BERHATI HATILAH MENYEBUTKAN
ATAU MENYEBARKAN
HADITS
Oleh : Azwir B. Chaniago
Amatlah sering, di zaman ini, kita mendengar, mendapatkan tulisan ataupun artikel melalui
medsos yang memuat hadits yang tidak shahih. Biasanya hadits tak shahih ini
yaitu hadits dha’if (lemah), dha’if jiddan (lemah sekali) bahkan ada juga yang
maudhu’ (palsu) ataupun laa ashlalahu (tidak jelas asal usulnya), banyak
muncul menjelang atau awal awal Ramadhan.
Mungkin yang menyebutkan atau menyebarkan
hadits yang tidak shahih tersebut adalah bertujuan untuk memotivasi orang orang
dalam ibadah atau melakukan kebaikan. Diantara contohnya adalah hadits tentang
Ramadhan :
Pertama : Bermaaf maafan sebelum Ramadhan.
Ketika Rasulullah sedang berkhotbah pada suatu
Shalat Jum'at (dalam bulan Sya'ban), beliau mengatakan Aamin sampai tiga kali,
dan para sahabat begitu mendengar Rasulullah mengatakan amin, terkejut dan
spontan mereka ikut mengatakan amin.
Tapi para sahabat bingung, kenapa Rasulullah
berkata aamin sampai tiga kali. Ketika selesai shalat Jum'at para sahabat
bertanya kepada Rasulullah, kemudian menjelaskan : Ketika aku sedang
berkhotbah, datanglah Malaikat Jibril dan berbisik, hai Rasulullah amin-kan
doaku ini, jawab Rasulullah.
Doa Malaikat Jibril adalah : Yaa Allah tolong
abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak
melakukan hal-hal yang berikut:
Ternyata hadits dengan lafazh seperti ini tak jelas asa usulnya.
Adapun yang shahih adalah dengan lafazh :
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله
عليه و سلم رقي المنبر فقال : آمين آمين آمين فقيل له يارسول الله ما كنت
تصنع هذا ؟ ! فقال : قال لي جبريل : أرغم الله أنف عبد أو بعد دخل رمضان فلم يغفر
له فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد أدرك و الديه أو أحدهما لم يدخله
الجنة فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد ذكرت عنده فلم يصل عليك فقلت :
آمين قال الأعظمي : إسناده جيد
Dari Abu Hurairah; Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam naik mimbar lalu bersabda : Aamiin … aamiin … aamiin.
Para sahabat bertanya : Kenapa engkau berkata
demikian, wahai Rasulullah ?. Kemudian, beliau bersabda, ‘Baru saja Jibril
berkata kepadaku dan berkata : (1) Allah
melaknat seorang hamba yang melewati Ramadan tanpa mendapatkan ampunan, maka
kukatakan : Aamiin. (2) Kemudian, Jibril
berkata lagi : Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya
masih hidup, namun itu tidak membuatnya masuk Jannah maka aku berkata : Aamiin.
(3) Kemudian, Jibril berkata lagi : Allah melaknat seorang hamba yang tidak
bersalawat ketika disebut namamu. Maka kukatakan : Aamiin. (H.R Ibnu Khuzaimah
dan Imam Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih At-Targhib)
Kedua :
Ramadhan dibagi tiga fase.
Disebutkan bahwa
: “Syahrun auwaluhu rahmatun, wa
auwasathuhu maghfiratun, wa aakhirahu ‘itqun minannar”. (Bulan Ramadhan adalah) bulan yang awalnya
rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka. Hadits
ini adalah penggalan dari suatu hadits yang cukup panjang. Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dalam
Kitab Shahihnya.
Hadits ini juga diriwayatkan dari Abu Hurairah
dengan redaksi sedikit berbeda yaitu : “Awal
bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah maghfirah dan akhirnya
adalah pembebasan dari neraka.”
Hadits dengan matan ini dikeluarkan oleh al
Uqaili, Ibnu ‘Adi, al Khatib , ad Dailami dan Ibnu Asakir. Kedudukan hadits ini
telah dijelaskan oleh para ahli hadits, diantaranya : (1) Dalam sanadnya ada Salam bin Sulaiman bin
Siwar. Ibnu Adi berkata : Menurutku , haditsnya mungkar. (2) Juga terdapat
Maslamah bin Shalt dan Maslamah itu tidak dikenal. Abu Hatim mengomentarinya :
Haditsnya ditinggalkan. (3) Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, seorang ahli
hadits abad ini, menyebutkan bahwa :
Hadits ini mungkar. (Lihat Kitab Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’ jilid
4/1571).
Oleh arena itu, menyebutkan suatu hadits atau
menyebarkannya lewat tulisan maka HARUSLAH DIKETAHUI DULU KEDUDUKAN HADITS
TERSEBUT. Dalam perkara ini paling tidak ada
tiga hal yang patut menjadi perhatian
kita :
Pertama : Jika seseorang belum mengetahui kedudukan
suatu hadits lalu di dakwahkan atau disampaikan kepada orang lain dengan lisan maupun tulisan
maka ini suatu yang tercela. Bukankah semua yang kita ucapkan dan kita lakukan
harus dipertanggung jawabkan dihadapan Allah Ta’ala. Perhatikanlah firman-Nya :
وَلَا
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ
كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang
tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan
diminta pertanggung jawabannya. (Q.S al Isra’ 36).
Kedua : Jika seseorang belum mengetahui kedudukan
suatu hadits maka sangatlah terpuji jika dia mencari tahu kepada yang lebih
‘alim sebelum mendakwahkan. Allah berfirman :
فَاسْأَلُوا
أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang orang yang
berilmu jika kamu tidak mengetahui. (Q.S al Anbiyaa 7).
Jikalau seseorang belum mengetahui kedudukan
suatu hadits lalu didakwahkan dan ternyata derajat hadits itu tidak shahih maka
jika diamalkan oleh yang mendengarkannya maka bisa jadi menyesatkan.
Ketiga
: Jika seseorang sudah mengetahui kedudukan suatu hadits itu dhaif ataupun maudhu’ lalu disampaikan kepada orang banyak tanpa
menjelaskan derajat hadits maka ini suatu yang lebih tercela lagi yaitu berdusta atas
nama Nabi. Rasulullah
telah mengingatkan perkara ini dalam sabda beliau dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda :
إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ
كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Sesungguhnya
berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa
yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat
duduknya di neraka.” (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Oleh karena itu
seorang hamba hendaklah berhati hati untuk menyebutkan, menulis, menyebarkan
suatu hadits lewat medsos ataupun yang lainnya.
Insya Allah ada
manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (1.275)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar