Sabtu, 21 April 2018

BERHATI HATILAH KETIKA MENYEBUTKAN ATAU MENYEBARKAN HADITS


BERHATI HATILAH MENYEBUTKAN 
ATAU MENYEBARKAN HADITS

Oleh : Azwir B. Chaniago

Amatlah sering, di zaman ini, kita mendengar,  mendapatkan tulisan ataupun artikel melalui medsos yang memuat hadits yang tidak shahih. Biasanya hadits tak shahih ini yaitu hadits dha’if (lemah), dha’if jiddan (lemah sekali) bahkan ada juga yang maudhu’ (palsu) ataupun laa ashlalahu (tidak jelas asal usulnya), banyak muncul menjelang atau awal awal Ramadhan.  

Mungkin yang menyebutkan atau menyebarkan hadits yang tidak shahih tersebut adalah bertujuan untuk memotivasi orang orang dalam ibadah atau melakukan kebaikan. Diantara contohnya adalah hadits tentang Ramadhan :
 
Pertama : Bermaaf maafan sebelum Ramadhan.
Ketika Rasulullah sedang berkhotbah pada suatu Shalat Jum'at (dalam bulan Sya'ban), beliau mengatakan Aamin sampai tiga kali, dan para sahabat begitu mendengar Rasulullah mengatakan amin, terkejut dan spontan mereka ikut mengatakan amin. 

Tapi para sahabat bingung, kenapa Rasulullah berkata aamin sampai tiga kali. Ketika selesai shalat Jum'at para sahabat bertanya kepada Rasulullah, kemudian menjelaskan : Ketika aku sedang berkhotbah, datanglah Malaikat Jibril dan berbisik, hai Rasulullah amin-kan doaku ini, jawab Rasulullah.

Doa Malaikat Jibril adalah : Yaa Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut: 


Ternyata hadits dengan lafazh seperti  ini tak jelas asa usulnya.

Adapun yang shahih adalah dengan lafazh :

عن أبي هريرة  أن رسول الله صلى الله عليه و سلم رقي المنبر فقال : آمين آمين آمين فقيل له  يارسول الله ما كنت تصنع هذا ؟ ! فقال : قال لي جبريل : أرغم الله أنف عبد أو بعد دخل رمضان فلم يغفر له فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد أدرك و الديه أو أحدهما لم يدخله الجنة فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد ذكرت عنده فلم يصل عليك فقلت : آمين  قال الأعظمي : إسناده جيد

Dari Abu Hurairah; Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam naik mimbar lalu bersabda : Aamiin … aamiin … aamiin.

Para sahabat bertanya : Kenapa engkau berkata demikian, wahai Rasulullah ?. Kemudian, beliau bersabda, ‘Baru saja Jibril berkata kepadaku dan berkata :  (1) Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadan tanpa mendapatkan ampunan, maka kukatakan : Aamiin. (2)  Kemudian, Jibril berkata lagi : Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya masih hidup, namun itu tidak membuatnya masuk Jannah maka aku berkata : Aamiin. (3) Kemudian, Jibril berkata lagi : Allah melaknat seorang hamba yang tidak bersalawat ketika disebut namamu. Maka kukatakan : Aamiin. (H.R Ibnu Khuzaimah dan Imam Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih At-Targhib)

Kedua : Ramadhan dibagi tiga fase.
Disebutkan bahwa : “Syahrun auwaluhu rahmatun, wa auwasathuhu maghfiratun, wa aakhirahu ‘itqun minannar”.  (Bulan Ramadhan adalah) bulan yang awalnya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka. Hadits ini adalah penggalan dari suatu hadits yang cukup panjang.  Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dalam Kitab Shahihnya. 

Hadits ini juga diriwayatkan dari Abu Hurairah dengan redaksi sedikit berbeda yaitu : “Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah maghfirah dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.”

Hadits dengan matan ini dikeluarkan oleh al Uqaili, Ibnu ‘Adi, al Khatib , ad Dailami dan Ibnu Asakir. Kedudukan hadits ini telah dijelaskan oleh para ahli hadits, diantaranya : (1)  Dalam sanadnya ada Salam bin Sulaiman bin Siwar. Ibnu Adi berkata : Menurutku , haditsnya mungkar. (2) Juga terdapat Maslamah bin Shalt dan Maslamah itu tidak dikenal. Abu Hatim mengomentarinya : Haditsnya ditinggalkan.  (3) Syaikh  Muhammad Nashiruddin al Albani, seorang ahli hadits abad ini,  menyebutkan bahwa : Hadits ini mungkar. (Lihat Kitab Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’ jilid 4/1571).

Oleh arena itu, menyebutkan suatu hadits atau menyebarkannya lewat tulisan maka HARUSLAH DIKETAHUI DULU KEDUDUKAN HADITS TERSEBUT. Dalam perkara ini paling tidak ada tiga hal yang  patut menjadi perhatian kita :

Pertama : Jika seseorang belum mengetahui kedudukan suatu hadits lalu di dakwahkan atau disampaikan  kepada orang lain dengan lisan maupun tulisan maka ini suatu yang tercela. Bukankah semua yang kita ucapkan dan kita lakukan harus dipertanggung jawabkan dihadapan Allah Ta’ala. Perhatikanlah firman-Nya : 

 وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggung jawabannya.  (Q.S al Isra’ 36).

Kedua : Jika seseorang belum mengetahui kedudukan suatu hadits maka sangatlah terpuji jika dia mencari tahu kepada yang lebih ‘alim sebelum mendakwahkan. Allah berfirman : 

                                                                                                      فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada orang orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui. (Q.S al Anbiyaa 7).

Jikalau seseorang belum mengetahui kedudukan suatu hadits lalu didakwahkan dan ternyata derajat hadits itu tidak shahih maka jika diamalkan oleh yang mendengarkannya maka bisa jadi menyesatkan.

Ketiga : Jika seseorang sudah mengetahui kedudukan suatu hadits itu dhaif  ataupun maudhu’  lalu disampaikan kepada orang banyak tanpa menjelaskan derajat hadits maka ini suatu yang lebih tercela lagi  yaitu berdusta atas nama Nabi. Rasulullah telah mengingatkan perkara ini dalam sabda beliau dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda :

إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Oleh karena itu seorang hamba hendaklah berhati hati untuk menyebutkan, menulis, menyebarkan suatu hadits lewat medsos ataupun yang lainnya.

Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (1.275)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar