ISLAM
MENGHARAMKAN NIKAH MUT’AH - SYI’AH MEMPROMOSIKANNYA
Oleh
: Azwir B. Chaniago
Makna nikah mut’ah
Pada
lazimnya, kata mut’ah dipergunakan untuk sebutan terhadap pernikahan sementara.
Pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu
sementara. Jangka waktunya adalah sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Bisa
satu hari, tiga hari, satu minggu satu bulan bahkan bisa satu jam. Jika waktu
yang disepakati pada saat nikah itu selesai dilalui maka ikatan perkawinanan
mut’ah itu dengan sendirinya berakhir atau putus. (Lihat Ensiklopedi Islam 3/311).
Penamaan mut’ah atas pernikahan model begini karena nikah
tersebut dilakukan oleh pihak yang berakad yaitu suami istri hanya untuk
mendapatkan kepuasan seksual atau untuk bersenang-senang. Dan memang salah satu
makna dari kata mut’ah adalah yang menyenangkan.
Istilah lain dari nikah mut’ah adalah nikah muaqqat,
yaitu perkawinan sementara yang dibatasi waktunya. Juga disebut dengan istilah
nikah munqati’, yaitu perkawinan yang terputus dengan berakhirnya waktu yang
disepakati.
Islam
mengharamkan nikah mut’ah
Para
ulama Ahlus sunnah sepakat bahwa nikah mut’ah memang pernah diperbolehkan
dimasa-masa awal sejarah Islam kemudian diharamkan sampai hari Kiamat.
Sesungguhnya
Rasululah melarang kawin mut’ah dan daging keledai jinak (peliharaan), ketika
perang Khaibar (H.R Imam Bukhari).
Rasulullulah
bersabda : “Wahai manusia sesungguhnya aku pernah membolehkan kalian nikah
mut’ah. Ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari Kiamat. Maka
barangsiapa yang masih memilikinya hendaknya dilepaskan dan jangan kalian ambil
sedikitpun dari apa yang telah kalian berikan (H.R Muslim).
Jika
kita memperhatikan dengan pikiran jernih
akan terlihat bahwa nikah mut’ah tidak sesuai atau bertentangan dengan
tujuan pernikahan yang syar’i. Itulah
antara lain sebab diharamkannya. Diantaranya adalah :
Pertama
: Syari’at mengajarkan agar umat Islam berusaha mempertahankan kelanggengan
pernikahannya. Tidaklah boleh menentukan batas waktu berakhirnya sebagaimana
yang berlaku pada nikah mut’ah.
Kedua
: Dalam syari’at Islam ditetapkan bahwa seseorang tidak boleh memiliki istri
lebih empat sementara dalam nikah mut’ah tidak terbatas.
Ketiga
: Istri kaum muslimin berhak atas warisan dari suaminya sementara istri mut’ah
tidak mewarisi.
Keempat
: Dalam pernikahan yang syar’i mutlak adanya wali dan saksi. Tapi dalam nikah
mut’ah tidak diperlukan boleh jadi
berdua saja dan langsung menikah.
Kelima
: Jika seseorang menceraikan istrinya, diperlukan lafaz cerai atau yang semisalnya.
Tapi dalam nikah mut’ah tidak diperlukan karena cerai secara otomatis jika
waktunya berakhir.
Keenam
: Dalam nikah mut’ah, masa
idah diabaikan hanya 2 kali haidh dan bagi yang sudah tidak haidh lagi
cukup menunggu 45 hari. Mereka tidak
menyebutnya idah tapi istilah istibra’. Dan dalam banyak kasus istibra’ ini
juga sering diabaikan.
Ulama Syi-ah mempromosikan nikah
mut’ah.
Ulama Syi’ah berkeyakinan kuat bahwa nikah mut’ah
bukan sekedar halal mutlak tapi merupakan bagian pokok dari agama mereka. Orang
yang mengingkari nikah mut’ah menurut mereka disebut kafir atau murtad.
Ash Shadiq berkata : Nikah mut’ah adalah bagian
dari agamaku, agama nenek moyangku. Barang siapa yang mengingkarinya maka ia
mengingkari agama kami. Orang yang meningkari nikah mut’ah kafir dan murtad.
(Kitab Syiah, Minhajus Shadiqin, Fatullah al Kashaani)
Dinukil oleh al Qummy (Ulama Syiah) dari Abdullah
bin Sinai dari Abu Abdillah, ia berkata : Sesungguhnya Allah mengharamkan untuk
orang-orang Syi’ah segala minuman yang memabukkan dan mengganti bagi mereka
dengan nikah mut’ah.
Syi’ah tidak membatasi jumlah wanita yang boleh dinikah
mut’ah. Didalam buku Syi’ah Furu’ul
Kaafi disebutkan, dari Zamrah, aku bertanya kepada Abu Abdillah tentang jumlah
wanita yang boleh di mut’ah, apakah hanya empat. Ia menjawab : Nikahilah dengan
mut’ah seribu wanita, karena wanita-wanita itu dikontrak.
Penganut Syi’ah tidak hanya meyakini nikah mut’ah
suatu yang halal secara mutlak tapi memiliki keutamaan yang sangat besar, diantaranya adalah sebagai mana
disebutkan dalam buku buku Syi’ah :
Pertama : Pahalanya setara dengan Haji dan Umrah 70 kali.
Barangsiapa melakukan mut’ah dengan wanita
beriman maka dia seperti menziarahi ka’bah (berhaji/berumrah) 70 kali (Al
Majlisi, Buku Syiah :Risalah Mut’ah)
Kedua : Diampuni dosanya terutama bagi wanita.
Abu Ja’far berkata : “Bahwa ketika nabi melakukan
isra’ mi’raj beliau bersabda : Saya dijumpai Jibril dan ia berkata : Wahai Muhammad sesungguhnya Allah berfirman :
Aku telah mengampuni dosa-dosa wanita dari umatmu yang melakukan
mut’ah.”(Hadits buatan Syiah ?)
Ketiga : Terbebas dari api neraka.
Barangsiapa melakukan muth’ah satu kali maka
sepertiga badannya dibebaskan dari neraka. Siapa yang bermut’ah dua kali maka
dua pertiga badannya dibebaskan dari neraka. Siapa yang menghidupkan tradisi
mut’ah ini tiga kali maka amanlah seluruh badannya dari neraka yang membakar
(Al Majlisi, Kitab Syi’ah Risalah Mut’ah).
Keempat : Meningkatkan derajat takwa.
Barangsiapa melakukan mut’ah sekali maka
derajatnya seperti Husain, siapa yang bermut’ah dua kali derajatnya seperti
Hasan, siapa yang bermut’ah tiga kali derajatnya seperti Ali bin Abi Thalib.
Siapa yang bermut’ah empat kali maka derajatnya sama dengan derajatku (Nabi
salallahu alaihi wassalam). Tafsir Syiah, Manhaj as Saadiqin, Fathullah al
Kashaani).
Beberapa syarat nikah mut’ah menurut Syi’ah
adalah :
Pertama : Wanita beragama Islam (?) atau ahlul Kitab yang baik-baik.
Kalau dia pezina, makruh untuk dinikahi tapi boleh dan tidak berdosa.
Kedua : Akad nikah harus dengan redaksi : Aku kawini engkau atau
aku nikahi engkau atau aku nikah mut’ah engkau. Akad boleh dilakukan tanpa wali
dan saksi.
Ketiga : Harus ada mas kawin
yang jumlahnya disepakati. Jika tidak ada mahar atau mas kawin maka
nikah mut’ah batal.
Keempat : Jangka waktu nikah mut’ah harus disebutkan secara jelas
dalam akad. Jika tidak disebutkan, menjadi nikah permanen (Lihat Kitab
Ensiklopedi Islam 3/312)
Wallahu A’lam. (780).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar