MAKNA DAN KEBUTUHAN TERHADAP NIAT
Oleh : Azwir B. Chaniago
Imam an Nawawi dalam Kitab hadits Arba’in an
Nawawiyah mencantumkan hadits tentang
niat di nomor urut pertama, yaitu :
Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh
Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى
فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ
ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا
فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ
Sesungguhnya setiap amalan
tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.
Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan
Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang
dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju. (HR. Bukhari dan Muslim).
Jumhur ahli
hadits berpendapat bahwa ini adalah hadits ahad, tidak mencapai derajat
mutawatir. Tapi
ketahuilah bahwa lebih dari 10 ahli hadits mencantumkan hadits ini dalam
kitabnya. Hadits ini sangatlah masyhur
dikalangan kaum muslimin.
Lalu apa makna niat ?. Secara bahasa, niat
bermakna qashdu, maksud atau tujuan atau yang disengajakan. Imam an Nawawi berkata
: Bahwa niat adalah bermaksud untuk melakukan sesuatu dan bertekad bulat untuk
melaksanakannya.
Secara syar’i, niat bermakna KUAT NYA HATI
UNTUK MELAKUKAN SUATU IBADAH dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah
Ta’ala.
Syaikh as Sa’di berkata : Niat adalah maksud
dalam beramal untuk mendekatkan diri kepada Allah, mencari ridha dan
pahala-Nya. (Bahjah Quluubil Abraar).
Sungguh niat adalah awal yang penting sebelum
melakukan suatu perbuatan. Ada yang mengatakan bahwa niat itu seperti surat
yang sebelum dikirim perlu diberi alamat. Salah menuliskan alamatnya maka salah
pula sampainya atau salah tujuannya. Oleh karena itu alamat yang dituju atau
yang dimaksud jelas dan lengkap.
Sungguh SANGATLAH PENTING MELURUSKAN NIAT
ketika akan memulai suatu perbuatan. Syaikh Utsaimin menjelaskan tentang
perkara ini sebagai berikut :
Pertama
: Niat berfungsi untuk membedakan antara amalan ibadah yang satu dengan yang
lain. Misalnya, seseorang shalat dua rakaat , bisa jadi ia meniatkannya
untuk shalat fardhu, atau shalat sunah rawatib, atau tahiyatul masjid. Maka,
dengan niat, seseorang membedakan apakah ia melakukan hal yang wajib ataukah
hal yang sunah.
Kedua
: Niat berfungsi untuk membedakan perkara ibadah dan perkara adat kebiasaan
manusia. Misalnya seseorang yang mandi, bisa jadi ia meniatkannya hanya
sekedar untuk membersihkan badan (yang nilainya hanyalah sekedar kebiasaan atau
mubah, boleh boleh saja).
Atau bisa jadi ia berniat untuk menghilangkan
hadats besar (yang nilainya adalah ibadah). Benarnya niat menunjukkan ikhlas
kepada Allah dan niat yang benar merupakan sebab mendapatkan pahala.
Ketiga
: Niat merupakan syarat sebuah amal atau perbuatan (mubah, bukan ibadah)
bisa membuahkan pahala. Amalan mubah
seperti makan, minum, dan sebagainya, jika diiringi dengan niat yang benar,
semisal karena memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya serta untuk membantu dalam
melaksanakan ketaatan, maka bisa menjadi amal shalih dan pelakunya diberi
pahala. (Ushuulil Fiqhi wa Qawaa’idihi).
Jadi, ternyata niat dalam melakukan sesuatu
adalah sangat sangat penting. Sebagian ulama mengungkapkan bahwa : (1) Ibadah
orang yang lalai (dari niat) menjadi suatu adat kebiasaan saja. (2) Adat atau
kebiasaan yang dilakukan orang yang selalu istiqamah dan hadir hatinya menjadi
ibadah.
Oleh karena itu sebelum melakukan sesuatu yang
baik apapun bentuknya maka PERJELAS DULU
NIAT DAN TUJUANNYA. Kalau disandarkan kepada perintah syariat maka yang
mubahpun bisa mendatang pahala.
Saudaraku, satu hal yang perlu kita ingat
adalah bahwa NIAT YANG BAIK TIDAK AKAN PERNAH BISA MERUBAH SUATU YANG HARAM
MENJADI HALAL.
Seseorang yang mengambil uang yang bukan haknya seperti dari
KORUPSI ATAU MENIPU DAN MERAMPOK lalu DIA BERNIAT UNTUK MELAKUKAN KEBAIKAN,
yaitu uangnya dimanfaatkan SEBAGIAN ATAU SELURUHNYA untuk kemashlahatan umat
seperti membangun masjid, membangun madrasah, membangun pesantren, berinfak dan
sedekah dan yang lainnya maka tidaklah membuat uang haram itu menjadi halal
bagi pelakunya.
Sungguh Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam telah
mengingatkan tentang perkara ini dalam sabda beliau :
إِنَّ
اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
Sesungguhnya Allah itu Mahabaik dan tidak menerima, kecuali sesuatu yang baik. (H.R Imam Muslim)
Sesungguhnya Allah itu Mahabaik dan tidak menerima, kecuali sesuatu yang baik. (H.R Imam Muslim)
Insya Allah ada manfaatnya
bagi kita semua. Wallahu A’lam. (1.439)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar