ANTARA NADZAR DAN BAKHIL
Oleh : Azwir B. Chaniago
Agak sering kita mendengar orang bernadzar jika menginginkan
sesuatu. Diantaranya ada yang berkata : Jika anak saya diterima di sekolah yang
dimaksud maka saya akan berpuasa tiga hari. Ada pula yang berkata : Jika orang
tua saya sembuh dari sakitnya maka saya akan bersedekah 500 ribu rupiah.
Tidaklah diragukan bahwa kedua kasus ini termasuk nadzar karena sebagaimana dijelaskan
oleh Imam Raghib al Ashfani bahwa makna nadzar adalah seseorang mewajibkan
dirinya terhadap sesuatu yang tidak diwajibkan, jika terjadi suatu hal.
Berpuasa adalah adalah
tidak diwajibkan kecuali bulan Ramadhan atau qadha puasa Ramadhan tapi
seseorang telah mewajibkan diri untuk berpuasa dengan nadzarnya. Bersedekah
adalah tidak wajib tapi seseorang telah mewajibkan dirinya untuk bersedekah
dengan nadzar.
Sekiranya kita berfikir agak dalam mungkin niat seperti ini
kurang pas juga. Seseorang akan berpuasa tiga hari dengan syarat anaknya lulus
dalam ujiannya. Lalu kalau tidak lulus tidak jadi berpuasa ?. Mungkin yang
lebih baik dalam kasus ini adalah dia tetap melakukan puasa sunat semampunya
dalam rangka mendekatkan diri serta mengharap pahala dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Sementara itu dia terus mendorong anaknya untuk banyak belajar guna
menghadapi ujian dan juga terus berdoa bagi kebaikan si anak.
Seseorang akan bersedekah dengan syarat orang tuanya sembuh
dari sakitnya. Kalau tidak sembuh maka tidak jadi bersedekah ? Barangkali, yang
lebih baik dia tetap memperbanyak sedekah
jika dia mampu. Sementara itu dia berusaha mengobati sakit orang tuanya
dan terus berdoa untuk kesembuhannya.
Namun demikian perlu dipahami bahwa dalam hal bernadzar ada
perbedaan pendapat ulama. Ada sebagian ulama yang sampai mengharamkan nadzar
karena Nabi menyifati orang yang bernadzar dengan sifat bakhil. Rasulullah
bersabda : “Laa tandziruu, fainnan nadzra laa yughnii minal qadari syai-an,
wa innamaa yustakhraju bihi minal bakhiil. Janganlah kamu bernadzar karena
nadzar itu tidak dapat menolak sedikit pun takdir, ia hanyalah untuk
mengeluarkan sesuatu dari orang yang bakhil (H.R Imam Bukhari).
Dalam hadits dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda : “Innahu
laa yaruddu syai-an walakinnahu
yustakhraju bihi minal bakhiil” Sesungguhhnya nadzar tidak bisa menolak
sesuatu apapun (yang telah ditetapkan Allah), namun dengannya dapat dikeluarkan
(harta) orang yang bakhil. (Mutafaqun ‘alaihi).
Jumhur atau mayoritas ulama menghukumi nadzar dengan makruh.
Insya Allah pendapat ini lebih kuat. Diantara dalilnya adalah surat al Insan
ayat 7. Allah berfirman : “Yuufuuna binnadzri wa yakhaafuuna yauman kaana
syarruhu mustathiiraa” Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari
yang adzabnya merata dimana mana.
Dalam ayat ini Allah Ta’ala memuji orang yang memenuhi
nadzarnya. Sekiranya nadzar adalah haram
maka Allah tidak akan pernah memberi pujian untuk suatu yang haram.
Satu hal yang perlu kiranya dipahami bahwa jika seorang hamba
terlanjur bernadzar untuk suatu ketaatan maka menjadi wajib baginya memenuhi
nadzarnya. Rasulullah bersabda : “Man nadzara an yuthii’allaha fal yuthi”
Barang siapa yang bernadzar berupa ketaatan kepada Allah, maka hendaklah dia
memenuhi. (H.R Imam Bukhari).
Demikianlah
sekelumit tentang nadzar. Semoga ada manfaatnya.
Wallahu
a’lam (148)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar