TINGKATAN MANUSIA MENERIMA MUSIBAH
Oleh : Azwir B. Chaniago
Sungguh ujian berupa musibah penderitaan, penyakit dan yang
lainnya akan senantiasa mengiringi gerak kehidupan manusia. Ujian itu bisa
datang pada diri, harta, keluarga dan yang lainnya. Semua itu akan senantiasa
dirasakan manusia supaya penghambaan
manusia kepada Allah benar benar terwujud.
Itu adalah sunatullah, ketetapan Allah yang pasti terjadi dan berlaku
pada setiap diri hambaNya.
Banyak ayat al Qur an dan as Sunnah yang telah menjelaskan tentang hal ini,
diantaranya adalah : Allah berfirman : “Ahasiban naasu an yutrakuu an
yaquuluu aamannaa wa hum laa yuftanuun” Apakah manusia mengira bahwa mereka akan
dibiarkan dengan hanya mengatakan : “Kami telah beriman”, dan mereka tidak
diuji ? (Q.S al Ankabuut 2)
Rasulullah bersabda : “Matsalul
mu’mini kamatsaliz zar’i, laatazaalur riihu tamiiluhu, walaa yazaalul mu’minu
yushiibuhul bala’. Perumpamaan seorang mu’min tak ubahnya seperti tanaman,
angin akan selalu meniupnya, ia akan selalu mendapat cobaan (H.R Imam Muslim).
Dalam menerima musibah, manusia berada pada beberapa keadaan
atau tingkatan. Syaikh Muhammad bin
Shalih al Utsaimin menjelaskan tentang hal ini :
Tingkatan pertama : Manusia yang mengerutu, mendongkol, tidak mau menerima. Ini direfleksikan dengan
hati yang tidak menerima, dengan lisannya berupa umpatan dan dengan anggota
badan seperti menampar nampar pipi sendiri, merobek robek baju dan yang
lainnya. Semua ini haram hukumnya karena menafikan kewajiban dan
perintah bersabar.
Tingkatan kedua : Bersabar atas musibah. Hal ini seperti ungkapan seorang
penyair : “Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya. Akan tetapi hasilnya lebih
manis daripada madu”.
Manusia dalam tingkatan ini beranggapan bahwa musibah
tersebut sebenarnya berat baginya akan tetapi dia kuat menanggungnya. Dia tidak
suka musibah itu terjadi tetapi iman yang ada di hatinya menjaganya dari
menggerutu. Terjadi musibah atau tidak terjadinya musibah tidak sama
baginya. Perbuatan atau sikap seperti itu wajib hukumnya
karena Allah Ta’ala memerintahkan untuk bersabar sebagaimana dalam firman-Nya :
Washbiruu, innallaha ma’ash shaabiriin” Dan bersabarlah.
Sesungguhnya Allah bersama orang orang yang sabar. (Q.S al Anfal 46).
Tingkatan ketiga : Ridha terhadapnya seperti keridhaan seseorang terhadap
musibah yang dialaminya dimana baginya sama saja, ada dan tidak
musibah tersebut. Adanya musibah tidak membuatnya sesak dan tidak (merasa)
berat menanggungnya. Sikap seperti ini
dianjurkan tapi bukan suatu kewajiban
menurut pendapat yang raajih.
Perbedaan antara tingkatan ini dan tingkatan kedua diatas
amat jelas. Sebab dalam tingkatan ketiga ini ada dan tidak adanya musibah sama
saja bagi orang yang mengalaminya sementara pada tingkatan kedua adanya musibah
dirasakan sulit baginya tetapi dia bersabar.
Tingkatan keempat : Bersyukur terhadap musibah. Ini merupakan tingkatan paling
tinggi. Hal ini dilazimkan oleh orang yang mengalaminya dengan bersyukur kepada
Allah Ta’ala atas musibah apa saja yang dialami.
Dalam hal ini dia mengetahui bahwa musibah ini merupakan
sebab atau sarana untuk menghapus semua keburukannya (dosa dosa kecilnya) dan
barangkali bisa menambah kebaikannya. Rasulullah bersabda : “Maa min
mushiibatin tushiibul muslima illa kaffarallahu bihaa ‘anhu hattasy syaukati
yusyaakuhaa” Tiada suatu musibah pun yang menimpa seorang muslim, melainkan
dengannya Allah hapuskan (dosa dosa kecil) darinya sampai sampai sebatang duri
pun yang menusuknya. (H.R Imam Bukhari no. 5640 dan Imam Muslim no. 2572).
Mudah
mudahan bermanfaat. Wallahu A’lam. (307)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar