ORANG IKHLAS MENDAPAT NAUNGAN ALLAH
PADA
HARI KIAMAT
Oleh :
Azwir B. Chaniago
Ikhlas dan keikhlasan sungguh sangat mudah
diucapkan tapi sulit untuk dilakukan
kecuali bagi orang yang telah diberi
petunjuk oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Secara etimologi
atau bahasa, ikhlas bermakna bersih dari segala sesuatu yang tidak baik dan
menjadikan sesuatu bersih, tidak kotor, murni tidak ada sesuatu yang tercampur padanya.
Menurut syariat,
ikhlas mempunyai banyak penjelasannya dari para ulama akan tetapi semuanya
mengacu kepada makna etimologinya yaitu memurnikan atau memurnikan sesuatu
(ibadah) hanya untuk Allah Ta’ala.
Syaikh Ahmad
Farid, seorang Ulama Mesir, menyebutkan
berbagai pendapat dan penjelasan tentang makna ikhlas menurut terminology.
Diantaranya disebutkan : Ada ulama yang mendefinisikan bahwa ikhlas “menjadikan tujuan hanya untuk Allah Ta’ala
tatkala beribadah, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hati dan wajahmu
arahkan kepada Allah Ta’ala, bukan kepada manusia.
Adapula yang
mengatakan bahwa ikhlas “membersihkan amalan dari komentar manusia yaitu
jika engkau melakukan suatu amalan tertentu maka bersihkan diri dari
memperhatikan manusia untuk mengetahui perkataan (komentar) mereka tentang
amalanmu tersebut. Cukuplah Allah Ta’ala yang memperhatikan amalan kebajikanmu.
Itu artinya engkau ikhlas dalam amalan
untuk-Nya. (Tazkiyatun Nufus, dengan diringkas).
Sungguh sangatlah
banyak keutamaan yang akan diperoleh seorang hamba yang ikhlas yaitu karena
Allah Ta’ala saja, diantaranya adalah mendapat naungan Allah pada hari Kiamat.
Ketahuilah bahwa pada hari Kiamat kelak manusia akan dikumpulkan di suatu
lapangan atau padang yang luas yang disebut padang mahsyar. Rasulullah bersabda
: “Allah Ta’ala mengumpulkan seluruh
manusia dari pertama hingga yang terakhir diatas satu dataran … dan matahri
mendekat, maka orang orang pun dilanda kesedihan dan kesulitan yang tidak mampu
mereka hadapi dan tidak mampu mereka pikul.(H.R Imam Bukhari dan Imam
Muslim).
Ketika itu hari
sangatlah panas sehingga keringat mereka bercucuran dengan derasnya. Rasulullah
bersabda : “Pada hari Kiamat matahari mendekat kea rah manusia seukuran satu mil,
maka (keadaan) manusia pun terhadap keringat mereka (yang bercucuran)
berdasarkan amalan mereka. Ada di antara mereka yang air keringatnya hingga dua
mata kakinya, ada diantara mereka yang keringatnya hingga ke lutut, ada yang
hingga ke pantatnya da nada diantara mereka yang keringatnya hingga ke
mulutnya. (H.R Imam Muslim)
Dengan keadaan
yang demikian berat maka setiap orang membutuhkan
naungan atau perlindungan dan pada saat itu tidak ada perlindungan atau naungan
kecuali dari Allah Ta’ala saja. Dan sangatlah beruntung orang orang yang ikhlas
dalam ibadahnya sehingga mereka termasuk dalam golongan orang orang yang
mendapat naungan.
Rasulullah
bersabda : “Tujuh golongan yang akan
dinaungi Allah Ta’ala di bawah naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan
kecuali naungan Allah Ta’ala, yaitu : Imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam
beribadah kepada Allah, seorang laki laki yang hatinya terikat dengan masjid
masjid, dua orang laki laki yang saling mencintai karena Allah, mereka
berkumpul karena Allah dan berpisah
karena Allah, seseorang yang di ajak untuk berzina oleh seorang wanita yang
berkedudukan dan cantik namun dia berkata, sesungguhnya aku takut kepada Allah,
seorang yang bersedekah lalu ia
sembunyikan hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang disedekahkan oleh tangan
kanannya dan seseorang yang berdzikir mengingat Allah tatkala sendirian maka
kedua matanya pun meneteskan air mata”. (H.R
Imam Muslim).
Perhatikanlah
bahwa dalam hadits ini disebutkan tujuh golongan yang mendapat naungan Allah.
Dua golongan diantaranya adalah golongan orang orang yang ikhlas, yaitu :
Pertama : Seorang yang
menyembunyikan sedekahnya. Ia tidak menceritakannya sehingga tidak seorang pun
yang mengetahui sedekahnya tersebut termasuk orang yang terdekat dengannya.
Al Hafizh Ibnu
Rajab berkata : Sikap ini merupakan tanda kuatnya iman seseorang. Sudah cukup
baginya Allah saja yang mengetahui amalannya. Dan hal ini menunjukkan sikap
menyelisihi hawa nafsu karena hawa nafsu ingin agar dirinya memperlihatkan
sedekahnya dan ingin dipuji oleh manusia. Oleh karenanya sikap menyembunyikan
sedekah membutuhkan keimanan yang sangat kuat untuk melawan hawa nafsu. (Fathul
Bari).
Ada beberapa
penafsiran ulama tentang sabda Rasulullah Salallahu ‘alaihi wa sallam : “hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang
disedekahkan oleh tangan kanannya” diantaranya adalah sebagaimana disebut
oleh al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari :
(1) Disebutkan
tangan kiri dengan tangan kanan dan dimana tangan kanan maka tangan kiri
menyertainya. Meskipun demikian, karena tangan kanan terlalu menyembunyikan
sedekahnya hingga temannya yang paling dekat yaitu tangan kiri tidak mengetahui
apa yang diinfakkan oleh tangan kanan. Lafal Nabi ini menunjukkan bentuk
mubalangah (berlebihan) dalam menyembunyikan sedekah.
(2) Maksudnya
yaitu hingga malaikat yang ada di kirinya tidak mengetahui apa yang telah dia
sedekahkan.
(3) Diantara
bentuk pengamalan hadits ini yaitu jika seseorang ingin bersedekah kepada
seorang pedagang yang miskin maka ia pun membeli barang dagangan saudaranya
tersebut (tanpa menawar harga barang yang akan dibelinya tersebut) bahkan
dengan harga jual yang tinggi atau untuk melariskan barang dagangan saudaranya
tersebut.
(4) Maksud dari
tangan kiri yaitu dirinya sendiri. Artinya ia berinfak dan menyembunyikan
infaknya sehingga dirinya sendiri tidak tahu (melupakan atau lupa) dengan
sedekah yang telah ia keluarkan.
Kedua : Berdzikir
tatkala bersendirian dan mengalir air matanya.
Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan dua makna
tentang bersendirian, dan kedua makna
atau penafsiran tersebut menunjukkan kepada keikhlasan.
(1) Maksudnya dia
berdzikir kepada Allah Ta’ala tatkala bersendirian, jauh dari keramaian
sehingga tidak ada yang melihatnya. Beliau juga berkata : Karena dia dalam
kondisi seperti itu (bersendirian) menjadi lebih jauh dari riya’. (Fathul Bari).
(2) Maksudnya meskipun dia berdzikir di
hadapan orang banyak dan dilihat oleh orang ramai tetapi hatinya seakan akan
bersendirian dengan Allah Ta’ala yaitu hatinya kosong dari memperhatikan
manusia, kosong dari memperhatikan pandangan dan penilaian manusia. (Fathul
Bari).
Ini menunjukkan
keikhlasan yang tinggi sehingga biarpun dia di hadapan orang ramai dia mampu
menjaga dan mengatur hatinya sehingga bisa kosong dari riya’. (Lihat Kitab
Berjihad Melawan Riya’ dan Ujub, Ustadz Firanda Andirja, Lc., M.A).
Kita bermohon
kepada Allah agar bisa beramal dengan ikhlas sehingga menjadi orang orang yang
nanti di Hari Kiamat mendapat naungan dari Allah Ta’ala.
Wallahu A’lam. (795)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar