PERBAIKAN
HARUS DIMULAI DARI DIRI SENDIRI
Oleh :
Azwir B. Chaniago
Muqaddimah.
Kerusakan
yang terjadi di masyarakat kita kelihatannya semakin hari semakin bertambah. Pertambahan itu adalah
berupa jumlahnya maupun bentuk dan jenisnya. Perhatikanlah bagaimana kerusakan
dibidang akidah dengan merajalelanya kesyirikan, perdukunan dan peramalan.
Perhatikanlah
pula bagaimana kerusakan dibidang ibadah. Kita menyaksikan ada sebagian manusia
sekarang ini beribadah dengan cara cara
baru dan tidak dicontohkan atau diajarkan oleh Rasulullah. Dalam berakhlak dan
bermuamalah, kita saksikan pula bahwa sebagian
manusia sudah semakin tidak berminat untuk berlaku baik terhadap sesama. Bahkan
semakin banyak pula kita menyaksikan seseorang menzhalimi saudaranya sesama
muslim yang terkadang hanya untuk keuntungan duniawi yang tidak seberapa.
Seorang
yang beriman, jika tidak teguh memegang syariat Islam maka lambat laun bisa
terbawa oleh pengaruh buruk ini. Barangkali
inilah yang disebut sebagai fitnah atau
ujian di akhir zaman. Tanpa pertolongan Allah Ta’ala maka tidaklah mungkin kita
bisa menghindar sama sekali dari keadaan yang rusak ini.
Ditambah
lagi dengan kemajuan teknologi yang bisa menjadi sumber dan jalan untuk kemaksiatan yang dengan mudah masuk kedalam rumah kita melalui
berbagai media dan peralatan komunikasi. Semua bisa berdampak buruk jika tidak dimanfaatkan secara bijak dan dengan
landasan iman yang kuat.
Kewajiban mencengah
kerusakan akibat kemungkaran.
Sungguh Allah memuji umat Islam karena menyuruh
kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Allah berfirman : ”Kuntum
khaira ummatin ukhrijat linnaasi takmuruuna bil ma’ruufi wa tanhauna ’anil
munkari wa tukminuuna billahi”. Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan
beriman kepada Allah. (Q.S Ali Imran
110).
Syaikh as Sa’di berkata : (Kamu adalah umat
terbaik) adalah keutamaan yang diberikan kepada umat Muhammad dengan sebab
tersebut (yaitu menyuruh kepada
yang makruf dan mencegah yang mungkar) menjadikan mereka istimewa karenanya dan mereka unggul di atas seluruh
umat. Mereka adalah sebaik baik manusia
untuk manusia dalam nasihat menasihati
dan cinta kepada kebaikan, dakwah, pengajaran, bimbingan, perintah kepada
kebaikan dan melarang kemungkaran. Mereka menyatukan kesempurnaan akhlak dan
usaha dalam memberikan manfaat kepada manusia sesuai dengan kemampuan, dan
antara penyempurnaan jiwa dengan beriman kepada Allah serta menunaikan segala
hak hak keimanan. (Kitab Tafsir Kariimur Rahman)
Rasulullah
Salallahu ’alaihi wassallam bersabda : ”Man ra-aa minkum munkaran fal
yughaiyir-hu biyadihi, fain lam yasthati’ fa bilisaanihi fain lam yasthati’ fa
biqalbihi wa dzaalika adh’aful iimaan” Barang siapa diantara kalian melihat
suatu kemungkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak
bisa maka dengan lisannya dan jika tidak bisa juga maka dengan hatinya dan
itulah selemah lemahnya iman. (H.R. Muslim).
Jika
kita perhatikan hadits di atas, maka setiap kita diwajibkan untuk melakukan perbaikan dan
mencegah kemungkaran sesuai dengan kekuatan, ilmu dan kemampuan yang kita
miliki.
Diantara
ulama menjelaskan bahwa untuk mencegah kemungkaran atau kerusakan berkaitan
dengan hadits diatas adalah dengan tahapan sebagai berikut:
Pertama : Dengan kekuatan, ini adalah tugas penguasa yang mempunyai wewenang.
Kedua : Dengan lisan, ini adalah tugas ulama atau orang yang berilmu dengan
memberikan peringatan atau nasihat.
Ketiga : Dengan hati dan doa, ini adalah tugas dan bisa dilakukan
orang awam.
Dalam
mencegah kemungkaran maka para ulama mengajarkan pula kepada kita beberapa cara
yang bermanfaat, diantaranya :
Pertama : Dengan
ilmu, yaitu untuk memastikan apakah sesuatu itu betul-betul bisa disebut
kemungkaran, dalam timbangan syar’i, sehingga memang perlu dicegah atau
diingkari.
Jangan sembarang memberi nasehat untuk perbaikan apalagi
menyalahkan. Bisa jadi nasehat kita salah bila ditimbang dengan dalil syar’i.
Jadi haruslah berilmu dulu sebelum berkata, sebelum berbuat apalagi dalam
beramar makruf dan mencegah kemungkaran. Tidak cukup dengan niat baik saja.
Allah berfirman : “Walaa taqfu maa laisa laka bihii
‘ilmun. Innas sam’a wal bashara wal
fu-aada kullu ulaa-ika kaana ‘anhu mas-uulaa. Dan janganlah kamu
mengikuti sesuatu yang tidak kami ketahui. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati nurani , semua itu akan diminta pertanggung jawabannya.
(Q.al Isra 36)
Kedua : Dengan
lemah lembut agar lebih bisa diterima dan tidak menimbulkan kemudharatan yang
lebih besar. Rasulullah
bersabda : “Innar rifqa laa yakuunuu fi syai-in illa zanalu walaa yunza’u
min syai’in illah syanah” Sesungguhnya lemah lembut itu tidaklah ada
pada sesuatu kecuali menghiasinya dan tidaklah dia dicabut dari sesuatu itu
kecuali akan memburukkannya. (H.R Imam Muslim)
Rasulullah juga bersabda : “
Innallaha yuhibbu rifqa fil amri kullih” Sesungguhnya Allah mencintai lemah lembut
dalam segala perkara. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu
Syaikh seorang ulama besar Saudi, dalam kitab beliau tentang bagaimana
menyikapi fitnah, berkata : Maka wajib bagi kalian untuk berlemah lembut atau
berhati hati. Jangan
cepat marah atau berlaku kasar. Kalian tidak akan menyesal selama lamanya bila
berlemah lembut.
Ketiga : Dengan
sabar, dalam arti tidak putus asa dan dilakukan secara terus menerus. Jangan bosan memberi nasehat untuk perbaikan apalagi putus
asa. Apakah nasehat untuk perbaikan yang kita sampaikan diterima dan diamalkan,
jangan terlalu dipermasalahkan. Allah berfirman : “Wa dzakkir fainna dzikraa
tanfa’ul mu’miniin” Dan tetaplah (terus menerus) memberi peringatan,
karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang orang yang
beriman. (Q.S adz Dzaariyaat 55).
Dari mana perbaikan terhadap
kerusakan harus dimulai.
Perbaikan
bisa di mulai dengan empat tahap secara berjenjang antara lain sebagai berikut:
Pertama : Mulailah dari diri sendiri
Perbaikan haruslah dimulai dari diri sendiri sebelum yang
memperbaiki yang lainnya. Orang bijak berkata : Air yang kotor tidak bisa membersihkan
barang yang kotor. Orang yang tidak bisa berenang tidak bisa menyelamatkan
orang yang tenggelam.
Perhatikanlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
memberikan peringatan kepada orang yang menyuruh seseorang berbuat baik. ”Atakmurunan
naasa bil birri wa tansauna anfusakum wa antum tatluunal kitaab, afalaa
ta’qiluun” Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan sedang kamu
melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab, maka
tidakkah kamu berfikir (Q.S. Al-Baqarah: 44).
Ayat ini secara tekstual ditujukan kepada Bani Israil,
namun yang dimaksud bukan untuk mereka semata, tetapi ditujukan secara umum
baik kepada mereka maupun selain mereka.
(Kitab Tafsir Ibnu Katsir).
Memulai perbaikan dari diri sendiri wajib untuk
diutamakan bahkan dalam berdoa pun kita diajarkan untuk diri sendiri dulu baru
mendoakan yang diluar diri kita.
Kedua : Keluarga paling
dekat
Setelah
seorang hamba bersungguh sungguh memperbaiki diri, maka selanjutnya dia
berkewajiban memperbaiki keluarganya
yang paling dekat. Yang dimaksud adalah
istri dan anak.
Allah
berfirman: Ya aiyuhalladziina aamanuu quu anfusakum wa ahliikum naaraa wa
quuduhan naasu wa hijaaratu, ’alaihaa malaaikatun ghilaazhun syidaadun laa
ya’shuunallaha maa amrahum wa yaf’aluuna maa yukmaruun” Wahai orang-orang yang beriman peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras yang tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang di perintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang di perintahkan”(QS. At Tahrim 6).
Imam
Ibnu Katsir, dalam kitab tafsirnya menukil perkataan Qathadah tentang
makna ayat ini, yaitu : Hendaklah engkau
menyuruh mereka berbuat taat kepada Allah dan mencegah mereka durhaka
kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menjalankan perintah Allah kepada mereka dan
perintahkan mereka untuk menjalankannya. Jika engkau melihat mereka berbuat
maksiat kepada Allah, maka peringatkan dan cegah mereka.
Ada
pertanyaan mana yang lebih utama atau prioritas untuk diperbaiki apakah istri
dan kemudian baru anak. Dalam kondisi umum, bisa dilakukan sejalan namun
memperhatikan keterangan yang akan disebutkan di bawah ini, maka prioritas
utama untuk diperbaiki dan diajarkan kebaikan setelah diri sendiri,
adalah anak.
(1)
Anak harus diajar dan dididik terutama untuk takut dan taat kepada Allah. Ini adalah kewajiban orang tua. Istri,
sebenarnya dia sudah tahu yang baik, untuk taat kepada Allah karena seyogyanya
sudah diajarkan oleh orang tuanya sejak kecil sampai sebelum dia menikah. Suaminya berkewajiban mengingatkan, meskipun
dalam kondisi tertentu perlu diajarkan disamping diingatkan.
(2) Anak yang shaleh dan shalehah
adalah investasi yang sangat agung. Sebagaimana dijelaskan dalam suatu hadits
yang maknanya, bahwa doa anak yang shaleh akan terus mengalir kepada orang
tuanya, meskipun dia sudah meninggal dunia.
(3)
Dalam kisa Nabi Nuh disebutkan bahwa dia memanggil anaknya untuk kembali
kepadanya dan tidak mengikuti orang-orang kafir. Allah berfirman : ”Dan
berlayarlah bahtera itu untuk membawa mereka mengarungi gelombang laksana
gunung. Dan Nuh memanggil anaknya yang terpisah dari dia. Wahai anakku, naiklah
kekapal bersama kami dan janganlah kamu bersama orang-orang kafir” (QS.
Huud: 42).
(4)
Nabi Ibrahim, berdoa untuk anak-anak keturunannya sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah : ”Rabbij’alnii muqimash shalaati wa min dzurriyatii, rabbanaa
taqabbal du’aa’” Ya Rabbku,
jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan shalat, ya Rabbku
perkenankanlah doaku. (QS. Ibrahim: 40).
(5)Rasulullah Salallahu ’alaihi wassalam, bersabda: ”Maa
min mauluudin illaa yuladu ’alal fithrah, fa abawaahu yuhawwidaanihi wa
yunashshiranihi wa yumajjisaanih”. Setiap anak itu
dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang
Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang Majusi. (H.R
Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Dalam
hadits ini terdapat kewajiban yang besar bagi orang tua mendidik anak-anak agar
tidak terjerumus menjadi Yahudi, Nasrani, dan Majusi.
(6)
Imam Ibnul Qayyim, berkata: Allah akan meminta terlebih dahulu pertanggung
jawaban kewajiban orang tua terhadap anaknya, sebelum pertanggung jawaban
kewajiban anak terhadap orang tuanya.
Ketiga : Keluarga dekat
Setelah
memperbaiki diri sendiri, kemudian keluarga paling dekat yaitu istri dan anak, maka perlu diusahakan memperbaiki
keluarga dekat. Keluarga dekat adalah seperti kakak, adik, paman, keponakan dan
yang lainnya.
Untuk
keluarga dekat ini minimal kita harus berusaha mengingatkan dan menasehati
kalau dia berbuat kerusakan atau kemungkaran.Tehadap keluarga dekat ini tidak
ada kewajiban kita mendidik dan mengajarnya seperti terhadap anak, meskipun
dalam kondisi tertentu ada baiknya dilakukan. Allah berfirman : ”Wa andzir
’asyiiratakal aqrabiin” Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu
yang terdekat” (QS. Asy Syu’ara: 214).
Kalau
ada keluarga dekat yang perlu diingatkan dan diberi nasihat, maka sangatlah
baik jika diingatkan dan dinasehati.
Kita tidak akan diminta pertanggung jawaban kalau mereka tidak mau diingatkan
atau tidak mengindahkan nasihat yang baik.
Keempat : Masyarakat dan orang sekitar
Perbaikan
juga perlu dilakukan terhadap masyarakat sekitar ataupun masyarakat umumnya.
Namun ini hanya sebatas menyeru dan tidak memaksa.
Allah
berfirman : ”Waltakun minkum ummatun yad’uuna ilal khairi wa yakmuruuna bil
ma’ruufi wa yanhauna ’anil munkari, wa ulaaika humul muflihuun” Dan
hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebaikan,
menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar. Dan itulah orang-orang yang
beruntung. (QS. Ali Imran: 104).
Kalau
sudah diseru, belum ada hasil maka bersabarlah dan jangan berputus asa. Cari kesempatan pada waktu yang
lain untuk menyeru lagi kepada kebaikan. Allah berfirman : ”Wa dzakkir
fainnadz dzikra tanfa’ul mu’miniin” Dan tetaplah (teruslah) memberi
peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang orang
mukmin. (Q.S adz Dzaariat 55).
Penutup
Setiap
diri haruslah berusaha untuk memperbaiki keadaan atau kerusakan yang ada di
tengah masyarakat. Namun upaya perbaikan perlu dilakukan secara berjenjang dan
dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu, keluarga paling dekat, keluarga
dekat, dan masyarakat sekitar serta masyarakat umumnya. Adapun sasaran
perbaikan adalah dalam hal aqidah,
ibadah, akhlak dan muamalah.
Sekiranya
setiap diri dan setiap keluarga sudah menjadi baik maka berarti masyarakat luas
sudah menjadi baik pula. Insya Allah.
Mudah
mudahan bermanfaat bagi kita semua. Wallahu A’lam. (310)
Mudah mudahan bermanfaat bagi kita semua. Wallahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar