendatangkan murka Allah.  Selain itu mereka juga mereka juga paham bahwa Allah menyediakan adzab bagi pelaku maksiat.

Allah berfirman : “Inna ‘adzaaba rabbika kaana mahdzuuraa”.  Sungguh adzab Rabb-mu itu sesuatu yang (harus)  ditakuti (Q.S al Isra’ 57)
Allah berfirman : “Inna ‘adzaaba rabbika lawaaqi’. Maa lahuu min daafi’. (Q.S at Tuur 7-8)

Lalu kenapa bisa terjadi yang demikian ?. Pada hal mereka sudah tahu Allah Maha Melihat dan Allah akan mengadzab orang orang yang bermaksiat kepada-Nya.

Ketahuilah bahwa manusia sering lupa atau melupakan sesuatu yang sudah diketahuinya. Paling tidak ada tiga  hal yang membuat manusia melakukan kemaksiatan, yakni : 

Pertama : Manusia memiliki hawa nafsu,  Dan hawa nafsu itu cenderung kepada keburukan. Allah berfirman : “Wa maa ubarri-u nafsii, innan nafsa la-ammaa ratun bis suu-i illa maa rahima rabbi”. (Yusuf berkata) Dan aku  tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku (Q.S Yusuf 53)

Dalam kitab Tafsir Taisir Kariimir Rahman di sebutkan bahwa : “Sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan” maknanya adalah seringkali (nafsu itu) memerintahkan pemiliknya untuk berbuat keburukan yakni perbuatan keji dan segala dosa. 
 
Kedua : Manusia mempunyai musuh yang nyata yaitu syaithan yang selalu berusaha menggoda dan mendorongnya untuk melakukan kemaksiatan dan dosa. Allah berfirman : “Innamaa ya’murukum bis suu-i wal fahsyaa-i wa an taquuluu ‘alallahi maa laa ta’lamun”.   Sesungguhnya (syaithan) itu hanya menyuruh kamu agar berbuat jahat dan keji dan mengatakan apa yang tidak kamu ketahui tentang Allah (Q.S al Baqarah 169)

Syaikh as Sa’di berkata : Yang dimaksud adalah kejahatan yang merusak pelakunya. Dengan demikian termasuk dalam hal ini adalah seluruh kemaksiatan.

Ketiga : Tertipu dengan kehidupan dunia. Orang orang yang tertipu dengan kehidupan dunia mempunyai kecendrungan  untuk melakukan kemaksiatan. Pada hal Allah Ta’ala telah mengingatkan dalam firman-Nya : “Inna wa’dallahi haqqun fa laa taghurrannakumul hayaatud dun-ya, wa laa yaghurannakum billahil gharuur”. Sungguh janji Allah pasti benar maka janganlah sekali kali kamu terpedaya oleh kehidupan dunia dan jangan sampai kamu terpedaya oleh penipu dalam (mentaati) Allah. (Q.S Luqmaan 33).

Oleh karena itu sangatlah penting bagi seorang hamba untuk terus menerus menjaga dirinya agar tidak tertipu oleh hawa nafsunya, tidak tertipu oleh syaithan dan tidak pula tertipu oleh kehidupan dunia, sehingga jatuh kepada perbuatan maksiat. Sungguh Allah Maha Mengetahui semua  yang kita lakukan.  
      
Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (817).

USAHA DAN DOA MENDAHULUI TAWAKKAL



USAHA DAN DOA HARUS MENDAHULUI TAWAKKAL

Oleh : Azwir B. Chaniago

Adalah kewajiban manusia untuk bertawakkal atau berserah diri kepada Allah Ta’ala  atas segala sesuatu kebaikan yang dia inginkan ataupun ingin terhindar dari sesuatu yang dia khawatirkan berbahaya bagi dirinya. Ketahuilah bahwa seseorang yang bertawakkal maka  haruslah berusaha melakukan sebab untuk mendapatkan sesuatu yang dia harapkan itu.

Dalam hal rizki misalnya. Sungguh Allah telah Ta’ala telah menjamin rizki bagi seluruh makhluk sebagaimana firman-Nya : “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rizkinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuuz)” Q.S Huud 6.

Namun demikian rizki itu sedikit atau banyak tentulah tidak datang dengan sendirinya tapi dimulai dengan usaha dan cara cara yang halal, lalu berdoa dan  berserah diri kepada Allah Ta’ala. Selanjutnya haruslah ridha terhadap apa yang telah ditetapkan-Nya bagi seorang orang hamba.

Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata : Kewajiban kita adalah ridha kepada Allah sebagai Rabb, ridha terhadap pembagian dan takdir-Nya dan ridha atas ketentuan ketentuan-Nya.

Syaikh Utsaimin pernah ditanya tentang  tawakkal. Beliau memberikan fatwa : Tawakkal adalah berpegang yang (secara) benar kepada Allah Ta’ala dalam meraih segala manfaat dan menolak marabahaya, serta melakukan berbagai sebab yang dipeintahkan Allah dengannya. Tawakkal bukanlah berpegang kepada Allah tanpa melakukan sebab atau usaha. Sesungguhnya berpegang kepada Allah Ta’ala tanpa melakukan sebab atau usaha adalah mencela perbuatan Allah dan hikmah-Nya, karena Allah mengaitkan antara akibat dan sebabnya. 

Disini muncul pertanyaan : Siapakah manusia yang paling bertawakkal kepada Allah Ta’ala ?. Jawabannya adalah Rasulullah Salallahu ‘alaihi wa sallam. (Pertanyaan selanjutnya), Apakah beliau yang melakukan sebab atau usaha untuk menghindari bahaya dengannya. Jawabnya : Benar, ketika beliau keluar ke medan perang beliau memakai baju perang (dari besi) untuk menjaga diri dari anak panah. Dalam perang Uhud beliau memakai baju perang dua lapis. Semua itu untuk persiapan apa yang akan terjadi.  Oleh karena itu melakukan usaha tidaklah menghalangi tawakkal apabila manusia meyakini bahwa semua usaha atau sebab ini hanya semata mata sebab saja yang tidak memberikan pengaruh baginya kecuali dengan izin Allah Ta’ala.  (Fatawa al ‘Ilaj bil Qur an was Sunnah).

Oleh karena itu seorang hamba haruslah selalu mengambil sebab atau melakukan usaha agar mendapatkan yang inginkan atau ingin menjauh dari marabahaya yang tidak diharapkan.  Kemudian dia berdoa dan berserah diri terhadap apapun   yang telah ditetapkan Allah Ta’ala baginya. 

Sunguh Allah Ta’ala  telah berfirman : “Qul lan yushiibanaa illa maa kataballahu lana, huwa maulaanaa wa ‘alallahi falyatawakkalil mu’minuun”. Katakanlah, Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami dan hanya kepada Allah bertawakkal orang orang yang beriman. (Q.S at Taubah 51). 

Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (816)

Kamis, 29 September 2016

BERUSAHALAH AGAR MENDAPAT HAJI MABRUR



BERUSAHALAH AGAR MENDAPAT HAJI MABRUR

Oleh : Azwir B. Chaniago

Setiap orang yang beriman memiliki keinginan yang sangat kuat untuk pada suatu waktu bisa melaksanakan ibadah haji. Keinginan ini ada pada diri orang yang beriman dari segala strata. Apakah dia orang berharta atau bukan, berpangkat atau bukan, berpendidikan tinggi atau rendah dan juga dengan berbagai ragam profesi.

Seperti apa keinginan dan semangat orang orang beriman untuk melaksanakan ibadah haji,  antara lain terlihat dari data daftar tunggu calon jemaah haji kita di Kementrian Agama. Pada pertengahan tahun 2016 ada sekitar 3 juta orang calon Jemaah haji yang sudah terdaftar, sedang berada pada antrian menunggu kesempatan berangkat menunaikan ibadah haji. Barangkali juga jutaan orang di negeri kita saat ini telah menabung dan berniat berangkat haji meskipun belum mendaftar. 

Kalau kita coba menelisik kenapa begitu hebatnya semangat orang beriman untuk bisa menunaikan ibadah haji maka dapatlah kita sebutkan beberapa  hal yang utama, diantaranya : (1) Untuk melaksanakan perintah Allah Ta’ala. Sungguh berhaji hukumnya wajib dan merupakan salah satu rukun Islam. (2) Keinginan yang amat sangat untuk mendapatkan surga karena balasan haji mabrur adalah surga. (3) Keinginan yang amat sangat untuk mendapatkan pahala dan nilai ibadah yang berlipat ganda yaitu dengan beribadah di Masjidil Haram dan Masjid an Nabawi.
Semua tujuan melaksanakan ibadah haji yang disebutkan diatas adalah sangat agung. Satu diantaranya untuk mendapat predikat haji mabrur. Sungguh Rasulullah bersabda : 

ÙˆَالْØ­َجُّ الْÙ…َبْرُورُ Ù„َÙŠْسَ Ù„َÙ‡ُ جَزَاءٌ Ø¥ِلاَّ الْجَÙ†َّØ©ُ

Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim) 

Imam an Nawawi rahimahullah menjelaskan : Yang dimaksud dengan tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga, bahwasanya haji mabrur tidak cukup jika pelakunya dihapuskan sebagian kesalahannya. Bahkan ia memang pantas untuk masuk surga.” (Syarh Shahih Muslim).

Lalu datang pertanyaan : Apakah semua orang yang telah melaksanakan ibadah haji mendapat predikat haji mabrur ?. Kita berharap demikian tapi tentu Allah yang Mahatahu tentang siapa saja yang berhak mendapatkannya.

Insya Allah ada beberapa upaya yang bisa dilakukan oleh orang orang  beriman  yang melaksanakan ibadah haji untuk mendapatkan haji mabrur.

Pertama : Niat ikhlas karena Allah Ta’ala.  
Salah satu kunci utama untuk mendapatkan haji mabrur adalah berniat dengan sungguh sungguh dan semata mata karena Allah Ta’ala, tidak tercampur dengan niat lain. Ikhlas karena Allah saja. Para ulama sepakat bahwa salah satu syarat diterimanya ibadah adalah ikhlas. Seseorang tidak dianggap beribadah dengan benar jika tidak ikhlas. Suatu ibadah yang dilakukan tanpa  keikhlasan tidak akan bermanfaat sedikitpun disisi Allah bahkan bisa mendatangkan murka-Nya.

Allah berfirman : Katakanlah: “Qul inna shalaatii wanusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillahi rabbil ‘aalamiin”.  Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. (Al-An’am: 162). 

Dalam surat Al-Bayyinah ayat 5 Allah berfirman : “Wamaa umiruu illaa liya’budullaha mukhlishiina lahuddiin” .Padahal mereka hanya  disuruh  menyembah Allah dengan ikhlas mentaati-Nya semata mata  karena (menjalankan) agama.

Allah Ta’ala juga  berfirman : “Fa’budillaha mukhlisan lahuddiin.”  Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya. (Q.S az Zumar 2).

Allah Ta’ala berfirman : “Wa atimmuul hajja wal ‘umrata lilahi”. Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Q.S al Baqarah 196)
 
Kedua : Mendapatkan harta dari sumber yang halal.
Suatu hal yang sangat penting dalam melaksanakan ibadah haji adalah menggunakan harta dari sumber yang halal. Sungguh tidak layak untuk menggunakan harta yang haram untuk suatu ibadah yang agung.

Dari Abu Hurairah,semoga Allah meridhainya,  beliau berkata : “Aiyuhan naasu, innallaha thaiyibun, laaa yaqbalu illaa thaiyiban”. “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah adalah baik dan tidaklah menerima kecuali yang baik”. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Rasulullah bersabda :
Ù„َا تُÙ‚ْبَÙ„ُ صَÙ„َاةٌ بِغَÙŠْرِ Ø·ُÙ‡ُورٍ ÙˆَÙ„َا صَدَÙ‚َØ©ٌ Ù…ِÙ†ْ غُÙ„ُولٍ
Tidaklah shalat diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak diterima jika dari (hasil ketidakjujuran). H.R Imam Muslim.

Rasulullah bersabda : “Idza hajjar rajulu bi maalin haraami, fa qaala labbaika, qaalahu ‘azza wa jal, laa labbaika, wa laa sa’daika”. Apabila seseorang mengerjakan ibadah haji dengan harta yang haram, lalu dia mengucapkan labbaika (Aku penuhi panggilan-Mu) Allah Subhanahu wa Ta’ala menjawabnya : Tiada pemenuhan dan tiada kebahagiaan bagimu. (H.R ad Dailami).

Imam an Nawawi berkata dalam kitab al Majmu',  Jika seseorang menunaikan haji dengan harta yang haram, maka dia berdosa sedangkan hajinya sah dan dianggap. Demikian dikatakan oleh kebanyakan ahli fiqih. 

Dalam al-Mausu'ah al-Fiqhiah, disebutkan bahwa : Jika seseorang melaksanakan haji dengan harta yang terdapat syubhat di dalamnya, atau dengan harta hasil merampas, maka secara zahir hajinya sah. Akan tetapi dia telah bermaksiat dan tidak mendapatkan haji mabrur. Ini adalah mazhab Imam Syafi'i, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, rahimahumullah serta mayoritas ulama dahulu dan sekarang.

Sedangkan Ahmad bin Hanbal berkata, hajinya tidak sah jika dilakukan dengan harta haram. Dalam riwayat lain (dari Ahmad) beliau berkata, hajinya sah namun dia melakukan perkara haram. Dalam hadits shahih, dinyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan seorang laki-laki yang menempuh perjalanan jauh, kumal dan dekil, menjulurkan kedua tangannya ke langit, Ya Rabbi, Ya Rabbi, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dia tumbuh dengan sesuatu yang haram, bagaimana doanya akan dikabulkan." 

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata : (Orang yang berhaji dengan harta haram), "Hajinya sah jika dilaksanakan sesuai ajaran Allah, akan tetapi dia berdosa karena mempergunakan hasil usaha yang haram. Maka dia wajib bertaubat kepada Allah dari perkara tersebut dan menganggap hajinya memiliki cacat sebab dia memanfaatkan dari perkara haram, akan tetapi telah gugur kewajiban haji baginya." (Fatawa Ibn Baz).
Oleh karena itu seorang muslim dituntut untuk berusaha mendapatkan rizki dari sumber yang halal sehingga ibadahnya diterima  dan bermanfaat baginya. 

Ketiga : Memiliki ilmu yang cukup.

Sungguh kita butuh ilmu untuk memahami aqidah yang benar. Kita butuh ilmu untuk beribadah yang benar. Kita butuh ilmu untuk berakhlak yang terpuji. Kita butuh ilmu agar bisa bermuamalah dengan baik. Bahkan beberapa saat sebelum matipun kita masih butuh ilmu yaitu ilmu tentang kalimat apa yang harus kita ucapkan pada saat yang kritis itu.

Orang bijak berkata : Untuk mendapatkan dunia kita butuh ilmu. Untuk mendapatkan akhirat kita butuh ilmu. Untuk mendapatkan keduanya kita butuh ilmu. 

Begitupun untuk melaksanakan ibadah haji maka haruslah memiliki ilmu yang cukup agar bisa melaksanakannya dengan baik sebagaimana yang diajarkan Rasulullah. Jangan sampai ibadah yang kita lakukan dengan mengeluarkan harta  serta tenaga dan waktu yang tidak sedikit lalu  kurang nilainya atau tertolak karena tidak dilakukan sesuai petunjuk Rasulullah.
.
Rasulullah bersabda : “Man ‘amila amalan laisa ‘alaihi amruna fahuwa raddun” Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu tertolak.  (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Sungguh Rasulullah telah mengingatkan agar kita mengambil cara cara beribadah sebagaimana yang beliau ajarkan. Beliau bersabda : “Khuzuu anni manasikakum” Ambillah dariku cara beribadah kalian. (H.R Imam Muslim)

Keempat : Meningkatkan ketaatan mulai sejak berniat mau melaksanakan ibadah haji.

Seseorang yang telah berencana untuk menunaikan ibadah haji maka sangat dianjurkan untuk segera meningkat ketaatan kepada Allah Ta’ala. Beramal lebih banyak dan lebih  baik dari yang biasa dia lakukan. Jangan melalaikan ibadah sunnah apalagi ibadah wajib.  Perbanyak dzikir, membaca al Qur an, bersedekah dan shalat malam. Ini adalah dalam rangka taqarrub dan mengharapkan kecintaan Allah Ta’ala.

Rasulullah bersabda : Allah Ta’ala berfirman, barangsiapa memerangi wali (kekasih) Ku, maka Aku akan memeranginya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Kucintai. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. (H.R Imam Bukhari).

Selain itu yang penting juga dilakukan ketika sudah berencana melaksanakan ibadah haji diantaranya adalah (1) Melakukan taubat dengan sebenar benar taubat (2) Menyelesaikan hak hak orang lain yang harus diselesaikan. (3) Menjauhi dosa sekecil apapun. (4) Bergaul dengan orang orang shalih  

Ini semua adalah upaya untuk mencapai takwa. Ketahuilah orang yang akan berhaji diperintahkan untuk berbekal. Sungguh bekal terbaik adalah takwa. Allah berfirman : “Wa tazawwaduu, fainna kahiraz zaadit taqwa. Wattaquuni yaa uulil albaab” Berbekallah, karena sesungguhnya sebaik baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang orang yang berakal. (Q.S al Baqarah 197)  

Kelima : Berserah diri kepada Allah Ta’ala.
Inilah salah sikap utama seorang beriman. Jika dia telah berusaha melakukan suatu amal untuk mendapatkan yang terbaik sesuai tuntunan Allah Rasul-Nya maka dia bertawakal atau berserah diri kepada Allah Ta’ala. Begitu pula yang harus dilakukan ketika melaksanakan ibadah haji.

Allah Ta’ala berfirman : “Huwa maulaanaa wa ‘alallahi fal yatawakkalil mu’minuun”. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang orang yang beriman harus bertawakal. (Q.S at Taubah 51).

Itulah sebagian upaya yang bisa dilakukan seorang hamba untuk mendapatkan  predikat haji Mabrur. Wallahu A’lam. (815)