FATWA SYAIKH UTSAIMIN TENTANG MEROKOK
Oleh : Azwir B. Chaniago
Muqaddimah.
Rokok dan merokok adalah salah
satu ajang polemik di masyarakat. Polemiknya berkisar antara manfaat dan
mudharat. Yang tidak kurang serunya adalah perdebatan tentang hukumnya, mubah,
makruh atau haram. Tapi tentang keburukan merokok hampir tidak ada khilaf.
Semua ijma’ atau bersepakat bahwa merokok adalah sesuatu yang tidak baik.
Seorang perokok berat tidak akan
pernah merasa bangga jika anak-anak atau orang-orang yang mereka sayangi telah
berhasil meniru bahkan melebihi kehebatannya dalam merokok. Ini adalah salah
satu indikasi bahwa merokok itu memang tidak baik tetapi sesuatu yang buruk dan
sangatlah pantas
untuk dihindari.
Laksamana Pertama, Bapak Drs. Bachrum
Rangkuti (alm.) seorang da’i dari Bintal TNI AL, eks Sekjen Depag, pernah
menyampaikan hasil penelitian beliau bahwa perokok kaliber awam sampai perokok
kaliber kiyai nyaris tidak ada yang mulai merokok dengan membaca basmalah. Kata
beliau ini adalah satu indikasi bahwa merokok adalah suatu perbuatan yang
sangat tidak baik.
Asal muasal rokok
Rokok adalah gulungan kertas
(berbentuk silinder) dengan ukuran 0,7 – 1,2 cm berisi terutama daun tembakau
yang telah dicacah. Menurut sejarah, yang pertama-tama memakai atau
menggunakan rokok adalah suku Indian Amerika. Tujuannya adalah untuk ritual
memuja dewa-dewa dan roh.
Pada abad ke 15 M, orang-orang
Eropa terutama Portugis dan Spanyol menemukan benua Amerika. Disitu mereka melihat penduduk asli
merokok. Lalu sebagian
penjelajah itu mencoba mengisap rokok dan membawa tembakau ke Eropa. Lalu timbullah kebiasaan merokok di Eropa
yang awalnya pada kalangan bangsawan. Tujuannya merokok bukan
ritual atau pemujaan dewa tapi untuk kesenangan dan kebanggaan saja. Tapi
akhirnya menjadi kebutuhan bahkan ada yang menjadi ketergantungan.
Jadi dari segi asal-usulnya, rokok
memang sudah bermasalah jika ditilik
dengan kacamata syar’i, yaitu awalnya untuk ritual penyembahan dewa dan roh sesuai kepercayaan
suku Indian yang paganis.
Komentar beberapa perokok.
Penulis sempat mencatat beberapa komentar komentar perokok
jika dinasehati oleh temannya. Diantaranya adalah :
Pertama : Rokok itukan dari dulu hukumnya mubah saja, paling tinggi hukumnya
makruh. Kalian jangan sembarangan meningkatkan hukum merokok jadi haram.
Kedua : Bagaimana dikatakan haram, wong Pak Kiyai saja banyak yang merokok.
Ketiga : Mana dalil dari al Qur an yang mengharamkan rokok.
Keempat : Kalian tahu nggak, anak saya dokter spesialis jantung tapi tidak
pernah melarang saya merokok.
Kelima : Jika dinasehati untuk berhenti merokok lalu dijawab : Jangan mengurus
urusan orang. Lalu disambung lagi dengan menyebut ayat al Qur an : “Lakum
diinukum waliadiin”. Untukmu agamu
dan untukku agamaku (Q.S al Kaafiruun 6). Ini tidak naymbung dan ketahuilah bahwa ini ayat peringatan untuk orang kafir. Bukan untuk orang
Islam.
Hukum merokok dalam timbangan syar’i
Sungguh Allah telah memberikan petunjuk jika kita tidak tahu bertanyalah kepada yang
berilmu. Janganlah mereka-reka sesuatu dalam syari’at kecuali dengan ilmu yaitu
al Qur an dan as Sunnah dengan pemahaman salafus shalih. Allah berfirman : “Fas’aluu
ahladz dzikri in kuntum laa ta’lamuun” Maka bertanyalah kepada orang orang
yang berilmu jika kamu tidak mengetahui. (Q.S al Anbiyaa 7).
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin pernah ditanya tentang
hukum merokok dalam timbangan syari’at. Beliau memberikan jawaban : Merokok
haram hukumnya berdasarkan makna yang terindikasi dari zhahir ayat al Qur an
dan as Sunnah serta i’tibar (logika yang benar). Lebih lanjut beliau
menjelaskan :
Allah berfirman : “Walaa tulquu biaidiikum ilal tahlukah”
Dan janganlah kamu mencampakkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. (Q.S al
Baqarah 195).
Maknanya, janganlah kamu melakukan sebab yang menjadi
kebinasaan (bagi diri) mu. Wajhud dilalah atau aspek pendalilan dari ayat
tersebut adalah bahwa merokok termasuk perbuatan mencampakkan diri sendiri ke
dalam kebinasaan.
Kedua : Dalil dari as Sunnah.
Sedangkan dalil dari as Sunnah adalah hadits yang berasal
Rasulullah secara shahih bahwa beliau melarang menyia nyiakan harta. Makna
menyia nyiakan harta adalah mengalokasikannya kepada hal yang tidak bermanfaat.
Sebagaimana dimaklumi bahwa mengalokasikan harta untuk membeli rokok adalah
termasuk pengalokasiannya kepada hal yang tidak bermanfaat bahkan dalam hal ini
adalah menggunakan harta untuk sesuatu yang didalamnya terdapat kemudharatan.
Dalil dari as Sunnah selanjutnya adalah sebagaimana sabda
Rasulullah : “Laa dharara wa laa dhiraara” Tidak boleh (menimbulkan) bahaya (bagi diri
sendiri) dan juga tidak boleh membahayakan (orang lain) H.R Ibnu Majah.
Jadi, menimbulkan bahaya (dharar) adalah ditiadakan (tidak
berlaku, tidak diperkenankan) dalam syari’at, baik bahayanya terhadap badan,
akal ataupun harta. Sebagaimana dimaklumi pula, bahwa merokok adalah berbahaya
terhadap badan dan harta.
Ketiga : Dalil dari i’tibar atau logika yang benar.
Dalil i’tbar yang menunjukkan keharaman merokok adalah karena
( dengan perbuatannya itu) si perokok mencampakkan dirinya sendiri ke dalam hal
yang menimbulkan bahaya, rasa cemas dan keletihan jiwa. Orang yang berakal
tentunya tidak rela hal itu terjadi terhadap dirinya.
Alangkah tragisnya kondisi dan demikian sesak dada si perokok
bila dirinya tidak bisa menghisapnya. Alangkah berat dirinya berpuasa dan
melakukan ibadah ibadah lainnya karena hal itu telah menghalangi dirinya dari
merokok.
Bahkan alangkah berat dirinya berinteraksi dengan orang orang
shalih karena tidak mungkin mereka
membiarkan asap rokok mengepul di hadapannya. Anda akan melihat diri si perokok
demikian tidak nyaman bila duduk bersama
dan berinteraksi dengan orang orang shalih. Semua i’tibar tersebut
menunjukkan bahwa merokok adalah diharamkan hukumnya.
Syaikh melanjutkan, nasehat saya buat saudaraku kaum muslimin
yang didera oleh kebiasaan merokoknya agar memohon pertolongan kepada Allah dan
mengikat tekad untuk meninggalkannya. Didalam tekad yang tulus disertai dengan
memohon pertolongan kepada Allah serta mengharap pahala-Nya dan menghindari siksa-Nya, semua itu adalah
sangat membantu didalam upaya meninggalkan kebiasaan merokok.
Jika ada yang berkilah, sesungguhnya kami tidak menemukan
nash, baik dalam Kitabullah ataupun Sunnah Rasul-Nya perihal haramnya rokok itu
sendiri. Jawaban atas statement ini adalah bahwa nash nash Kitabullah dan as Sunnah terdiri dari dua jenis yaitu :
Pertama : Satu jenis adalah yang dalil dalilnya bersifat umum seperti adh
dhawabith (ketentuan ketentuan) dan kaidah kaidah dimana mencakup rincian yang
banyak sekali hingga hari Kiamat. Contohnya adalah surat al Baqarah 195 dan dua hadits yang telah kami sebutkan
diatas yang menunjukkan secara umum keharaman merokok
sekalipun tidak secara langsung diarahkan kepadanya.
Kedua : Satu jenis lagi yang dalilnya memang diarahkan kepada sesuatu itu
sendiri secara langsung. Diantara
contohnya adalah firman Allah : “Hurrimat ‘alaikumul maitatu waddamu, wa
lahmul khindziri wa maa uhilla lighairillahi bihi” Diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama
selain Allah. (Q.S al Maidah 3).
Dan juga firman-Nya : “Ya aiyuhal ladziina aamanuu innamal
khamru wal maisiru wal anshaabu wal azlaamu rijsun min ‘amalisy syaithaani
fajtanibuuhu” Wahai orang orang yang beriman sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan perbuatan
itu. (Q.S al Maidah 90).
Jadi, baik nash nash tersebut termasuk ke dalam jenis pertama
atau jenis kedua maka ia bersifat keniscayaan atau keharusan bagi semua hamba
Allah karena dari sisi pendalilan mengindikasikan hal itu. (Program Nur ‘Alad
Darb, Syaikh Utsaimin).
Semoga ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (292)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar